Ketika Duka Berkunjung

Pembebasan dari duka berarti penerimaan total pada apa yang ada saat ini. Tak ada yang ditambahkan. Tak ada yang dikurangi. Semua sebagaimana adanya.

Selasa, 2 Juli 2019 | 11:41 WIB
0
413
Ketika Duka Berkunjung
Ilustrasi (Foto: Rumahfilsafat.com)

Ketika kehilangan sesuatu, manusia berduka. Kematian dan perpisahan dengan orang yang dicintai memicu rasa duka di dalam batin manusia. Duka pun berujung pada rasa kesedihan yang mendalam, sekaligus kesepian. Rasa duka tidak hanya dipicu, ketika kematian ataupun perpisahan semata, tetapi juga oleh lenyapnya pekerjaan, kegagalan dari sebuah ambisi, sakit yang parah sampai dengan perpindahan tempat tinggal.

Rasa duka itu unik. Setiap orang mengalami dan menjalaninya secara berbeda. Namun, ia tak perlu ditolak. Jika ditolak atau ditekan, ia akan semakin membesar. Rasa duka perlu dipahami.

Tahap-tahap Berduka

Di dalam dunia kesehatan, beragam penelitian menunjukkan, bahwa berduka itu memiliki tahap. Artinya, berduka itu berarti menjalani sebuah proses. Pikiran manusia membutuhkan waktu untuk beradaptasi, setelah perubahan besar terjadi. Ada lima tahap di dalam berduka.

Pertama, duka memicu penolakan dalam diri. Orang menolak keadaan yang menyakitkan hatinya. Ada perasaan kaget sekaligus mati rasa yang muncul berbarengan. Ini adalah tanggapan tubuh untuk menanggapi perubahan emosi yang mendadak.

Dua, rasa duka memicu kemarahan. Kekecewaan membuat orang marah terhadap keadaan. Di sela-sela kemarahan, ada perasaan tak berdaya. Kemarahan yang dibarengi dengan beragam emosi jelek lainnya adalah tahap normal di dalam berduka.

Tiga, rasa duka menciptakan penyesalan. Orang mengulang kembali ingatannya. Ia berpikir, seandainya ada yang bisa dilakukan lebih, sebelum semua ini terjadi. Penyesalan kerap kali bermuara pada tindakan menyalahkan diri sendiri.

Empat, rasa duka juga menciptakan depresi dalam diri. Rasa duka menciptakan gangguan tidur, hilangnya nafsu makan dan perasaan sedih yang berkepanjangan. Kesepian dan penyesalan juga datang berkunjung. Pada titik terparah, keinginan bunuh diri pun timbul.

Lima, tahap terakhir dari berduka adalah penerimaan. Orang menerima, bahwa keadaan memang menyakitkan. Harapannya patah. Namun, begitulah keadaannya. Namun begitu, hidup harus terus berjalan.

Kelima proses ini unik untuk setiap orang yang berduka. Terkadang, orang harus kembali marah, setelah ia mengalami depresi. Dengan kata lain, orang bisa kembali ke tahap sebelumnya. Semua ini bisa dipicu oleh berbagai hal dari luar, mulai dari suara lagu kenangan, sampai dengan peringatan kematian.

Berduka juga tak memiliki waktu yang pasti. Banyak hal yang mempengaruhi proses berduka seseorang, mulai dari ciri kepribadian, sampai dengan dukungan keluarga. Biasanya, duka terasa lebih besar dan lama, ketika kematian orang yang disayang terjadi.

Mengolah Duka

Pada akhirnya, tubuh manusia adalah sesuatu yang rapuh. Perubahan keseimbangan sedikit saja akan berujung pada sakit. Ilmu yang telah diperoleh puluhan tahun lenyap, ketika pikiran atau otak terganggu. Tidak hanya rapuh, hidup juga terus berubah.

Baca Juga: "Kemenangan" Sepihak dan Duka Demokrasi Pemilu 2019

Apa yang kuat dan sehat akan menjadi lemah, dan sakit di kemudian hari. Apa yang cantik dan perkasa akan menjadi usang, dan tak berdaya di masa depan. Itulah hukum kehidupan. Tak ada satu mahluk pun yang bisa mengingkarinya.

Walaupun berubah, susunan energi yang membentuk kehidupan, dan seluruh alam semesta yang ada, tetap abadi. Begitulah temuan dari ilmu fisika modern yang disebut sebagai hukum kekekalan energi. Tak ada energi yang lenyap. Yang ada hanyalah perubahan bentuk dari energi yang telah ada.

Maka, sesungguhnya, tak ada kematian. Tak ada perpisahan. Semuanya hanyalah perubahan dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Mayat yang dikubur akan menjadi makanan dari beragam tumbuhan maupun binatang di tanah. Hidup jalan terus.

Juga, tak ada yang kita dapatkan, dan tak ada yang kita lepaskan. Segalanya selalu berada dalam jumlah yang sama. Hanya bentuknya yang berbeda. Kita hanya perlu mengamati keadaan sekitar kita secara jeli, guna memahami ini.

Duka Politik

Di 2019 ini, politik Indonesia pun dipenuhi duka. Ambisi yang patah, akibat kekalahan di dalam pemilihan umum. Rasa duka terjadi secara kolektif di berbagai tempat di Indonesia. Ambisi yang runtuh, apalagi dengan kerugian uang yang amat besar, mengantarkan orang pada gerbang duka.

Penolakan, penyesalan, kemarahan dan depresi pasti datang dan pergi. Ada yang tak mampu mengelolanya, lalu terjebak pada beragam bentuk penyakit jiwa, dan kehilangan kewarasan. Namun, ini bukanlah sebuah hal mutlak. Duka, seperti disinggung sebelumnya, bisa dipahami dengan kaca mata yang berbeda.

Kegagalan dan keberhasilan hanyalah saat-saat yang terus berubah. Tak ada yang abadi dari keduanya. Bahkan, jika dilihat lebih jeli, kegagalan dan keberhasilan tidak ada pada dirinya sendiri. Itu semua adalah cap yang kita tempel pada berbagai peristiwa yang kita alami.

Pemahaman ini adalah pembebasan dari duka. Pembebasan dari duka berarti penerimaan total pada apa yang ada saat ini. Tak ada yang ditambahkan. Tak ada yang dikurangi. Semua sebagaimana adanya.

***