Quraish Shihab, Ahli Tafsir dan Lelaki Banyak Naksir

Atas berbagai pertimbangan ia memindahkan jalur dakwah tak lagi di rumah tapi ke layar kaca. Sejak akhir 1990-an Quraish Shihab mengasuh acara Lentera Hati di Metro TV.

Selasa, 28 Mei 2019 | 19:58 WIB
0
895
Quraish Shihab, Ahli Tafsir dan Lelaki Banyak Naksir
Saya dan Quraish Shihab (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Selepas Ashar, Prof Quraish Shihab muncul di depan pintu kaca ruangan belakang rumahnya, Senin (27/5/2019). Dia tersenyum kecil menyaksikan tiga kamerawan Tim Blak-blakan menata kamera dan lampu. Tiga puluh menit berselang, produser Blak-blakan, Erwin Dariyanto akan mewawancarai Prof Quraish.

Agar para juru kamera tidak grogi kerja mereka dimandori si empunya rumah, saya dan Erwin mengajak berbincang ringan sang ahli tafsir lulusan al-Azhar, Mesir itu. Prof Quraish yang sudah lebih dari 20 tahun berdakwah di depan kamera televisi sepertinya maklum dengan situasi yang terjadi.

“Ruangan ini tempat saya dulu mengadakan pengajian,” katanya.

Ruangan berukuran sekitar 5x15 meter itu letaknya paling belakang. Berbatasan langsung dengan kolam renang dan dapur. Empat buah penyejuk ruangan melengkapi karpet dan belasan alas duduk dari busa berbalut kulit sintetis warna gelap.

Di salah satu dinding terpasang kaligrafis surat Yasin, lukisan sang kakek (Habib Ali Shahab) di antara Habib Abdulqadir bil Faqih, guru dan pembimbing spiritual saat nyantri di Dar Alhadist Alfaqihiyah, Malang dan Prof Dr Abdulhalim Mahmud (Grand Syech al-Azhar).

Peserta pengajian, menurut Quraish, semula cuma kerabat dan orang-orang dekat di sekitar rumah. Tapi kemudian masing-masing membawa kenalan hingga peserta tak tertampung lagi. Jumlahnya lebih dari 200 orang, hingga mereka harus duduk berjejer di pinggiran kolam renang.

Atas berbagai pertimbangan akhirnya dia ‘memindahkan’ jalur dakwah tak lagi di rumah tapi ke layar kaca. Sejak akhir 1990-an Prof Quraish mengasuh acara Lentera Hati di Metro TV.

Selama Ramadan ini dia tampil di SCTV dan Indosiar. Materi dakwah berdurasi empat dan satu menit di SCTV telah direkam di kawasan Batu, Malang sejak beberapa waktu lalu. “Sepuluh hari kami di sana menyiapkan 90 episode,” ujar lelaki kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944 itu.

Sekitar 15 menit pertama, wawancara berkutat soal puasa ramadan dan Idul Fitri. Maklum, wawancara ini kami rencanakan untuk tayang dua hari menjelang atau pas di hari Lebaran.

Prof Quraish antara lain berkisah tentang kebiasaan ia dan keluarga besarnya merayakan Lebaran. Selepas duhur, kata dia, adik-adik, anak-anak serta para menantu dan cucu biasa berkumpul.

Mereka saling bertukar kado, juga memberi hadiah kepada siapa yang memenangi aneka lomba. Perlombaan digelar dadakan. Mulai lomba menyanyi hingga merayu para isteri. “Itu salah satu cara kami menjalin silaturahmi dan mempererat kasih sayang di antara anggota keluarga,” kata Quraish yang hingga tahun ini telah menulis 72 buku.

Ketika pertanyaan kemudian memasuki isu mutakhir di bidang politik, dengan halus mantan Rektor UIN Jakarta dan Menteri Agama itu sambil tersenyum mengingatkan, “Ini endak apa-apa lebaran kok kita bicara politik?”

“Kan maksudnya biar masyarakat kembali benar-benar guyub pasca lebaran, Prof,” Erwin berkelit.

Baca Juga: Rumor Panas Seputar Najwa Shihab dan AHY, Gara-gara PAN Plin Plan?

Sementara tiga juru kamera kami, Johan, Zacky, dan Mimo, sepanjang wawancara ikut terlihat khusuk menyimak paparan Prof Quraish. Sesekali mereka mengetik sesuatu di telepon genggam masing-masing. “Baru kali ini wawancara isinya layak quote semua,” bisik Zacky. Kedua temannya manggut-manggut.

Usai wawancara, ketiganya bergantian meminta foto bareng dengan Prof Quraish Shihab. Tak terkecuali saya. Ketika foto saya dan Prof Quraish diunggah ke Instagram, Teguh Imam Suryadi, berkomentar, “Yang kiri ahli tafsir, yang kanan banyak yang naksir.”

Ah, mantan wartawan Harian Terbit yang kini dikenal sebagai pengamat perfileman itu meledek. Faktanya saya lah yang biasa naksir banyak perempuan, tapi tak bernyali untuk mengungkapkan. Itu dulu, dulu sekali ketika masih remaja. Sekarang sih, tak beda! Buktinya, saya tak punya nyali naksir para putri sang ahli tafsir yang keceh-keceh itu.

***