Planetaritas, Biophilia dan Pendidikan Kita

Kita harus sungguh merombak sistem dan budaya pendidikan yang ada. Hanya dengan begitu, konsep Indonesia Unggul tidak hanya menjadi slogan kosong belaka.

Kamis, 22 Agustus 2019 | 07:03 WIB
0
443
Planetaritas, Biophilia dan Pendidikan Kita
Ilustrasi )Foto: Rumahfilsafat.com)

Kemerdekaan RI ke 74. Sebuah perayaan. Tema yang diangkat adalah menciptakan Indonesia sebagai bangsa unggul. Muncul beberapa hal di kepala saya, ketika mendengar ini.

Sudah lama saya tak percaya dengan slogan. Hal-hal yang terdengar indah di telinga, namun kosong di dalam kenyataan. Namun, kali ini, saya tak mau pesimis. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan.

Budaya unggul adalah visi yang mulia. Namun, ia hanya menjadi slogan kosong, jika tak ada perubahan mendasar di dalam sistem dan budaya. Sistem yang lambat dan korup, seperti yang banyak ditemukan di Indonesia, tak akan pernah menciptakan budaya unggul. Sistem semacam inilah yang saya sebut sebagai „budaya mafia”, dan sama sekali tak ada kaitannya dengan “politik”.

Sistem tertanam di dalam budaya. Di Indonesia, walaupun sistemnya menganut demokrasi modern, namun mental masa lalu masih dalam bercokol. Budaya feodal, yang membuat orang menjadi gila hormat dan gemar menjilat atasan, masih dengan mudah ditemukan. Orang juga patuh buta, tanpa akal sehat, apalagi jika sudah menyangkut agama. Tak heran, di abad 21 yang kompleks dan megah ini, masih banyak orang tersangkut dengan kelompok radikal.

Di tengah dua tantangan besar tersebut, saya ingin menyumbangkan dua ide. Keduanya terkait dengan pendidikan dan lingkungan hidup. Masalah kerusakan lingkungan masih menjadi masalah yang diabaikan di Indonesia. Padahal, hidup matinya peradaban manusia amat tergantung dari kelestarian lingkungan hidup yang ada.

Ide tersebut adalah Planetaritas dan Biophilia. Keduanya bisa dipandang sebagai bagian dari etika lingkungan, terutama di dalam penelitian-penelitian yang lebih kontemporer. Keduanya masih amat asing di Indonesia. Beberapa penjelasan kiranya diperlukan.

Etika Lingkungan

Etika lingkungan merupakan bagian dari filsafat yang mencoba memahami hubungan antara manusia dan lingkungan hidup sebagai keseluruhan. Ada empat hal yang penting untuk diperhatikan;

Pertama, kritik utama etika lingkungan ditujukan pada pandangan antroponsentrik yang melihat manusia sebagai mahluk paling penting di alam ini. Akibatnya, manusia merasa punya hak untuk menindas mahluk hidup lainnya. Pandangan ini berakar kuat pada agama-agama Timur Tengah, dan menjadi obyek kritik utama dari kajian etika lingkungan.

Dua, ada upaya untuk mengangkat teori-teori etika tradisional untuk memahami hubungan manusia dan lingkungan hidup. Dua diantaranya adalah teori etika deontologis yang dikembangkan Immanuel Kant, dan teori etika keutamaan yang dikembangkan oleh Aristoteles. Analisis dimulai dari konsep metafisis tentang alam, sampai pembuatan kebijakan terkait dengan pelestarian lingkungan hidup.

Tiga, etika lingkungan menjadikan pelestarian biodiversitas sebagai tujuan utamanya. Kehidupan itu beragam. Ia menghasilkan ragam spesies yang amat mengagumkan. Semua itu harus secara sistematik dilestarikan, dan bahkan dikembangkan. Biodiversitas adalah roh dari kehidupan itu sendiri.

Empat, etika lingkungan hendak berkembang menjadi etika kelestarian (Sustainability Ethics) yang mendorong tidak hanya pelestarian lingkungan, tetapi juga keadilan sosial. Ekonomi dan ekologi harus berjalan searah dan bergandengan. Dengan kata lain, kemajuan ekonomi harus bermuara pada keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan.

Etika lingkungan adalah cabang yang sangat luas, termasuk pula konsep planetaritas dan biophilia. Konteks juga berpengaruh besar. Di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia, etika lingkungan nyaris tak mendapatkan tempat. Tantangannya pun menjadi semakin besar.

Planetaritas dan Biophilia

Gayatri Spivak, pemikir asal India, menulis buku dengan judul The Death of Discipline. Ia menyarankan meleburnya batas-batas keilmuan di dalam dunia ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, ia bahkan menyarankan peleburan semua batas-batas ciptaan manusia, seperti negara dan agama. Semua melebur menjadi bagian dari planet yang sama. Inilah inti dari planetaritas.

Bagi Spivak, kerinduan untuk melebur, yakni menjadi bagian dari sesuatu, merupakan hal yang alamiah bagi manusia. Planetaritas adalah ide alternatif dari globalisasi. Globalisasi justru memisahkan manusia ke dalam kelas kaya dan miskin. Planetaritas justru hendak meleburkan perbedaan-perbedaan semu semacam itu.

Konsep planetaritas sejalan dengan konsep kosmopolitanisme. Ia mengajak orang untuk melihat dirinya sebagai mahluk bumi, sebelum semua identitas sosial yang ada memisahkannya. Perbedaan lalu menjadi warna kehidupan, dan bukan alasan untuk bersikap tidak adil, apalagi berperang. Pendidikan planetaritas berarti mengajak orang untuk memahami dan menghargai dirinya sebagai mahluk semesta, sebelum semua identitas sosial ditambahkan kepadanya.

Konsep planetaritas, pada hemat saya, amat erat terkait dengan konsep Biophilia. Ini adalah konsep yang menyatakan, bahwa manusia memiliki dorongan erat untuk terhubung dengan alam, dan dengan semua mahluk hidup lainnya.

Kata ini muncul dalam pemikiran Erich Fromm, seorang pemikir Jerman, di dalam bukunya yang berjudul Anatomie der menschlichen Destruktivität. Ia menyebutnya Biophilia sebagai cinta akan kehidupan, dan segala sesuatu yang hidup.

Di abad 21 ini, Biophilia terhambat oleh perkembangan teknologi. Manusia seolah terputus dari alam, dan sibuk dengan teknologi yang ia buat sendiri. Akibatnya, banyak manusia merasa terasing dan kesepian, walaupun ia tinggal di kota besar. Keterasingan semacam ini membuka peluang bagi banyak krisis kehidupan lainnya, mulai dari depresi di tingkat pribadi, sampai dengan konflik di tingkat global.

Pendidikan Kita

Konsep Planetaritas dan Biophilia kiranya amat penting untuk pendidikan kita di Indonesia Pertama, konsep ini mengajak orang untuk kembali ke asalnya, yakni alam. Sikap terbiasa dengan alam akan melahirkan penghargaan terhadap alam itu sendiri. Pelestarian lingkungan pun tidak lagi menjadi himbauan, tetapi menjadi bagian dari kesadaran maupun kebiasaan hidup sehari-hari.

Dua, kedua konsep ini kiranya sejalan dengan konsep pendidikan berkesadaran (mindful education). Dengan sadar akan identitas aslinya, serta terbiasa terhubung dengan alam, kesadaran hidup juga akan semakin berkembang. Emosi bisa disadari, dan dikelola dengan lebih baik. Pendidikan pun lalu tidak hanya menghasilkan manusia berilmu, tetapi juga sehat dan bahagia.

Tiga, ide akan percuma, tanpa dukungan sistem yang efektif dan efisien. Inilah kiranya yang menjadi tantangan utama di Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah harus sungguh bekerja sama dalam hal ini. Tujuannya tak lain adalah menciptakan bangsa yang terdiri dari manusia-manusia yang mampu berpikir secara luas, mendalam serta peka terhadap perkembangan teknologi, kemanusiaan maupun pelestarian alam.

Indonesia sebagai bangsa unggul, sekali lagi, adalah sebuah visi mulia. Pendidikan memainkan peranan paling penting disini. Kita harus sungguh merombak sistem dan budaya pendidikan yang ada. Hanya dengan begitu, konsep Indonesia Unggul tidak hanya menjadi slogan kosong belaka.

Kita sudah lelah dengan slogan dan drama penuh kepalsuan…

***