Tony Wen, Sang Penyelundup yang Berbakti untuk Negara

Keberanian dan keterlibatan Tony di berbagai bidang memperlihatkan dukungannya terhadap Republik Indonesia sangat jelas.

Selasa, 17 Desember 2019 | 09:52 WIB
0
357
Tony Wen, Sang Penyelundup yang Berbakti untuk Negara
Tony Wen, Sang Penyelundup yang Berbakti untuk Negara

Keberanian sosok Tionghoa yang satu ini, patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, dia berani menyelundupkan candu demi menyelamatkan keuangan negara.

Dia adalah Boen Kin To atau lebih populer dengan nama Tony Wen. Pria kelahiran Sungailiat, Bangka pada 1911 ini, sebetulnya terlahir dari keluarga berkecukupan.

Ayahnya saja seorang kepala parit Bangka Biliton Tin Maatschapij. Beberapa pendidikannya pun ditamatkan di luar negeri.

Usai sekolah menengah dikampungnya, ia melanjutkan studi di Singapura. Dan berkuliah dua kali di Tiongkok, yakni U Ciang University, Shanghai dan Liang Nam University, Canton.

Sesudahnya, Tony kembali ke tanah air dan mengabdi sebagai pendidik di Sekolah Pa Hoa. Ia menjadi guru olahraga.

Ia pun pernah menjadi pemain sepak bola dan mewakili UMS (Union Makes Strength), perkumpulan sepak bola Tionghoa yang bermarkas di Petak Sin Kian, Jakarta.

Lewat Catatan seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan (1989:8) yang ditulis Yunus Yahya, dikatakan bahwa sebelum Perang Dunia II, lewat sepak bola, ia menjadi bintang idola para remaja. Kemudian saat kependudukan Jepang, Tony bekerja sebagai penerjemah.

Dalam The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945-1949 (2003:130), Yong Mun Cheong menyampaikan, ia Perserikatan Rakjat dan Boeroeh Tionghoa di Surakarta sebagai manajer bagian olahraga.

Dan selepas Jepang kalah, ia adalah seorang pemimpin Barisan Pemberontak Tionghoa (BPTH) di Solo. Bahkan, ia juga bergabung dengan International Volunteers Brigade (IVB) alias Brigade Internasional yang menghimpun orang keturunan bangsa Asia.

Kisah Tony yang tak kalah menarik, adalah soal penyelundupan candu atau opium ke Singapura. Hal tersebut dilakukan lantaran kurangnya kas negara untuk biaya operasional pemerintah, termasuk pembelian senjata.

Terlebih akses perdagangan Indonesia ke negara lain saat itu, ditutup oleh Belanda. Jadi mau tak mau, tentunya demi melanggenggkan jalan perjuangan Indonesia di era penjajahan.

Penyelundupan pun dilaksanakan berdasarkan saran Menteri Keuangan kala itu, A.A. Maramis. Tony dipercaya untuk menjual candu mentah dari pabrik di Salemba karena sebelumnya ia juga menyuplai logistik dan persenjataan bagi tentara di Solo.

Selanjutnya, ia berkomunikasi dengan kawannya di Singapura yang memiliki jaringan candu. Tony pun berangkat dengan perahu sembari membawa 2,5 ton candu.

Perjalanan dimulai dari Pantai Popoh di Kediri dan melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok. Rute tadi dipilih demi terhindar dari patroli Belanda.

Selanjutnya pengiriman candu dengan pesawat amphibi catalina. Dalam misi tersebut Tony dibantu tiga kawannya, yakni Soebeni Sosrosepoetro dan Karkono Komajaya dan dibantu Lie Kwet Tjien.

Mereka berhasil mengirim candu sebanyak dua kali ke Singapura dengan total mencapai 4 ton. Sepulangnya, Tony menurunkan persenjataan yang dibawa di Campurdarat dekat Tulungagung.

Sayangnya misi tadi mesti berakhir karena diketahui Belanda. Sehingga Tony pun ditangkap oleh polisi Inggris di Singapura dan mendekam di hotel prodeo.

Setelah bebas dan pasca revolusi kemerdekaan, ia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Ia menjadi perwakilan partai tersebut di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 1954-1956.

Pernah pula Tony menjadi anggota konstituen. Walau disibukkan dengan kegiatan pemerintahan, nyatanya Tony masih menggeluti dunia olahraga.

Bukan cuma sepak bola, ia juga concern di cabang bola basket. Hal itu dibuktikan dengan menjadi pendiri sekaligus ketua pertama Persatuan Bola Basket seluruh Indonesia (PERBASI) yang didirikan pada 23 Oktober 1951.

Keberanian dan keterlibatan Tony di berbagai bidang memperlihatkan dukungannya terhadap Republik Indonesia sangat jelas. Seperti yang dituliskan mantan menteri Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1992:52).

Tony terang-terangan menjawab keragu-raguan masyarakat Tionghoa dengan menyatakan berkiblat ke Republik yang baru dan menyatakan tekadnya untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyat kecil, khususnya kaum buruh.

Tony tutup usia pada 30 Mei1962, karena sakit. Ia dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta.

Sony Kusumo

***