Mewaspadai Penyebaran Radikalisme Menyasar Anak Muda

Tentu saja hal ini harus diantisipasi sejak dini, peran lintas sektoral dari sekolah ataupun lembaga non-konvensional tentu harus bersinergi untuk mencegah anak muda dari paparan paham radikal.

Rabu, 20 Mei 2020 | 13:00 WIB
0
227
Mewaspadai Penyebaran Radikalisme Menyasar Anak Muda
Remaja dan radikalisme (Foto: Kompasiana.com)

Penyebaran radikalisme masih menjadi ancaman bagi kelangsungan bangsa dan negara Indonesia. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, target radikalisme pun kini juga menyasar generasi muda yang memang akrab dengan internet. Masyarakat dan Aparat Keamanan diharapkan jangan lengah terhadap fenomena tersebut. 

Sudah sejak lama kita bisa mengetahui bahwa anak muda merupakan golongan yang paling rawan yang terpapar radikalisme dan terorisme. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang mengatakan bahwa anak-anak berusia antara 15 dan 29 tahun merupakan sektor sosial paling rawan terpapar radikalisme dan terorisme.

Ia menjelaskan bahwa anak muda biasanya menjadi tulang punggung organisasi-organisasi radikal dalam menggelar aksi-aksi kekerasan. Sebagian terlibat dalam aksi-aksi jihad di kawasan yang dilanda konflik komunal dan menjadi mastermind serta pelaku utama aksi-aksi pengeboman seperti di Bali, Jakarta, Solo, Surabaya dan kota-kota lainnya.

Berdasarkan catatannya, ada sekitar ratusan anak muda Indonesia yang bergabung ISIS. Dirinya juga menyampaikan bahwa keterlibatan kaum muda dalam radikalisme dan terorisme tidak bisa dilepaskan dari tingginya angka pengangguran, ketiadaan kesempatan, tidak berfungsinya struktur keluarga dan eksklusi sosial.

Menurutnya, radikalisme dan terorisme bisa dianggap pelarian kekanak-kanakan kaum muda atas kekecewaan-kekecewaan mereka terhadap situasi yang dihadapi. Dirinya juga menyampaikan data, pada akhir tahun 90an kaum muda semakin sulit mendapatkan pekerjaan. Mereka menempati 72,5 persen dari total pengangguran dan 600 ribu lulusan universitas tidak bisa mendapatkan pekerjaan.

Pada awal 2000-an, lebih dari 60 persen anak muda antara 15 hingga 19 tahun yang siap kerja belum mendapatkan pekerjaan. Di saat ekonomi mengalami peningkatan pada paruh kedua 2000-an dan setelahnya, 2 juta sampai 3 juta orang masuk ke dalam daftar pencari kerja baru setiap tahun. Sehingga angka pengangguran tetap tinggi.

Masuknya era reformasi menjadi pertanda dimulainya kebebasan di Indonesia, dimana kelompok – kelompok Islam transnasional semakin kencang memanfaatkan situasi tersebut untuk semakin menggaungkan ajarannya.

Dimana mereka menyasar sekolah atau kampus sebagai upaya menjaring simpatisan dari para anak muda.

Survey yang dilakukan oleh PPIM UIN Syarif Hidayatullah pada akhir 2017 menunjukkan adanya potensi radikalisme di kalangan generasi z, yaitu yang lahir pada pertengahan 90-an sampai pertengahan 2000 – an. Temuannya adalah sebesar 37.71 persen memandang bahwa jihad adalah perang, terutama perang melawan non – muslim.

Selanjutnya 23.35 persen setuju bahwa bom bunuh diri itu jihad Islam. Lalu yang tak kalah mengerikan 34.03 persen setuju jika ada umat muslim yang murtad maka harus dibunuh. Temuan lainnya 33,04 persen berpendapat perbuatan intoleran terhadap kelompok minoritas tidak masalah.

Para generasi Z ini mendapatkan banyak materi Islam salah satunya dari Internet dan media sosial, dimana anak muda bisa dipastikan sangat dekat dengan internet.

Kelompok radikal menggunakan internet dan media sosial dengan serius karena menjangkau warganet secara luas. Dari ratusan ribu atau jutaan yang menonton atau membaca informasi yang diunggah, dalam persentase tertentu ada yang terdoktrinasi. Dari situ, tinggal membina, membangun jejaring dan merawatnya untuk memperkuat posisi dan suatu saat dimanfaatkan bagi kepentingan kelompoknya.

Anak muda menjadi sasaran karena target penyebaran radikalisme karena masih punya jiwa muda. Selain itu, biasanya anak muda yang terpapar radikalisme ialah yang baru mendalami agama. Faktor lainnya ialah sifat ingin menunjukkan eksistensi diri.

Mereka (anak muda) tentu akan mudah terpikat oleh etos perjuangan melawan kebobrokan, penindasan pada lantaran lokal, nasional maupun global, biasanya yang tertarik mereka yang baru belajar agama atau mualaf, jadi cenderung orang yang baru masuk Islam ingin menunjukkan dia lebih Islam dari siapa saja.

Selain itu, anak muda yang kurang bergaul dengan teman-temannya juga sangat muda terpapar radikalisasi. Kelompok seperti ini termasuk yang diincar oleh kelompok radikal.

Para remaja dan pemuda yang kini terindoktrinasi ajaran radikal, layaknya bibit – bibit yang baru mau bertumbuh, saat ini mereka tidak menunjukkan tanda bahaya bagi masyarakat, namun semaian radikalisme yang terus dipupuk akan menjadi sangat berbahaya pada 20 – 30 tahun mendatang ketika mereka sudah dewasa, memiliki kekuasaan, sumberdaya atau akses tertentu.

Tentu saja hal ini harus diantisipasi sejak dini, peran lintas sektoral dari sekolah ataupun lembaga non-konvensional tentu harus bersinergi untuk mencegah anak muda dari paparan paham radikal.

***