Benci Tak Beralasan

Sebagus apapun kamu mencitrakan dirimu, tapi orang-orang bisa mengumpulkan data dan bukti bahwa sejatinya kamu itu manusia macam apa.

Sabtu, 6 Februari 2021 | 07:46 WIB
0
194
Benci Tak Beralasan
Ilusrasi kebencian (Foto: jurnalnews.id)

Waktu SMA, Saya pindah sekolah. Di sekolah baru saya langsung populer. Karena saya pindah dua bulan lagi menjelang ulangan semester, dan ternyata waktu menerima rapor saya dapat peringkat satu. Padahal saya pindah dari desa ke kota.

Keberhasilan saya menggeser posisi juara tentu saja membuat saya dikenal semua orang. Si Anak Baru Juara Satu, begitulah mereka menjuluki saya. Pro dan kontra pun terjadi. Banyak yang suka, sehingga banyak yang mengajak kenalan dari kelas lain.

Tentu saja yang tidak suka pun pasti ada. Bahkan ketidaksukaannya itu ditunjukkan secara terang-terangan. Suka menyindir dan melototkan matanya pada saya, jika kita bertemu mata. Kadang malah seperti sengaja memancing emosi saya. Tetapi saya tidak pernah meladeninya, atau mengambil pusing tingkahnya. Karena saya merasa tidak ada urusan dengannya.

Awalnya saya bingung, kenapa ada orang yang tidak suka sama saya. Padahal saya merasa tidak melakukan apapun yang menyakitinya. Bahkan saya tidak pernah bertegur sapa dengannya. Karena kami juga beda kelas.

Seiring waktu kebenciannya pada saya tidak berkurang. Pun ketika kita sudah lulus sekolah, dan berada di kampus yang sama semasa kuliah. Tetap kebenciannya pada saya tidak berubah. Padahal kita beda jurusan, tetapi dia selalu datang main ke ruangan jurusan saya, karena dia punya teman yang sejurusan dengan saya.

Seperti biasa, dia mengeluarkan kata sindiran, dan seperti overacting ingin mencari perhatian saya. Namun sikap saya tetap, tidak ingin menanggapinya atau meladeni sikapnya itu. Saya merasa tidak ada urusan dengan saya. Dalam pikiran saya, rasa tidak sukanya itu urusan dia dengan pikirannya. Tidak ada urusannya dengan saya.

Hingga suatu hari kebenciannya pada saya meledak bak bom atom Hiroshima. Dahsyat dan menghancurkan semua yang ada di sekitarnya. Tentu saja saya bingung apa yang terjadi. Saya gelagapan menerima kemarahannya itu. Karena saya benar-benar tidak paham salah saya itu apa. Saya cuma bengong dan terdiam penuh tanda tanya atas sikapnya itu.

Ternyata seorang teman satu sekolah, yang juga berada di kampus yang sama, meskipun tidak akrab dengan saya, membeberkan kesalahan saya bahwa dia membenci saya karena ternyata cowok yang sudah lama ditaksirnya ternyata memuji-muji saya waktu baru pindah sekolah masa SMA dulu.

Saya juga baru paham bahwa dia sangat iri dengan rambut saya yang hitam legam, lurus dan panjang sepinggang. Sehingga banyak yang menyukainya dan bilang rambut saya seperti rambut sunsilk. Alasannya, rambut dia merah/pirang, tipis dan pendek. Dia juga benci sama saya, karena guru-guru hampir semua kenal dengan saya dan hapal nama saya meskipun Anak Baru di masa itu.

Mendengar semua alasan yang tidak masuk akal itu, saya jadi paham bahwa ada seribu satu alasan kenapa orang benci atau suka pada kita. Bahkan kadang tidak butuh alasan benci dan suka juga. Suka ya suka aja. Begitu juga dengan tidak suka, rasa itu bisa hadir tak terduga.

Begitu juga di dumay ini. Di antara yang saya anggap teman, ada saja yang tidak suka. Meskipun belum kenal secara personal, belum pernah ketemu face to face, tapi tanpa alasan telah menunjukkan permusuhannya pada saya. Padahal tidak tahu persis kehidupan saya. Hanya menduga-duga berdasarkan pikiran negatifnya sendiri.

Saya menduga dia berburuk sangka pada saya hanya karena dia ada rasa iri dengan kehidupan saya yang meskipun biasa saja tapi bisa tercipta berbagai kisah hidup yang bisa dituliskan dengan nyata. Hidup ternyata selucu itu, ngajak berteman tapi ternyata untuk dibenci. Saya jarang blokir orang. Saya melakukan pemblokiran hanya pada akun yang pemiliknya seperti mati dan yang FPnya "aneh" dan postingannya juga nggak masuk akal. Selebihnya saya biarkan jika masih bisa saya kondisikan.

Baca Juga: Mewaspadai Ujaran Kebencian dan Radikalisme Saat Pandemi Corona

Namun belakangan ini, saya mengamati dengan seksama, selalu ada orang munafik yang berlagak care, sok jadi polisi moral, postingannya sungguh bertolak belakang dengan tingkahnya. Ibaratnya pagi dele sore tempe, plin plan dan tidak konsekwen. Terang-terangan benci pada saya, tapi tetap bertahan di rumah saya. Selalu menggiring opini busuk, benci membabi buta tanpa alasan. Sehingga setiap postingan saya dia merasa itu ditujukan buat dia.

Sungguh orang yang sangat "mensyukuri nikmat", mau bilang orang yang nggak tau diri, nggak tega saya. Rupanya dia lupa esensi dasar dari FB untuk berkawan. Rupanya oleh sebagian orang pekok nalar bengkok malah dibuat untuk nyari musuh.

Sebagus apapun kamu mencitrakan dirimu, tapi orang-orang bisa mengumpulkan data dan bukti bahwa sejatinya kamu itu manusia macam apa. Kamu boleh bersikap sok manis, tapi manismu itu cuma biang gula bakal ketahuan juga.

Manis bercampur rasa pahit dan bisa menyebabkan sariawan, batuk dan gangguan perut. Teman seperti itu apa layak dianggap teman? Bukankah dia itu semunafik-munafiknya manusia yang berdalih berteman tapi aslinya merasa musuh?

***