Ia adalah aktris, yang piawai menempatkan rekahan senyumnya, pada momen-momen ketika seorang laki-laki harus mengendurkan ketegangannya.
Wah -diperankan Andy Lau- terkejut dengan kehadiran sosok perempuan di depan kamarnya. Ia menyergah, berpaling kembali ke kamar seraya mengatakan, ”nyamankan dirimu, anggap saja ini rumahmu sendiri.” Ngor dengan mata sayu dan memacak kesan pasrah pada raut wajahnya, bergegas masuk ke dalam flat milik gangster begajulan Hongkong itu.
Belum lama bersandar di sofa seraya membaca koran, telepon berdering. Melihat sepupunya masih terbaring tidur, dan bingung harus bagaimana, ia terpaksa mengangkat telepon itu. Di ujung telepon, seseorang menuduhnya sebagai teman kencan Wah. Tapi Ngor bukannya menyangkal keras, hanya menjawab lugu, ”aku sepupunya.”
Malamnya, ketika Wah sudah bangun, Ngor memberitahu ada seseorang mencari Wah. Terdengar mendesak, tampaknya. Wah mafhum ia harus bergegas pergi ke suatu tempat. Ngor diberinya beberapa lembar uang untuk mencari makan sendiri. Sebelum pergi, ia menyuruh Ngor menurunkan masker yang ia pakai, ”Terlihat mengganggu.”
Ngor saat itu tengah sakit tenggorokan. Ia datang menginap di tempat Wah karena sudah bikin janji dengan seorang dokter di kota itu. Karena merasa sungkan, ia bertindak lugu seadanya, dan mengiyakan perintah Wah sembari menjawab, ”aku hanya tak ingin menulari yang lain.” katanya.
Adegan pembuka film As Tears Go By itu sederhana dan datar, tapi tepat sebagai awal cerita yang penuh gejolak dan mengharu-biru. Yang satu terlihat enggan, dan yang satunya lagi pasang tampang cuek seadanya. Wah, tak banyak bicara karena ia tidak begitu peduli dengan kehadiran Ngor. Sedangkan Ngor -yang diperankan oleh Maggie Cheung- lebih banyak diam karena ia sendiri malu-malu dan sedang sakit tenggorokan.
As Tears Go By, adalah film debut Wong Kar Wai, kaisar film Hongkong yang beberapa filmnya masuk dalam 100 film berbahasa asing terbaik versi BBC. Publik mendaulatnya sebagai salah satu maestro sinema karena ia sanggup menggabungkan antara penceritaan yang ciamik dan teknik pengambilan kamera yang jauh melampaui zamannya.
Pelbagai adegan di As Tears go By adalah satu dari sekian contoh perpaduan Wong itu. Adegan pembuka film di dalam kamar mempertontokan kebolehan Wong dalam menjejalkan bahasa tubuh para pemainnya ke benak penonton. Teknik itu mengingatkan pada prinsip seni sastrawan Argentina, Julio Cortazar, ”lemparlah kenyataan ke jendela, dan lempar juga kenyataannya.”
Kekuatan film ini, bagi saya bukan terletak pada aksi gangster Hongkong yang brutal dan dipenuhi serangkaian penyiksaan. Film ini lebih mengarah pada kisah hubungan antar manusia yang dipenuhi kasih sayang di tengah ancaman kekerasan yang datang bertubi-tubi.
Hubungan antara Wah dan Ngor atau Wah dan adiknya, diceritakan begitu intim pada penggalan-penggalan cerita yang tak seberapa panjang. Itu membuat pesan melankoli dari sang sutradara mengatasi aksi kekejaman para gangster yang mendapat porsi cukup banyak dalam film ini.
Satu adegan lain yang terekam panjang dalam ingatan saya adalah ketika Maggie mengenakan baju krem nyaris transparan, berdiri di depan jendela kamar, sembari memandang Andy Lau yang duduk di tepi ranjang. Dengan sudut pengambilan gambar yang ciamik, Maggie terlihat menawan dan sensual meski tanpa adegan panas. Keintiman mereka -bukan adegan ranjang- seperti mengungkap sisi terdalam yang menerjemahkan apa itu kasih sayang sesungguhnya.
Dua tahun sesudah menyaksikan film itu, saya masih teringat dengan Maggie Cheung. Saya mengingat baik, detail-detail yang digerakkan oleh Maggie. Caranya memerankan Ngor, sepupu wah yang diperankan oleh Andy Lau, memberi kesan cukup membekas sampai hari ini. Perannya dalam film itu, seperti penyeimbang dan pelembut film yang didominasi oleh keculasan, kemuraman, dan kekerasan.
Kelembutan Cheung dalam bergerak, dengan intonasi suara yang rendah, sedikit manja, tapi tegas, membuat saya menaruh hati. Pada kisah cinta itu, berangsur-angsur ia mengubah diri, dari yang awalnya hanya seorang perempuan yang penuh malu dengan seribu kebisuan, menjelma tambatan hati Wah yang riang, energik, dan penuh ekspresi kasih sayang.
Sama seperti saya yang hanya melihat dari kejauhan, rupanya Andy Lau pun masih belum sanggup melupakan Cheung. Sisa-sisa adegan yang mereka lakukan, ternyata masih membekas, kendati itu telah berlangsung 33 tahun lamanya. Andy mengatakan bahwa dari dekat, melihat Cheung mengenakan baju krem transparan seperti itu adalah sebuah keindahan terpermanai. Ia tahu itu sejenis keseksian yang lain, yang tak pernah ia saksikan sebelumnya pada perempuan-perempuan lain.
Memang, menyaksikan Cheung pada film itu seperti memerankan dirinya sendiri sehari-hari. Kendati terlihat seadanya, tanpa aksesoris mewah dan dilebih-lebihkan, ia tetap memesona. Karakter yang ia mainkan menjadi pembeda dalam film itu. Ia adalah satu-satunya perempuan yang dapat peran besar dan bisa mengatasi segala aura kebrutalan para gangster. Kunci peralihan suasana dalam film ini, terletak pada peran yang dimainkan oleh Maggie Cheung.
Kalau hanya menonton sepintas dan sekelebat, barangkali kita akan menilai penampilan Cheung itu biasa saja. Tetapi jika kita peka menangkap momen-momen puitik di film itu, akan tersibak banyak hal indah dalam As Tears Go By, terutama melalui pelbagai scene yang dilakukan Cheung. Sebab, bagi saya Cheung bukan sekadar pemanis dan bukan karena ia adalah seorang perempuan biasa.
Ia adalah aktris, yang piawai menempatkan rekahan senyumnya, pada momen-momen ketika seorang laki-laki harus mengendurkan ketegangannya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews