Tentang Pemenggalan Kepala Itu

Harusnya konteks pemenggalan kepala itu juga dimaknai secara lebih serius, detail dan mendalam.

Selasa, 1 Desember 2020 | 09:40 WIB
0
312
Tentang Pemenggalan Kepala Itu
Buku

Tanpa bermaksud membela Jokowi yang dianggap lambat memberi pernyataan tentang aksi yang bisa dianggap biadab. Barangkali Presiden memiliki sumber yang memberi informasi, bahwa Kepala Negara harus cukup hati-hati memberi pernyataan kepada publik akan preseden tersebut.

Dasarnya mungkin sederhana, kekerasan tersebut dilakukan dengan cara memenggal kepala. Cara pembunuhan yang paling purba, yang suka tidak suka telah digunakan secara turun temurun dalam tradisi masyarakat tertentu.

Tradisi tersebut memang paling terkenal terdapat dalam Suku Dayak yang tinggal di Kalimantan. Khusunya di masyarakat Iban, secara historis disebut Ngayau yang mempunyai arti turun berperang. Dalam rangka mempertahankan status kekuasaan, misalnya mempertahankan atau memperluas daerah hegemoniknya.

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah kepala musuh. Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh, maka semakin kuat dan perkasa orang yang bersangkutan.

Dalam bahasa Iban, Ngayau bermakna juga sebagai perang berburu kepala yang dilakukan secara berkelompok disebut “Kayau Banyak” atau jika individu yang disebut “Ngayau Anak” . Sedangkan orang yang memperoleh kepala dianggap sebagai pahlawan perang yang biasa dianggap dengan “Bujang Berani” atau ksatria.

Dalam tradisi, sebelum melakukan Ngayau dilakukan upacara tradisi yang cukup unik, baik sebelum pemberangkatan atau penyambutan setelah pulang.

Belakangan, setelah terjadi Konflik Poso yang meledak tahun 2000-an, yang di atas kertas selalu dicitrakan sebagai pertarungan antara warga beragama Islam dan Kristen. Kemudian terkuak fakta tersembunyi bahwa, akibat konflik yang semula pembagian jatah kepala daerah itu merembet sampai kemana-mana. Dampaknya bahkan terasa terjadi hingga hari ini.

Dan keterbelahan masyarakat itu, justru menyebabkan sebagian memutuskan kembali pada tradisi lamanya untuk menjadi masyarakat dengan kepercayaan aslinya.

Kembali jadi animisme, bukan lagi agama monotheis!

Dalam tradisi animisme inilah, salah satu ciri yang dianut adalah sebagaimana saya sebutkan di atas "ngayau". Memenggal kepala, yang ternyata juga dikenal oleh masyarakat suku asli yang tinggal di daerah Poso. Harusnya bisa dimengerti, tradisi seperti ini memang secara luas dikenal dalam masyarakat di ras mongoloid.

Sekira tahun 2002, saya mengeditori dan menerbitkan buku yang materinya merupakan karya tesis, yang berjudul "Dari Animisme Ke Monoteisme - Kristenisasi di Poso 1892-1942". Buku ini hasil riset mendalam oleh Lukman Najamuddin, seorang dosen di Universitas Tadulako Palu. Hasil penelitian ini menunjukkan sejak pengaruh Kristen muncul pada tahun 1892 oleh pendeta Alb. Kuyt. Ia sudah dihadapkan pada realitas masyarakat yang rentan konflik, bahkan terjadi perang antar suku.

Dalam masyarakat yang memiliki kebiasaan perang suku inilah, tradisi Ngayau terus terjaga eksistensinya. Secara etnologi, orang Poso sendiri memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Mereka memiliki peninggalan sejarah megalit dari batuan mesole yang berasal dari kurun waktu 2500-1500 SM. Artinya, bahkan 2000 tahun lebih dulu dari misalnya keberaaan Candi Borobudur.

Peninggalan itu abadi hingga hari ini, silahkan dikunjungi di kawasan yang sekarang termasuk dalam kwasan Taman Nasional Lore Lindu. Lembah Bada, bagi saya adalah kawasan wajib kunjung yang barangkali salah satu paling eksotis di Indonesia untuk dikunjungi.

Dalam konteks animisme inilah, masyarakat Poso mengenal apa yang disebut lamoa. Sebuah kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang memungkinkan dirinya melakukan apa saja yang di luar nalar. Coba sesekali analisis secara nalar bagiamana mereka memindahkan batu-batu sebesar itu ke puncak bukit. Sebuah padang rumput yang terhampar luas, yang tanpa batu. Tapi kemudian dihiasi batu-batu yang terukir dengan indah!

Konon inilah, kawasan situs megalitikum terbesar di dunia setelah yang ada di Kepulauan Paskah. Patung-patung raksasa berbentuk manusia setengah badan, dengan sorot mata tajam menghadap ke depan. Sayang belakangan, karena saking banyaknya situsnya, sebagaimana biasa banyak kasus pencurian terjadi. Bisa dipahami bagaimana mungkin menjaga ribuan artefak di hamparan seluas dan seterpencil itu. Hawong yang di dalam museum di tengah kota besar saja bisa bablas..

Kembali ke masyarakat asli Poso, belakangan baru diketahui, bahwa dampak konflik Kristen (yang datang duluan) lawan Islam (yang datang belakangan). Justru membuat sebagian warga kembali ke kepercayaan lamanya. Salah satunya kembali melakukan "ngayau", memenggal kepala siapa pun yang dianggap sebagai aksi bela diri. Terhadap intervensi eksternal yang dianggap mengancam eksistensi kepercayaan asli mereka.

Hal-hal seperti inilah yang kadang tidak muncul ke media-media mainstream. Baik kelompok Kristen maupun Islam menisbikannya, karena arogansi kepercayaan monoteis yang dianutnya. Mereka dianggap seolah "binatang liar" yang harus dijinakkan dan diberi agama.

Dalam kasus yang terakhir terjadi ini, silahkan cek sekali lagi, berbagai berita yang beredar: di mana lokasi rumah beribadah itu berada. Terpencil (bahkan terisolasi), jauh dari masyarakat umum.

Sekali lagi, saya tidak ingin membela Pak Presiden yang disudutkan hanya karena dianggap lambat memberi pernyataan. Saya pikir, negara ini masih punya sumber informasi intelejen yang lebih banyak. Dan informasi valid itu, harus juga dicek dan diperiksa ulang. Benarkah Ali Kalora pelakunya? Kenapa musti memenggal kepala, bukankah sebetapa pun jeleknya mereka juga memiliki senjata api.

Harusnya konteks pemenggalan kepala itu juga dimaknai secara lebih serius, detail dan mendalam.

OK itu tradisi kuno, dianggap sadis untuk ukuran hari ini. Namun, bukankah masalah ukuran-ukuran itu kadang juga adalah persoalan selera-selera. Bagaimana rasanya menjadi kaum tertindas, terdesak, dan terancam di Tanah Air mereka sendiri? Dianggap terbelakang, dan harus diberi agama. Lalu diseret kesana kemari dalam konflik yang tidak mereka mengerti.

Hal-hal sepele seperti ini kadang yang sering gagal dipahami oleh masyarakat medsos yang hyper-modern dan maha-benar itu!

***
NB: Bagi saya biarkan saja Poso apa adanya tanpa agama! Sebagaimana ribuan tahun yang lalu itu. Biar damai, aman, sentosa. Dan punya karya..