Paling tidak untuk membawa pulang medali-medali yang saya dapatkan dalam ajang bergengsi filateli mancanegara itu.
Hobi masa kecil saya mengumpulkan prangko (filateli). Kegemaran ini terus saya jalani sampai sekarang. Bahkan boleh dikatakan telah memberi warna yang kuat dalam kanvas kehidupan saya. Betapa tidak, melalui hobi yang menjadi standard kegemaran anak remaja Tahun 70- 80-an itu saya telah menulis belasan buku dan bahkan mengantarkan saya jalan-jalan ke mancanegara. Kok Bisa?
Anda masih punya koleksi prangko? Tersimpan dalam satu atau beberapa album? Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, tidak ada salahnya untuk membuka-buka album prangko itu. Sambil mengenang, dari mana prangko itu diperoleh, apakah dilepaskan dari amplop surat-surat sahabat pena dari dalam dan luar negeri, hasil tukar-menukar sesama filatelis, atau beli dari kantor pos dekat rumah? Cermati pula gambarnya; tentang tokoh pahlawan kah, atau pemandangan alam, flora fauna, atau peristiwa tertentu? Mungkin tanpa sadar ada senyum terkulum di sudut bibir Anda mencermati itu semua. Semoga hal itu menaikkan imunitas Anda.
Ternyata bagi para filetelis yang sudah ahli, sekumpulan prangko dalam album itu belum lah apa-apa dalam berfilateli. Masih ada serangkaian aktivitas lagi untuk membuat sekumpulan prangko menjadi "sesuatu". Prangko-prangko ditata mengikuti aturan dan plot tertentu menjadi sebuah "cerita". Ya, sebuah cerita. Cerita apa saja.
Sekumpulan prangko bergambar rumah adat di tangan filatelis bisa menjadi cerita tentang keberagaman arsitektur nusantara. Sekumpulan prangko bergambar rumus kimia yang dikumpulkan dengan telaten dari seluruh dunia bisa menjelma menjadi sebuah sistem periodik beserta penjelasannya. Mereka yang senang mengumpulkan prangko dan kartu pos yang terbit pada zaman perang kemerdekaan akan dapat bertutur tentang Masa-masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang gegap gempita.
Begitulah. Selangkah kemudian koleksi-koleksi prangko yang bercerita dan ditata selanjutnya diikutsertakan dalam kompetisi pada suatu pameran untuk mendapatkan medali penghargaan. Mula-mula di tingkat lokal, lalu nasional, dan kemudian internasional. Kalau sudah demikian, koleksi ini menjadi begitu prestisius bahkan bernilai mahal.
Saya bukan filatelis ahli seperti itu. Saya memang mengumpulkan prangko dan menyusunnya menjadi sebuah cerita, mungkin banyak cerita, dan bisa banyak sekali cerita. Namun, bukan dalam bentuk lembar "exhibit" yang terpajang dalam panel melainkan dalam bentuk tulisan demi tulisan yang terangkum menjadi buku.
Salah satu fase perjalanan karier saya yakni menjadi copywriter pada awal tahun 1990-an. Bukan untuk iklan atau pesan sponsor, tapi untuk brosur informasi filateli yang diterbitkan oleh Perum Pos dan Giro (nama jadul PT Pos Indonesia). Brosur ini terbit setiap kali pemerintah meluncurkan seri prangko tertentu. Brosur itu berisi keterangan 5W dan 1H (what,when, where, why, dan How) dari prangko tersebut.
Sebagai copywriter, mula-mula sekadar menyunting. Namun dalam kesempatan berikutnya saya dipercaya untuk menuliskan naskahnya. Agar bisa menulis naskah yang akurat maka saya harus membaca referensi, mengobservasi, dan tak jarang mengambil foto dokumentasi. Tentu saja, itu cara belajar yang efektif tentang seluk beluk prangko (dan malah dibayar... hehe).
Sampai pada suatu ketika datanglah sebuah kesempatan. Perum Pos dan Giro bermaksud menyusun buku sejarah kehadiran dan penggunaan prangko di Indonesia. Dibentuklah sebuah tim, terdiri para pegawai senior pos yang ahli perprangkoan. Mereka adalah tokoh-tokoh hebat di bidang itu, sebut saja Bapak GM Moeljoto, Bapak Marsudi Paham, Bapak Sukaton, Bapak Soerjono, Bapak Ismail Isdito, dan Ibu Tri Yuliarti.
Mereka memerlukan penulis dan desainer bagi penyusunan buku tersebut. Alhamdulillah, berkat kesempatan yang diberikan oleh CV Accent yang dipimpin oleh Ibu Dedeh Usnadibrata - tempat saya bekerja saat itu- saya dipercaya menjadi bagian dari tim. Saya tidak sendiri, turut bergabung pula sahabat saya (alm) Ondi Kuswandi yang bertugas menyiapkan foto-foto ilustrasi dan Yus R. Arwadinata yang menangani rancang grafis buku.
Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Apalagi saat itu bulan Ramadhan dan tim dikonsinyir di Wisma Pos di Jalan Cihampelas-Bandung. Saya menghabiskan waktu dengan "nyantri" tentang prangko, filateli, dan Pos dengan para pakarnya. Terima kasih banyak untuk bapak dan ibu yang telah membagi ilmu perprangkoan dan perposan-nya kepada saya.
Ternyata, kertas mungil bergerigi bernama prangko itu merupakan artefak peradaban modern. Diciptakan oleh Sir Rowland Hill dari Inggris pada 1840 untuk merevolusi sistem pelayanan perposan. JIka sebelumnya ongkos berkirim surat dibayar oleh penerima setelah surat sampai, dan karenanya banyak menimbulkan permasalahan bagi administrasi pos, atas usul seorang guru sekolah bernama Rowland Hill sistem itu dibalik; yang membayar adalah yang mengirim, tentu saja dengan aturan yang tertentu. Dan sebagai penanda bahwa ongkos kirimnya sudah dibayar pada sudut kanan atas surat itu ditempeli secarik kertas tercetak (postage Stamp) alias prangko.
Gagasan sederhana itu ternyata mampu mereveolusi sistem perposan, bukan hanya di Inggris tapi juga menyebar ke negara-negara lain karena simpel dan efektif. ini dikenang orang sebagai era pos modern.
Kerajaan Belanda termasuk yang paling awal mengikuti penggunaan sistem pos modern berbasis prangko. Dalam bahasa Belanda disebut Postzegel (lalu darimana kata prangko yang dipakai dalam bahasa kita?). Mereka mengadopsi Postzsegel. Pada tahun 1864, prangko juga diperkenalkan di administrasi pos negara jajahannnya, baik Hindia Barat maupun Hindia Timur (Nederlandsch Indie).
Tercatat sejak 1 April 1864 prangko mulai dipergunakan di wilayah Nederlandsch Indie (Indonesia kini). Sejak itu administrasi pos terus menerus menerbitkan prangko untuk keperluan perposan dan kemudian perfilatelian.
Ketika Hindia Belanda diambil alih oleh Tentara Pendudukan Jepang pada periode Perang Dunia Kedua tahun 1942, Jepang juga menerbitkan prangko sendiri untuk keperluan perposan di wilayah pendudukan.
Setelah Indonesia merdeka prangko terus diterbitkan dan dipergunakan hingga kini. Tentu, banyak cerita seru yang saya peroleh dari para "Guru" filateli itu terkait "story behind the stamps" tersebut.
Hal yang menarik, prangko yang secara fisik hanya sekeping kertas mungil yang diberi perforasi untuk memudahkan penyobekannya ternyata memiliki makna lebih dari sekadar layanan perposan. Prangko juga menjadi instrumen politik, simbol kedaulatan negara di bidang perposan, media komunikasi pembangunan, alat propaganda, hingga alat dokumentasi tentang alam, khasanah seni budaya serta berbagai peristiwa, termasuk penggalangan amal.
Pendek kata, banyak kompleksitas prangko yang menarik untuk diceritakan. Termasuk prangko merekam kekayaan sejarah, budaya, dan alam setiap propinsi di Indonesia. Hal-hal itulah yang dituliskan dalam buku tersebut sebagai karya bersama.
Demikianlah, akhirnya buku berjudul 130 Tahun Prangko Indonesia berhasil diterbitkan oleh Perum Pos dan Giro pada April 1994. Penerbitannya mengiringi peluncuran prangko seri peringatan 130 Tahun Prangko Indonesia. Buku setebal 184 halaman ini dicetak berwarna dengan kertas arpaper. Diterbitkan dalam dalam dua bahasa yakni Indonesia dan Inggris.
Menariknya, versi bahasa Inggris buku ini kemudian diikutsertakan dalam kompetisi 7th Asia International Stamp Exhibition (Singpex'94) di Singapura untuk kategori Philatelic Literature. Hasilnya, medali Vermail (setingkat di bawah emas di atas perak) berhasil diraih.
Sejak itu, saya meneguhkan diri untuk terus menulis tentang prangko. Kini, sudah belasan buku tentang prangko dan filateli saya tulis. Sebagian saya ikut sertakan dalam kompetisi-kompetisi literatur filateli di berbagai pameran di seluruh dunia. Tentu saja, atas pertimbangan itu pula saya melakukan perjalanan ke sejumlah negara tersebut.
Paling tidak untuk membawa pulang medali-medali yang saya dapatkan dalam ajang bergengsi filateli mancanegara itu. Sisa waktunya saya manfaatkan untuk mengenali negeri-negeri yang indah dan tinggi peradabannya. Berkat prangko saya bisa jalan-jalan ke mancanegara. Anda berminat?
***
Mahpudi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews