Tarian Kematian

Kamis, 27 Desember 2018 | 20:05 WIB
0
730
Tarian Kematian
Ilustrasi tari (Foto: Tribunnews.com)

Hidup ini memang seperti menari. Kita bergerak, sering tanpa pola, tanpa arah. Namun, intinya, kita terus bergerak. Kita bekerja. Kita menjalin hubungan dengan orang lain. Kita bahagia, dan kita pun menderita.

Namun, menyimak keadaan dunia di akhir 2018 ini, tarian kita seolah berubah menjadi tarian kematian. Kita menari bukan untuk merayakan kehidupan, melainkan untuk merusak dan menebarkan petaka. Di berbagai bidang kehidupan, kita bergerak, tidak ke arah kebaikan bersama (common good), melainkan ke arah kehancuran bersama (common destruction). Di banyak bidang kehidupan, kehancuran terjadi secara perlahan, namun pasti.

Tarian Kematian

Di tata politik global, seluruh dunia menari menuju kematian dengan bermain senjata nuklir. Berbagai negara mengembangkan senjata nuklir, supaya bisa memperoleh pengaruh besar di politik internasional, menekan pihak lain, dan meraih kepentingannya secara licik.

Di tingkat global, kita juga menari menuju kematian dengan perubahan iklim yang merusak alam dan berbagai unsur kehidupan lainnya. Sampai detik tulisan ini dibuat, tidak ada upaya nyata untuk sungguh menanggapi masalah perubahan iklim dan penggunaan senjata nuklir, maupun pemusnah massal lainnya, secara tepat.

Di politik nasional Indonesia, tarian kematian juga terus dilakukan. Kita bermain mata dengan radikalisme agama yang mengancam keutuhan bangsa kita. Kita juga menari menuju kematian dengan merayakan politik uang di berbagai tingkat pemerintahan. Dalam soal politik, nilai-nilai keluhuran dan kebaikan bersama, yang menopang peradaban manusia, tampak menjadi barang langka.

Di kehidupan pribadi, tarian kematian pun terus kita lakukan, seringkali tanpa sadar. Kita mengulang hal-hal yang menyakitkan kita di dalam pikiran, sehingga menimbulkan derita dan trauma yang tak perlu. Kita melakukan hal-hal yang merusak, seperti merokok dan tidak berolahraga, sehingga hidup kita tak lagi seimbang.

Tarian kematian ini, jika dibiarkan terus menerus, justru akan menciptakan kematian yang sesungguhnya.

Hidup dengan Kesadaran

Ini semua terjadi, karena kita hidup tanpa kesadaran. Kita hidup dalam kompulsivitas. Artinya, kita melakukan sesuatu, tanpa pertimbangan matang dan sadar terlebih dahulu. Tanpa kesadaran, kita akan terus menari menuju kematian dengan semua keputusan yang kita buat. Hidup yang kompulsif adalah hidup yang dijajah oleh kebiasaan diri sendiri, dan membawa beragam bentuk penderitaan yang sia-sia.

Di tingkat politik global, misalnya, banyak kebijakan buat, tanpa kesadaran penuh. Kebijakan ekonomi dibuat dengan kompulsif, yakni sekedar mengikuti kebiasaan dan tergesa-gesa, sehingga kesenjangan ekonomi global justru semakin besar dewasa ini. Kebijakan politik juga dibuat tanpa kesadaran penuh, sehingga justru menciptakan banyak perang dan perpecahan. Keadaan di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah contoh nyata dari hal ini.

Di dalam politik nasional, beragam contoh tampil amat jelas. Orang berpolitik secara kompulsif, sehingga jatuh ke dalam nafsu kekuasaan dan kesombongan. Tak heran, banyak politisi tampil dengan kerakusan dan sifat tak tahu diri dewasa ini. Orang juga beragama secara kompulsif, sehingga mudah sekali jatuh ke dalam radikalisme yang mengundang konflik, diskriminasi dan memecah belah bangsa.

Hal serupa terjadi berulang di dalam hidup pribadi. Kita berpikir dan merasa secara kompulsif, sehingga terus mengulang kenangan-kenangan menyakitkan yang sudah terjadi. Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan penyakit kejiwaan. Tak heran di abad 21 ini, dengan segala temuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan, tingkat depresi dan bunuh diri bahkan terus meningkat secara global.

Jalan keluar dari ini hanya satu. Kita harus keluar dari hidup yang kompulsif, yakni hidup yang dijajah oleh kebiasaan-kebiasaan tak sadar, menuju hidup yang sadar. Hidup sadar berarti hidup dengan pertimbangan matang dari saat ke saat. Hanya dengan begini, kita bisa terus menari di dalam kehidupan ini. Di titik ini, kita menari untuk merayakan kehidupan, dan bukan untuk mendekati kematian.

Jadi, tunggu apa lagi?

***