Tergantung pada Centhelan

Semua terjadi karena sopan-santun, pipaksa toleran pada intoleransi. Dan dalam negara demokrasi, pemahaman kita baru pada pemahaman kebebasan berpendapat, dan bebas berbuat apa saja.

Jumat, 11 Oktober 2019 | 05:32 WIB
0
438
Tergantung pada Centhelan
Gus Dur (Foto: Tribunnews.com)

Gus Dur almarhum pernah ngendika, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Kita tak tahu, apakah Gus Dur pernah ngendika, yang lebih penting dari agama adalah kemanusiaan?

Mungkin tidak pernah. Karena mestinya pemahaman kemanusiaan lahir dari konsepsi agama. Manusia yang beragama mestinya ngerti makna atau hakikat kemanusiaan.

Wong senyatanya, pada jaman Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wassallam pun, beragama tapi tak paham kemanusiaan juga terjadi. Bahkan cucu Kanjeng Nabi pun, anak Sayidina Ali, menjadi korban kekerasan. Adakah yang berani hal itu kekerasan agama? Tak ada. Nanti dituding penistaan.

Sama seperti kasus di Masjid Al Falah, Jakarta. Sama dengan kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang. Meski pertanyaannya bisa saja; Benarkah para pelaku tindak kekerasan orang yang tak beragama? Tidak mungkin.

Hampir semua orang Indonesia beragama. Meski hanya dalam tulisan di KTP. Yang kafir dan atheis pun, tak akan menuliskan demikian di KTP. Setidaknya, petugas Kalurahan akan menyarankan, tulis yang majoritas saja. Biar aman.

Salah satu stasiun TV Jakarta, menyebut pelaku penyerangan Wiranto, seorang lelaki bercelana pendek. Apa maksud ‘pendek’ di situ, kalau melihat bentuknya bisa disebut panjang, meski tidak menutupi mata kaki? Untungnya mata kaki tak bisa melihat. Hingga tak bisa diminta bersaksi. Kalau panjangnya segitu, jauh di bawah dengkul, bagaimana bisa disebut celana pendek?

Betapa susahnya media. Saking hati-hatinya, untuk tidak menyebut celana cingkrang. Kita melihat ketidaksiapan reporter, juga desk berita mereka, menghadapi kejadian tak terduga. Belum pernah terlihat reporter televisi sesukses kesiapan Usi Karundeng, dalam siaran live ketika Ibu Tien Soeharto wafat.

Kegagapan media, seperti televisi, adalah kegagapan sebuah framing. Tetapi di medsos, kita dengan gampang melihat, betapa tindakan kekerasan ternyata punya pendukung. Sungguh menyedihkan. Apalagi kita semua berada dalam rangkuhan yang sama, sebagai manusia beragama. Bahkan pelakunya pun tentu bukan orang kafir. Meski suka dan tega ngafir-ngafirin liyan.

Semua terjadi karena sopan-santun kita. Dipaksa toleran pada intoleransi. Dan dalam negara demokrasi, pemahaman kita baru pada pemahaman kebebasan berpendapat, dan bebas berbuat apa saja.

Padahal, jika kita kutip Gus Dur lagi, “Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukum dan persamaan setiap warga negara, tanpa membeda-bedakan.”

Tapi kalau keyakinan berbeda, kenapa yang muncul kemarahan? Kekerasan? Nanti kita dituding diskriminatif. Melakukan kriminalisasi pada kelompok tertentu.

Karena keberpihakan. Bukan keadilan sejak dalam pikiran. Dan kau merasa benar tiru-tiru sikap Eka Kurniawan, yang menolak anugerah kebudayaan. Karena pemerintah dinilai lamis. Tidak serius.

Semuanya tergantung pada centhelan. Bernama kepentingan.

***