Youtuber dan Hantu Perempuan

Gerakan ini sering didukung oleh golongan keagamaan yang kerap melakukan interpretasi literal terhadap ajaran agama. Mereka penentang paling kuat, baik langsung maupun tidak langsung.

Jumat, 9 April 2021 | 07:07 WIB
0
371
Youtuber dan Hantu Perempuan
Ilustrasi setan (Foto: Facebook/Vita Klaretha)

Youtuber pengantin remaja berikat kepala itu sedang mendapat kecaman berat. Bukan hanya karena konten recehnya seperti selama ini (termasuk mengunggah malam pertamanya yang segera ditonton jutaan netizen), tetapi juga karena dianggap telah mendiskreditkan perempuan dalam relasi suami-istri. Tidak heran bila Komnas perempuan pun ikut meradang dan bersuara garang.

Attack Halusinasi dalam suatu konten kedapatan berkata: ‘ketika menikah, suara suami adalah dari Tuhan’. Sebenarnya ia hanya sedang mengatakan konsep umum tentang pernikahan: bahwa istri harusnya mendiskusikan pada suami segala langkahnya sebelum bertindak.

Menjadi menyebalkan ketika Attack membawa nama Tuhan. Seolah memastikan bahwa semua pertimbangannya benar, sejalan dengan nilai-nilai kebajikan, yang selama ini sering dipahami sebagai konsep ‘Tuhan’.

Lalu bagaimana kita tahu bila kata-katanya sejalan dengan keinginan Tuhan? Bukankah Tuhan selalu bungkam?

Kata-kata Attack itu terus terang membuat saya takut. Bisa jadi Attack adalah tipe orang yang sering mengidentifikasikan pikirannya sebagai suara Tuhan. Menganggap diri sendiri terlalu suci.

Saya kemudian tidak kuasa untuk tidak ngakak membayangkan Tuhan sedang ngeprank, seperti dalam video-video Attack. Atau Tuhan yang terlihat tak bijak karena seolah sedang bersabda melalui kata-kata Attack yang mungkin sedang pusing karena mengikat kepalanya terlalu kuat.

Tuhan yang membisiki Attack agar selalu berpose‘mengangkang’ dalam foto-fotonya, termasuk dalam foto pengantin bersama orang-orang lain yang lebih tua dan terhormat. Jika ia menyuarakan Tuhan, Attack membuat Tuhan terlihat pethakilan.

Duh, mengapa saya jadi receh memikirkan Attack begini. Ia influencer, meski banyak yang menganggapnya bad influencer.

Sebelum era medsos, influencer perorangan belum terlalu populer. Tetapi menarik bila kita amati, apa yang dilakukan Attack sebagai influencer, dahulu disuarakan antara lain melalui film. Dan film pun tak bisa lepas dari masalah maskulinitas dan kesetaraan gender.

Sebelum tahun 2000an tokoh utama pria di sinema Indonesia ditampilkan sebagai kepala rumah tangga, pemberi nafkah, pengayom, dan pelindung. Sejak tahun 2000-an tokoh utama pria mulai digambarkan bersifat lembut, sensitif, ekspresif secara emosional, egaliter, aktif mengasuh anak, mendukung karir pasangan dan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga. Demikian ditulis dalam The Conversation bertanggal 6 November 2017.

Tokoh pria pasca 2000 diwakili tokoh protagonis Rangga dalam Ada Apa dengan Cinta (2002). Rangga pendiam, intelektual, tidak agresif, lembut, puitis, dan bisa memasak. Sifat-sifat ini kemudian diidentifikasikan sebagai maskulinitas jenis baru.

Rangga tidak seperti si Boy dalam film “Catatan Si Boy, idola remaja Indonesia pada 1980-1990an. Boy kaya, supel, suka olahraga, fisiknya kekar, dan populer. Sifat serupa Rangga itu juga terlihat dalam film Perempuan Berkalung Sorban (2008) melalui tokoh Khudhori yang juga tidak terganggu dengan istri yang mandiri secara ekonomi.

Inilah yang disebut maskulinitas baru. Kehadiran maskulitas baru ini, yang hadir dalam bentuk ‘laki-laki baru’ di Indonesia, muncul seiring dengan adanya perubahan tatanan gender yang dominan di Indonesia.

Imbas krisis ekonomi Asia di akhir 1990an membuat perempuan mau tak mau ikut turun tangan menyokong perekonomian keluarga. Akibatnya, pasca Orde Baru, gerakan perempuan semakin intensif berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Gerakan perempuan juga menginspirasi lahirnya gerakan laki-laki pendukung kesetaraan gender, seperti Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) yang mewadahi pemberontakan laki-laki Indonesia terhadap konstruksi sosial yang lazim saat itu.

Perubahan pada tatanan gender ini mempengaruhi representasi perempuan dan femininitas ideal di film, dan produk budaya populer lainnya. Perempuan bekerja dan aktif dalam peran publik makin mapan posisinya sebagai bentuk femininitas ideal alternatif.

Sayang usaha untuk mengubah citra maskulin menjadi lebih lembut serta kesetaraan gender ini bukan tanpa tantangan.

Attack dan ucapan ‘suara suami suara Tuhan (vox laki vox dei)’ mungkin salah satunya. Tampillah kelompok-kelompok pendukung budaya patriarki yang menekankan agar perempuan lebih inferior daripada laki-laki dan hanya melakukan peran domestik dan reproduksi.

Gerakan ini sering didukung oleh golongan keagamaan yang kerap melakukan interpretasi literal terhadap ajaran agama. Mereka penentang paling kuat, baik langsung maupun tidak langsung.

Menarik diamati kemudian adalah hubungan antara kelompok penentang kesetaraan gender ini dengan apa yang disebut ‘Ibuisme negara’.

Kajian tentang Ibuisme ini dipopulerkan Julia Suryakusuma lebih 30 tahun lalu. Di masa Orde baru itu, negara mengintervensi kehidupan hingga ranah privat seperti seksualitas. Intervensi ini diaplikasikan pada peraturan seperti aturan pernikahan pegawai negeri yang sangat ketat, termasuk juga dalam organisasi seperti Dharma Wanita. Organisasi yang tidak menempatkan perempuan berdasar kompetensinya, melainkan mengikut jabatan suami.

Intervensi ini, menurut Julia dalam wawancara dengan Tirto.id pada 28 November 2017, masih dianggap relevan tapi bukan oleh lembaga negara melainkan agama. Mulai dari cara berpakaian, cara berperilaku semua diatur seperti dalam ibuisme negara. Ibuisme agama. Konsepnya lama yang terus berlaku dan bisa diimplementasikan ke banyak lini.

“Tetap itu [intinya] adalah kontrol terhadap perempuan, hanya bergeser saja penentunya. Tapi sekarang agama juga dipolitisir, jadi sebetulnya nyambung juga ke negara. Misal lagi pilkada jadi pada pakai jilbab, atau seperti pemilihan gubernur Jakarta kemarin, benar-benar seperti atribut, “kata Julia Suryakusuma.

Dalam patriarki modern sendiri ada banyak kontradiksi. Tidak semua laki-laki bisa menjadi pemberi nafkah keluarga. Kontradiksi ini diredam dengan tetap membiarkan istri tetap ikut mencari nafkah dalam banyak rumah tangga, namun tetap menuntut agar perempuan tetap memprioritaskan peran domestik dan reproduktif-nya.

Ada banyak kasus dimana pria memberi penekanan pada ‘tetap menjalankan peran domestik’ ini dengan intimidatif bahkan diikuti KDRT. Sesuatu yang potensial dilakukan oleh orang-orang serupa Attack dengan konsep ‘vox laki vox dei’ nya.

Tetapi siapa mengira bila mitos-mitos tentang hantu, sebenarnya adalah gambaran tentang adanya kasus-kasus ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.

Ada fakta yang asyik disimak: tradisi Nusantara punya banyak kisah hantu perempuan. Mulai dari Kuntilanak, Sundel Bolong, si Manis Jembatan Ancol, Wewe Gombel, dan banyak lainnya. Kisah para hantu perempuan warisan leluhur ini seolah menjadi peringatan dari generasi-generasi pendahulu kita mengenai nasib perempuan Indonesia.

Kuntilanak adalah hantu perempuan yang meninggal saat melahirkan. Sundel bolong adalah perempuan yang diperkosa yang juga meninggal saat melahirkan. Apabila kuntilanak menghantui perempuan usai persalinan dan melarikan bayi baru lahir, maka Sundel Bolong meneror lelaki yang berjalan sendirian di malam hari. Si Manis Jembatan Ancol juga perempuan yang meninggal diperkosa yang kemudian membalaskan dendam.

Figur mistis yang sedikit berbeda adalah Nyai Roro Kidul yang dipercaya sebagai ratu penguasa dunia gaib di Laut Selatan serta menjadi istri mistis setiap raja Mataram. Nyai Roro Kidul bisa jadi adalah gambaran ideal yang diidamkan perempuan Nusantara.

Ada benang merah yang menghubungkan berbagai riwayat hantu populer tersebut: yaitu terbatasnya akses perempuan terhadap keadilan dan pelayanan kesehatan serta tingginya risiko kekerasan seksual yang mereka hadapi. Si Manis Jembatan Ancol dan Sundel Bolong menuntut keadilan, sementara, Kuntilanak gagal mendapatkan layanan kesehatan yang layak.

Jika kita tidak memperbaiki akses pelayanan kesehatan bagi perempuan dan membiarkan pelaku kekerasan seksual bebas tanpa hukuman atas kejahatannya, kita akan melanggengkan kisah hantu perempuan pada generasi selanjutnya. Tak hanya di gambar bergerak, tapi juga di dunia nyata.

Berdasarkan data yang dikutip dari Kementerian Kesehatan, angka kematian pada ibu melahirkan di Indonesia pada tahun 2015, adalah 305 orang per 100 ribu kelahiran hidup. Angka rata-rata kematian ibu di Indonesia jauh di atas negara maju yang angka rata-ratanya hanya 12 per 100.000 kelahiran hidup.

Dua penyebab utama kematian menurut kementerian pada 2013 adalah perdarahan dan hipertensi.

Sementara data kasus kekerasan seksual bisa membuat bulu kuduk berdiri tanpa harus bertemu Sundel Bolong. Satu dari 3 perempuan Indonesia berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual selama hidupnya. Data ini dikutip dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016 dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sampel 9.000 perempuan dari seluruh Indonesia.

Angka tingkat pemerkosaan di Indonesia selama tahun 2015 mencapai 1.739 kasus berdasarkan data BPS. Bandingkan dengan total angka pencurian dengan senjata tajam dan api pada tahun yang sama adalah 1.097; masih lebih rendah dibanding perkosaan.

Jika pemerkosa diberi hukuman yang berat, Mungkin Sundel Bolong tak perlu sendirian memburu jahanam-jahanam tersebut dari alam baka. Di Indonesia banyak pelaku kekerasan menikmati kekebalan hukum karena kebanyakan (93%) kekerasan seksual tidak dilaporkan.

Sebuah survey maskulinitas yang dilakukan Rifka Annisa pada 2013 mengungkap hanya 21,5% dari responden yang mengaku pernah melakukan kekerasan seksual yang mendapatkan konsekuensi hukum.

Dalam perspektif yang berbeda, antropolog Aihwa Ong (1987) melihat perempuan dan hantu dalam perspektif ekonomi moral. Studi Ong tentang buruh di Selangor dan Kedah, Malaysia, menunjukkan bahwa buruh perempuan mempunyai moralitas yang longgar karena mereka jauh dari sanak famili, jauh dari kontrol saudara laki-laki dan bisa memiliki hubungan yang melintasi batas ras dan etnis (tak sedikit buruh perempuan yang berpacaran dengan etnis Cina).

Berlawanan dengan buruh yang memiliki moralitas longgar itu, daerah buruh industri Malaysia secara kebetulan dikuasai oleh partai konservatif PAS (Partai Islam se-Malaysia), mengharuskan perempuan baik-baik saja sesuai harapan laki-laki.

Ong kemudian mendapati fakta yang menarik: banyak perempuan yang dianggap bermoral lemah kerasukan jin atau setan di sekitar wilayah pabrik. Jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki. Aihwa Ong mensinyalir histeria buruh perempuan yang kerasukan setan di kawasan pabrik ini karena dikekangnya kebebasan mereka. Buruh perempuan yang kerasukan setan adalah mereka yang mengalami masa transisi dari perdesaan ke wilayah urban, dari sistem pekerjaan desa yang santai menuju pendisiplinan pabrik.

Kerasukan setan menunjukkan perlawanan terhadap otoritas laki-laki yang direkonstruksi dalam mode kapitalisme pabrik. Perlawanan terhadap tekanan laki-laki, beban kerja yang tidak manusiawi, pelecehan seksual, dan upah yang nyaris tidak pernah naik. Ditambah keharusan perempuan mengirim uang untuk menghidupi keluarga di desa asal mereka. Semuanya menyebabkan tingkat stres yang tinggi namun tidak dapat diekspresikan. Gambaran ‘moral anxiety’ dalam dominasi budaya patriarki.

Hantu perempuan lahir dari masa transisi masyarakat pertanian ke industri. Transisi ini membuat laki-laki gagap dalam melihat peran baru perempuan sebagai pekerja.

Studi menarik Mary Beth Mills (1995) tentang serangan ‘hantu janda’ (phii mae maai) di Isan, Thailand Timur Laut, menunjukkan hal tersebut. Isan, daerah miskin perbatasan Thailand dan Laos, paling banyak memproduksi buruh migran perempuan ke Bangkok. Bahkan mayoritas pekerja seks di Bangkok berasal dari desa Isan.

Hal ini membuat frustasi bagi suami-suami yang ditinggalkan di desa. Rata-rata suami itu bekerja sebagai petani. Tekanan ekonomi membuat mereka tidak bisa menekan perempuan untuk tidak bekerja di Bangkok, karena biaya hidup modern di Isan meningkat, mulai dari biaya sekolah, transportasi, kesehatan, hingga pembelian pupuk untuk pertanian. Modernitas menjadi musabab bagi kecemasan laki-laki.

Pada 1990an, tingkat kecemasan dan kerentanan memuncak sehingga isu serangan ‘hantu janda’ meruyak di segala penjuru desa Isan. Hantu janda ini digambarkan haus seks dan menyasar para perjaka di Isan. Untuk melindungi serangan ‘hantu janda’ yang dipercaya mampu menyebabkan sakit dan kematian, warga memasang patung phallus (alat kelamin pria) yang terbuat dari kayu di depan gardu kampung.

Kemunculan ‘hantu janda’ adalah kecemasan dunia laki-laki terhadap modernitas, sekaligus kecemasan terhadap kapasitas perempuan beradaptasi terhadap modernitas dunia kerja modern dengan menjadi buruh migran.

Ketakutan terhadap janda haus seks ini sebenarnya berkebalikan dari realitas sebenarnya, di mana perempuan diharuskan pasif dalam seksualitas. Laki-laki lebih aktif untuk urusan seks, bahkan sering jajan ke prostitusi kalau ada uang berlebih.

Mengapa figur hantu mengerikan selalu perempuan kini mulai terungkap. Figur hantu perempuan menunjukkan bentuk ketakutan masyarakat akibat budaya patriarki. Bisa sebagai wujud frustasi laki-laki terhadap modernitas dan peran baru perempuan dalam ekonomi, maupun refleksi ketakutan perempuan pada ketidakadilan gender.

Relasi sosial yang tak sederhana dan pelik antara perempuan dan laki-laki ini, bisa jadi tak dipahami Attack Halusinasi. Kepalanya mungkin sudah terlalu sakit terlilit ikat kepala, sehingga berat untuk berpikir dewasa dan bijak.

Pernikahan muda belia mungkin gampang dan enak, menurut si halu itu. Konsekuensi sosialnya itu yang berat. Bisa muncul aneka hantu seram bin kejam di masyarakat bila tak ada keadilan di dalamnya.

Hiiiiiii………………………..

#vkd