Pada titik itu pula, kaum-kaum progresif akan selalu berdiri dan berjuang bersama masyrakat adat dimanapun. Salam
Beberapa hari lalu, kita baru saja memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Ke – 75 Republik Indonesia. Pada hari kemerdekaan RI ke 75, seluruh rakyat seharusnya merayakannya dengan penuh sukacita.
Sayangnya, sehari setelah kita memperingati hari kemerdekaan itu, masyarakat adat Besipae harus merasakan sesuatu yang paling buruk dalam hidup mereka. Tepat pada tanggal 18 Agustus, telah terjadi pembongkaran pondok-pondok milik masyarakat adat Besipae yang berada di sekitar Hutan Adat Pubabu.
Akibat dari itu, sekitar 30 rumah dibongkar paksa dan 47 kepala keluarga terpaksa harus mengungsi.
Dalam aksi pembongkaran paksa tersebut, aparat menggunakan kekerasan verbal dan fisik kepada warga anggota komunitas adat Besipae yang berada di lokasi. Lebih sadisnya, aksi kekerasan ini terutama menyasar perempuan dan anak-anak.
Masalah Agraria
Di negara-negera berkembang, termasuk di Indonesia yang bercorak agraris, tanah memberikan warna tersendiri bagi struktur masyarakatnya.
Masalah agraria, sepanjang jaman, pada hakikatnya adalah masalah politik. Siapa yang menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau, ia menguasai sarana-sarana kehidupan! Dan siapa yang menguasai sarana kehidupan, maka ia menguasai manusia! (Lihat, Christodoulu, 1990; juga Moch,Tauchid, 1952).
Tanpa memahami hal itu, maka kita akan terjebak ke dalam penyelesaian masalah-masalah agraria secara parsial, teknis-administratif dan legalistis; tidak sosiologis, apolitis dan ahistoris.
Selain itu, masalah agraria juga melibatkan banyak aspek lain, khususnya sosial dan ekonomi. Seperti dikemukakan oleh seorang pakar, atribut utama yang melekat pada masalah pertanahan (atau agraria secara umum) adalah masalah kekuasaan, masalah kesejahteraan ekonomi, dan masalah hirarki sosial (A.K. Ghose 1983: 3).
Hal- hal itulah yang pada akhirnya membentuk seperangkat jaringan hubungan yang saling terkait, yang pada gilirannya menentukan corak kehidupan secara keseluruhan
Konflik Agraria Dan Masyarakat Adat Besipae
Masyarakat adat identik dengan persoalan konflik agraria. Konflik agraria dalam konteks masyarakat adat ini muncul akibat lemahnya pengakuan hak atas tanah-tanah adat dan sumber daya alam. Jika ditelisik lebih dalam, konflik agraria tersebut setidaknya dapat dibagi atas dua tipologi, yakni konflik horizontal, dan konflik vertikal.
Konflik agraria horizontal adalah konflik di dalam internal masyarakat adat. Konflik dengan tipe ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi struktural, yaitu ketika posisi hukum negara yang meminggirkan hukum adat beserta otoritasnya dalam mengatasi konflik di dalam internal masyarakat adat.
Sedangkan, konflik agraria vertikal adalah konflik antara masyarakat adat dengan negara (pemerintah) dan atau pemilik konsesi ekstraktif sumber daya alam, misalnya; konflik masyarakat adat dengan negara di kawasan hutan, konflik masyarakat adat dengan pemilik konsesi perkebunan skala besar dan seterusnya.
Konflik agraria vertikal ini lahir akibat pengabaian perlindungan hak adat di dalam hukum agraria dan sumber daya alam, yang kemudian termanifestasi dalam bentuk pengabaian hak dalam setiap proses perizinan, penetapan kawasan dan pemberian konsesi ekstraktif sumber daya alam.
Dengan melihat tipologi konflik diatas terlihat bahwa konflik agraria dalam konteks masyarakat adat sangat dipengaruhi oleh kekuatan struktural, yaitu ketika Negara secara dominan mematikan hak dan otonomi masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam.
Akibatnya, masyarakat adat kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan konflik di dalam internal komunitasnya dan marjinal dalam berhadapan dengan pihak lain, terutama pihak pemilik modal. Dalam hal ini, konflik horizontal maupun vertikal sejatinya adalah dampak dari tak adanya perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat.
Dalam dimensi yang lebih dalam lagi, konflik agraria dalam konteks masyarakat adat tak hanya soal pertentangan klaim atas tanah, namun telah menyentuh pada persoalan yang lebih mendasar, yaitu konflik hukum antara hukum negara dengan hukum adat.
Konflik hukum ini melahirkan situasi yang potensial meruntuhkan harmoni sosial dalam kehidupan masyarakat. Misalnya dapat kita lihat dalam bentuk manifestasi kekerasan yang berakar dari konflik-konflik agraria terkait masyarakat adat dan penolakan terhadap putusan-putusan hukum yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Politik Hukum
Konflik hukum antara hukum adat dengan hukum negara dalam bidang agraria muncul akibat perbedaan paradigma hukum, antara dua sistem hukum tersebut. Satu sisi, hukum negara menganut karakter kepemilikan individual atas tanah, bersifat formal dan menitikbertakan pada sisi ekonomi, sedangkan hukum adat menganut karakter kepemilikan komunal atas tanah, bersifat informal, kultural dan menitikberatkan pada fungsi sosial tanah.
Perbedaan paradigma ini memperlebar jurang hukum (legal gap) antara hukum dengan kenyataan sosial kemasyarakatan. Jurang hukum berakibat pada penyingkiran hak-hak adat atas tanah dan melahirkan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.
Jika ditelisik lebih dalam, inti persoalan hukum agraria tersebut tidak terlepas dari politik hukum (political legal concept) agraria yang membatasi pemberlakukan hak adat dengan dalil “tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.” Dalil kepentingan nasional yang tanpa ukuran yang jelas ini menjadi senjata mematikan bagi pelaksanaan hak adat.
Mempertentangkan hak adat dengan kepentingan nasional tidaklah logis, sebab kepentingan hak masyarakat adat sejatinya adalah bagian tak terpisahkan dari kepentingan nasional.
Namun dalam praktik maupun dalam perumusan norma hukum tentang hak adat, acapkali hak adat dibaikan dengan dalil tersebut, sehingga secara nyata, demi proyek-proyek pembangunan dan investasi berkedok kepentingan nasional telah meminggirkan hak adat.
Dalam konteks ini, dalil kepentingan nasional ini perlu dikonstruksi ulang dengan memberikan batasan normatif yang jelas dalam hukum agraria (Undang-Undang Pokok Agraria). Dalil penafsiran kepentingan nasional yang meluas membuka peluang akan distorsi untuk membatasi hak masyarakat adat.
Demi Pertumbuhan
Politik hukum agraria setali mata uang dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi berbasis lahan dan modal. Model pembangunan ini merampas tanah (Land Grabbing) masyarakat adat yang dilegitimasi oleh hukum. Sampai saat ini, kecenderungan pola perampasan tanah adat dengan kekuatan hukum negara tidak banyak berubah, walaupun pada bandul yang lain, reformasi hukum mulai mengakomodasi hak adat, misalnya pengakuan hutan adat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No.35/2012.
Meski begitu, reformasi hukum belum sepenuhnya mengatasi persoalan agraria yang mendasar. Hal ini terlihat dari hambatan legal dalam pelaksanaan Putusan MK No.35/2012 yang mempersyaratkan pengakuan masyarakat adat melalui produk hukum Daerah untuk dapat mengakses hutan adat. Persyaratan tersebut jelas berbiaya mahal, baik secara politik maupun ekonomi, sehingga bisa dikatakan bahwa prosedur pengakuan hak masyarakat adat telah membatasi sejak awal pemenuhan hak.
Lebih miris lagi, alih-alih menfasiltasi lahirnya hukum untuk mempermudah prosedur pengakuan hak adat atas tanah dan sumber daya agraria, Pemerintah bersama DPR justru lebih bersemangat mempercepat proses pembahasan RUU yang pro modal, misalnya RUU Omnibus law dibandingkan dengan membahas RUU Masyarakat Adat.
Demikianlah, persoalan konflik agraria dalam konteks masyarakat adat nampaknya akan masih terus berlanjut. Masyarakat adat seperti masyaralat Besipae dan lain-lainnya masih akan terus bergelut untuk mempertahankan haknya dalam situasi konflik agraria yang makin massif di masa depan.
Selama paradigma dan politik hukum agraria tidak berubah secara mendasar, dan tak adanya upaya politik untuk mengubah hal tersebut, maka konflik akan selalu menjadi ancaman, seperti halnya api dalam sekam yang akan membakar rumah Indonesia kita. Dan pada titik itu pula, kaum-kaum progresif akan selalu berdiri dan berjuang bersama masyrakat adat dimanapun. Salam
#SaveBesipae
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews