Apakah kalau aku bilang penomena pemaksaan jilbab yang lagi trend di zaman ini termasuk politik identitas melalui jalur fashion terdengar keterlaluan?
Pertama kali aku mengenal jilbab waktu SD kelas enam tahun 1995. Aku dan beberapa orang teman satu kelas memutuskan untuk memakai seragam berjilbab ke sekolah. Masa itu memang lagi trend memakai jilbab di daerahku. Tapi aku tidak tau pasti kenapa penomena itu mendadak ada di lingkungan sekolahku.
Yang pasti aku ingat banget, seorang guru agama memberi anjuran karena beberapa orang teman ada yang berbadan bongsor, dan rok mereka terlihat pendek. Cuma anjuran ya, bukan paksaan. Karena masih ada teman yang tidak memakai jilbab di kelasku.
Awalnya aku berjilbab karena almarhumah Mama juga berganti seragam dinasnya di sebuah Puskesmas beralih memakai jilbab. Hingga akhirnya masa itu trend jilbab pun menjamur di daerahku. Mendadak semua orang berganti pakaian jadi berjilbab. Sampai SMP pun jilbab itu tetap aku pakai.
Namun, waktu SMA aku pindah sekolah ke kota lain, jilbabku pun kubuka. Tidak ada alasan khusus kenapa aku buka jilbab. Karena toh untuk keseharianpun aku tidak memakai jilbab. Hanya pergi sekolah saja waktu SD dan SMP (SMA kelas satu tetap pakai). Menginjak masa kuliahpun aku sudah tidak memakai jilbab, meskipun kampusku di salah satu organisasi islam yang cukup besar, Muhammadiyah.
Sebenarnya, waktu masih SMA, aku mengamati perilaku orang-orang yang sudah memakai jilbab. Dalam benak orang lain mungkin jika seseorang sudah memakai jilbab, maka perilakunya akan berubah jadi lebih baik dibanding sebelum memakai jilbab. Nyatanya yang aku lihat sama saja.
Teman-temanku yang pecicilan dan bawaannya geratak, tetap saja pada kelakuannya itu. Tetangga yang tukang gosip, meskipun sudah beralih pakaiannya tertutup, tapi mulutnya tetap terbuka lebar untuk menggunjingkan orang lain. Bahkan ada sebuah kisah yang cukup santer terdengar di daerahku, bahwa ada kejadian di sebuah sekolah berbasis agama dan siswanya tinggal di asrama yang semuanya memakai jilbab, tapi sering kepergok kalau mereka melakukan perbuatan tak senonoh.
Jadi jika ada yang bilang seorang muslimah sejati harus memakai pakaian tertutup dan wajib menutup kepalanya agar terhindar dari kejahatan bagiku itu sungguh naive.
Apalagi jika ada yang meyakini bahwa wanita tidak menutup kepalanya, maka Bapaknya, saudara laki-lakinya dan jika bersuami maka suaminya juga akan terseret ke neraka karena hal itu, juga anak laki-lakinya!
Bagiku itu sungguh keyakinan yang luar biasa aneh dan di luar nalar. Karena katanya Islam tidak mengenal dosa turunan, tidak menanggung dosa orang lain, juga tidak mengenal swarga nunut neraka katut. Kok kontradiktif jadinya?
Sebenarnya soal agama aku ini termasuk kritis dari remaja. Tapi soal jilbab, karena masa itu belum ketara unsur "pemaksaannya" aku melihat hal itu cuma soal trend. Untuk gaya-gayaan, tidak ada hubungannya dengan hijrah seperti istilah orang sekarang. Makanya pada masa itu, aku memakai dan membukanya sesuka hati saja. Bahkan saat itu tidak ada yang menegur kenapa aku melakukannya.
Apalagi sesudah informasi seterbuka zaman sekarang ini. Berbagai kisah tentang awal mula jilbab itu darimana, aturan memakaianya, bangsa mana yang memperkenalkannya untuk pertama kali, apa guna jilbab, buat siapa jilbab itu ditujukan sebenarnya, semua terangkum dengan lengkap dan kita bisa mengakses semua kisah itu asal kita mau mencari tau dan membaca ceritanya, maka kita tidak akan mudah terbawa arus yang membawa kita pada pembodohan. Sayangnya tidak semua orang mau melakukannya. Sehingga masuk perangkap pada si pemasang perangkap, how poor you are.
Baca Juga: Jilbab Itu Tidak Wajib
Mungkin iming-iming sorga terlalu mengkilaukan mata sebagian orang dan ancaman neraka terlalu mengerikan buat mereka. Padahal dengan sedikit saja mereka mau keluar dari zona nyaman itu, dan berani mengadu nyali untuk mengakses kenyataan bahwa kungkungan dogma dan doktrin yang mengikat di leher mereka itu hasil rekayasa. Hingga dengan pesonanya yang luar biasa itu, mampu membius mereka dan tidak bisa lepas darinya, karena bius itu perlahan masuk dari pori-pori, dan membaur di darah mereka mengalir ke sekujur tubuh hingga denyut nadi mereka-mereka tergadai di doktrin tersebut.
Miris! Mereka seharusnya memaknai Alquran, Al-Ahzab 59 dan An-nur 31(juga ayat-ayat dalam surah Al-A'raf) lebih literal, sehingga lebih paham dengan maknanya yang begitu luas.
Yang jadi pertanyaan: Apakah dengan berjilbab para wanita terbebas dari perkosaan? Pelecehan seksual? Pandangan birahi laki-laki hidung belang zebra? Bull Shit!
Apakah dengan berjilbab para gosiper, ibu-ibu maling di maret-maret, atau ibu-ibu copet di pasar-pasar yang beritanya sering terjadi menyadari perbuatannya dan menghentikannya? Tentu tidak! Jangan mengkultuskan jilbab!
Itu konyol!
Kenyataannya: Jilbab hanyalah jilbab! Sehelai kain yang dijahit sedemikian rupa oleh tangan-tangan terampil yang dibayar para pemodal untuk dipasarkan agar mereka dapat untung, titik!
Bangsa Yahudi sudah mengenal jilbab dan cador jauh sebelumnya, dan mereka memakainya sebagai kebiasaan turun temurun ketika mereka ibadah. Inneke Koes Herawati memakainya saya tidak tau alasannya, Kartika Putri memakainya karena dia menikah dengan ustad, Umi Pipik juga memakainya karena almarhum suaminya berhijrah, Nikita Mirzani memakainya untuk sensasi karena itu memang spesialisnya. Rina Nose juga pernah terjebak memakainya, tapi kemudian membukanya untuk alasan yang cuma dia yang tau. Fenita Arie memakainya karena suaminya hijrah. April Jasmin berjilbab karena menikah dengan ustad Solmed. Asha Syara, Anggita Sari, untuk yang ini saya tidak tau alasannya.
Apakah ada yang ingat kalau dulu cara berpakaian mereka begitu jor-joran terbuka dan penampilan yang begitu sensual? Jejak digital itu selalu akan jadi koleksi di laman berita. Gampang mencarinya!
Apakah kalau aku bilang penomena pemaksaan jilbab yang lagi trend di zaman ini termasuk politik identitas melalui jalur fashion terdengar keterlaluan?
Mbuh!
Btw, Five Vi ngedadak berjilbab dan hijrah alasannya apa ya?
Jangan bilang kalo sepi job!
Nanti Kiwil tersinggung!
Jilbab oh jilbab!
Riwayatmu kini....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews