Mungkin, kita harus bersiul santai. Walau nyaris keampiran juga, kasus ini gagal digoreng hingga ke titik Jokowi. Ia terlalu baik untuk di-prank.
Sebenarnya tidak sulit untuk jadi paham bahwa peristiwa "Sumbangan 2 T" itu adalah hoaxs sejak awal. Tidak dibutuhkan suatu "daya linuwih" untuk bisa cepat tahu bahwa itu bohong. Sesuatu yang nyaris mustahil.
Beberapa orang pesohor medsos yang telanjur "kisinan" ngeles dengan berbagai argumentasinya. Yang tentu saja dengan latar belakangnya masing-masing. Seorang pengusaha internasional yang rajin menulis analisa pasar, seorang multi-sukses. Menganggap bahwa hal tersebut masih harus ditunggu, karena pencairan antar-bank antar-negara itu rumit. Apalagi jumlah buesar sekali. OK, tapi ada gak uangnya? Tak terjawab!
Seorang jurnalis senior yang di ujung usianya, dengan keinginan menjadi filantropis berita. Dalam arti menyebar-nyebar pawarta dari lingkaran eksklusif yang orang lain tak mungkin tembus. Suatu bentuk pamer pergaulan, tapi ujung-ujungnya ya cuma "kolektor info" dari mana-mana. Numpang isu yang sedang berkembang.
Lalu menelisik sedemikian rupa bak detektif kriminal, dengan metode tabrak sana-sini. Sebagaimana dulu ia membangun emperium bisnisnya, yang entah saat ini masih jadi miliknya atau tidak. Kalau dilihat dari cara menulisnya, ia masih memiliki jaringan tapi tidak pada kekuatannya...
Lalu kenapa, mereka masih saja bersikukuh berharap bahwa apa yang dibelainya itu benar? Ya satu-satunya alasan cuma "isin mundur", malu mengakui kesalahannya. Lalu berbalik menghujat orang yang tak percaya pada hoaxs itu sebagai "tak tahu perkara". OK, dunia mereka adalah dunia arogansi, tentu saja cara pembelaannya adalah dengan arogansi yang lainnya....
Baiklah saya ingin ceritakan mengapa saya sendiri, tidak percaya pada kasus ini sejak awal. Hal ini berkait beberapa alasan.
Pertama, tentu saja jumlahnya yang tak masuk akal. Jumlah 2 T atau 2.000 M. Bagi saya itu angka psikologis. Kenapa selalu pada angka itu? Dulu AU, bekas petinggi Partai Demokrat hasil gasakannnya selama kurang dari 2 tahun menjabat ketua partai juga sejumlah itu. Ia cerdik, ia sadar tak akan lolos dari jerat hukum. Karena yang memperkarakan sesungguhnya bukanlah KPK, tapi SBY. Maka yang mula-mula ia lakukan adalah berusaha keras menyelamatkan duitnya itu. Tentu tidak gampang, menarik, mengumpulkan dan menyembunyikan dana tersebut. Dan ia berhasil!
Dimana ia sembunyikan? Bukan tempatnya saya bercerita di sini. Saya cuma mau bilang angka nominal 2 T itu malati, mencelakakan!
Kedua, locus dicti peristiwa itu terjadi. Di Kota P yang konon mitosnya adalah pusat pemerintahan kerajaan besar S. Saya tak pernah akrab dengan yang namanya Ridwan Saidi, tapi dalam hal bantahan bahwa itu hanya mitos: saya percaya. Kerajaan S lebih pantas kalau pusatnya di Muaro Jambi yang memang memiliki situs-situs Budha yang sangat indah dan jejaknya masih lestari hingga hari ini.
Saya juga lebih percaya bahwa kota ini adalah sarang bajak laut sejak lama. Akibatnya bisa dipahami tradisi premanisme dan kekerasan sudah lama lekat. Kultur yang akan terus melahirkan kelompok manusia yang disebut "hero dan zero".
Saya pernah terkaget-kaget, saat diceritai bahwa pada satu kurun tertentu pada tahun akhir 1990 hingga awal 2000, saat kota Yogyakarta dikuasai oleh berbagai preman. Eh, sekarang masih ding, hanya mungkin petanya sudah berubah. Bahwa Malioboro yang sedemikian horor dan ruwet, ternyata dikuasai oleh sebuah gangster dari kota P itu.
Siapa yang bercerita? Sahabat saya sendiri, orang asli dari kota P itu. Kok bisa? Ya jelas, karena mereka terkenal dengan sifatnya yang pemberani (baca: nekad), tapi sangat fair, solider dan pelindung.
Hal ini juga menjelaskan kenapa Jokowi tampak aman sampai hari ini, di tengah rundungan yang tak habis-habisnya itu. Ya karena di lingkarannya dijaga secara sangat kuat dari kelompok ini. Coba tengok darimana dulu Kapolrinya?
Juga jangan heran, kalau KPK di hari ini kaya tempe gembus, jadi ampas dan tak berguna. Lembaga rasuah ini jatuh dari mulut buaya ke mulut harimau. Tapi makanannya hanya nyamuk. Hingga para tikus pun mereka biarkan tetap berkeliaran bebas. Sekali lagi ada yang jadi hero dan ada yang bersedia dijadikan zero...
Ketiga, penyumbang mengatasnamakan ayahnya yang sudah meninggal beberapa belas tahun yang silam. Artinya, uang tersebut sifatnya warisan. Dan karena itu warisan dan anaknya tidak hanya satu, maka jelas yang memiliki hak waris banyak. Bagaimana mungkin, dana tersebut diklaim bisa diserahkan oleh salah satu pihak.
Sependek yang saya tahu, hukum waris di lingkungan masyarakat Tionghoa sangat rumit. Banyak kasus, sengketa keluarga yang berujung maut hanya karena konflik bagi waris. Sedikit saja repot, apalagi kalau banyak...
Fatalnya, si penyumbang mempublikasikan donasinya melalui orang yang dikenalnya dan itu berasal dari lingkaran kepolisian. Sialnya, si Kapolda ini seorang "superman" dalam bentuk lain. Sudah polisi, pejabat daerah, koleksi gelarnya duh duh: profesor, doktor, master. Ada yah?!
Dan sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya, ujungnya itu seperti romantisme undian berhadiah. Akhir cerita sesungguhnya, tak seindah bingkai di awalnya. Jelas!
Lalu apa faktanya hari ini?
Sahabat saya, Budi Setiawan menulis di lamannya. Bahwa Rudi, suami Heryanti di hari ini profesinya driver taksi online setelah bangkrut dalam bisnis ekspedisinya. Rumah yang ditinggali Heryanti adalah rumah tua yang direnovasi. Polisi bilang sudah tanya ke Bank Mandiri bahwa uang 2 T yang tersebut dalam check milik Heryanti, tidak ada di bank tersebut.
Heryanti disebut jurnalis senior Ilham Bintang pernah dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena dugaan penipuan. Dia mengaku dapat proyek pembangunan istana Presiden dan berhasil menarik dana sejumlah orang. Laporan itu belakangan dicabut.
Dan mungkin yang terpenting: semua saudara kandung Heryanti menolak klaim bahwa dana 2 T adalah hasil patungan mereka.
Tak ada kerumitan sesungguhnya di sana? Justru sangat sederhana bila kita mau saja sedikit meluangkan waktu melihatnya dari berbagai sisi. Info-info yang kemudian terkumpul, hanya deret fakta-fakta pelengkap yang sesungguhnya tak berarti apa-apa. Kecuali bagi penggemar gosip, rumor, dan sensasi.
Case close, kita lanjutkan hidup. Gak usah menyalahkan siapa-siapa. Begitulah hidup, konon semua presiden di setiap periode pemerintahannya selalu pernah kena prank.
Wartawan senior, Supriyanto Martosuwito dengan lengkap memberikan catatannya bahwa Sukarno pernah kena prank dalam kasus Raja Idrus dan Ratu Markonah. Penggantinya, Suharto mengalami peristiwa penipuan internasional Skandal Emas Busang di Kalimantan.
Lalu Gus Dur tertipu atau tepatnya dirinya dimanipulasi, saat Soewondo tukang pijatnya berhasil membobol duit Bulog sebesar 35 M. Megawati kita ingat juga percaya saja, saat diberi tahu ada harta karun terpendam di Istana Batu Tulis, lalu mengizinkan penggaliannya. Dan terakhir, SBY yang kena prank dalam kasus Blue Energy, yang konon bisa mengubah air jadi pengganti bensin. Semuanya zonk....
Mungkin, kita harus bersiul santai. Walau nyaris keampiran juga, kasus ini gagal digoreng hingga ke titik Jokowi. Ia terlalu baik untuk di-prank...
NB: Oh yah, saya juga pernah terlibat sejenis "prank" yang lain. Kenapa saya jadi jauh lebih awas, alert. Dulu ada kasus yang real, peristiwanya nyata. Seorang ibu yang didakwa menista agama. Jelas itu fitnah dan rasis.
Lalu dimana bagian prank-nya? Ia tak semenyedihkan yang media manipulasikan. Dan inti kasusnya tidak di situ, sama sekali bukan di situ. Ia hanya orang yang sial jadi "lelakon", sebagaimana juga barangkali Akidi Tio di hari ini.
Tidur tenanglah orang baik, jangan pedulikan ulah anakmu!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews