Semua terjadi karena sopan-santun, pipaksa toleran pada intoleransi. Dan dalam negara demokrasi, pemahaman kita baru pada pemahaman kebebasan berpendapat, dan bebas berbuat apa saja.
Gus Dur almarhum pernah ngendika, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Kita tak tahu, apakah Gus Dur pernah ngendika, yang lebih penting dari agama adalah kemanusiaan?
Mungkin tidak pernah. Karena mestinya pemahaman kemanusiaan lahir dari konsepsi agama. Manusia yang beragama mestinya ngerti makna atau hakikat kemanusiaan.
Wong senyatanya, pada jaman Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wassallam pun, beragama tapi tak paham kemanusiaan juga terjadi. Bahkan cucu Kanjeng Nabi pun, anak Sayidina Ali, menjadi korban kekerasan. Adakah yang berani hal itu kekerasan agama? Tak ada. Nanti dituding penistaan.
Sama seperti kasus di Masjid Al Falah, Jakarta. Sama dengan kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang. Meski pertanyaannya bisa saja; Benarkah para pelaku tindak kekerasan orang yang tak beragama? Tidak mungkin.
Hampir semua orang Indonesia beragama. Meski hanya dalam tulisan di KTP. Yang kafir dan atheis pun, tak akan menuliskan demikian di KTP. Setidaknya, petugas Kalurahan akan menyarankan, tulis yang majoritas saja. Biar aman.
Salah satu stasiun TV Jakarta, menyebut pelaku penyerangan Wiranto, seorang lelaki bercelana pendek. Apa maksud ‘pendek’ di situ, kalau melihat bentuknya bisa disebut panjang, meski tidak menutupi mata kaki? Untungnya mata kaki tak bisa melihat. Hingga tak bisa diminta bersaksi. Kalau panjangnya segitu, jauh di bawah dengkul, bagaimana bisa disebut celana pendek?
Betapa susahnya media. Saking hati-hatinya, untuk tidak menyebut celana cingkrang. Kita melihat ketidaksiapan reporter, juga desk berita mereka, menghadapi kejadian tak terduga. Belum pernah terlihat reporter televisi sesukses kesiapan Usi Karundeng, dalam siaran live ketika Ibu Tien Soeharto wafat.
Kegagapan media, seperti televisi, adalah kegagapan sebuah framing. Tetapi di medsos, kita dengan gampang melihat, betapa tindakan kekerasan ternyata punya pendukung. Sungguh menyedihkan. Apalagi kita semua berada dalam rangkuhan yang sama, sebagai manusia beragama. Bahkan pelakunya pun tentu bukan orang kafir. Meski suka dan tega ngafir-ngafirin liyan.
Semua terjadi karena sopan-santun kita. Dipaksa toleran pada intoleransi. Dan dalam negara demokrasi, pemahaman kita baru pada pemahaman kebebasan berpendapat, dan bebas berbuat apa saja.
Padahal, jika kita kutip Gus Dur lagi, “Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara, tanpa membeda-bedakan.”
Tapi kalau keyakinan berbeda, kenapa yang muncul kemarahan? Kekerasan? Nanti kita dituding diskriminatif. Melakukan kriminalisasi pada kelompok tertentu.
Karena keberpihakan. Bukan keadilan sejak dalam pikiran. Dan kau merasa benar tiru-tiru sikap Eka Kurniawan, yang menolak anugerah kebudayaan. Karena pemerintah dinilai lamis. Tidak serius.
Semuanya tergantung pada centhelan. Bernama kepentingan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews