Selain menghancurkan ekosistem lokal dan menghabisi keaneka-ragaman hayati, deforestasi juga mutlak menurunkan daya serap tanah terhadap air.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negeri yang dilimpahi segala berkah, lebih dari seratus juta hektar hutan hujan tropis dengan segala keaneka-ragaman hayati yang terdapat di dalamnya, sungai-sungai berair jernih yang mengalir sepanjang tahun, dan hamparan tanah yang sangat subur.
Bukan hanya yang terlihat di permukaan tanah, semua alat pemenuh kebutuhan hidup manusia lainnya, mulai dari minyak, gas, dan bahan-bahan mineral untuk kehidupan di masa depan, juga disediakan semesta di Bumi Nusantara.
Tapi apa yang terjadi saat ini? Dalam tiga puluh tahun terakhir, secara rutin setiap tahun bencana alam yang dipicu oleh ulah manusia terjadi di Indonesia, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan lain-lain.
Di setiap musim kemarau, ratusan wilayah di Indonesia mengalami kekeringan dan kesulitan air. Mereka hanya bisa mengerang dan berdoa. Lalu di musim hujan, bencana banjir dan tanah longsor seperti berlomba datang menerjang perkampungan.
Baca Juga: Peran Gubernur dalam Mengelola Hutan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melansir, selama tahun 2016 terjadi 2.342 bencana yang sebagian besar berupa banjir dan tanah longsor.
Data statistik memang menunjukkan bahwa lebih dari 70% bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah banjir, tanah longsor, atau kombinasi keduanya. Deforestasi yang terus-menerus berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masif di berbagai tempat, mengakibatkan setiap tahun sekitar tiga juta hektar hutan rusak, lalu hilang.
Rusaknya hutan dipastikan sebagai penyebab dari antrian panjang bencana alam tersebut. Selain menghancurkan ekosistem lokal dan menghabisi keaneka-ragaman hayati, deforestasi juga mutlak menurunkan daya serap tanah terhadap air.
Dalam 50 tahun terakhir, Bangsa Indonesia bahu-membahu dengan bangsa-bangsa lain membabat hutan yang asalnya seluas 170 juta hektar, kini tersisa 134 juta hektar. Mereka dengan gembira menebang pepohonan di dataran, bukit, lembah, bahkan di pegunungan. Mengubahnya menjadi pemukiman, pabrik, tempat tinggal, dan lahan pertanian terbuka, tanpa memperhitungkan risikonya.
Hanya ketika bencana banjir dan tanah longsor menderu menerjang rumah-rumah, mereka berteriak, “Apa salah kami hingga bencana ini terjadi?”
Padahal, di Indonesia untuk menanam pohon hanya perlu kemauan. Tidak perlu biaya dan teknologi tinggi, setiap biji pohon berkayu keras, termasuk biji buah-buahan yang dilemparkan ke tanah pada awal musim hujan, akan menjadi tunas pohon pada awal musim kemarau.
Lalu, apakah setelah sekian puluh kali terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta longsor di musim hujan, ada kesadaran kolektif untuk menanam pohon seperti perayaan Tu Bishvat di Israel? Tidak. Lalu kapan akan menanam pohon, agar bencana tidak lagi datang? Entah.
Kisah Bangsa Indonesia dalam menjarah hutan menjadi wilayah terbuka yang sangat rentan terjadi kekeringan di musim kemarau, dan banjir serta tanah longsor di musim hujan, adalah perjalanan panjang penuh kepiluan, nyata, dan berulang. Ironisnya, dengan hutan yang sudah sudah compang-camping dan terus menyusut, mereka belum juga sadar bahwa bencana selalu mengintip dan bisa datang setiap menit.
(Selesai)
***
Tulisan sebelumnya: Yahudi Ubah Gurun Jadi Hutan[2] Hikayat Air, Bikin Cekungan untuk Menampung Air
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews