Untuk menilai seorang pejabat, kita perlu lebih obyektif menilai kinerjanya daripada mengedepankan ikatan emosional lebih – lebih soal iman.
Beberapa orang marah – marah ketika saya menyebutkan soal “membela karena seiman” ini. Padahal ini adalah pengamatan saya selama beberapa tahun terakhir di medsos maupun WA group.
Awalnya dari kasus Ahok, dan yang sekarang tentang mantan Menkes kita. Untuk Ahok, saya pribadi termasuk orang yang mengagumi kinerja Ahok sebagai seorang pejabat. Juga, dalam kasus penistaan agama, saya termasuk yang berpendapat bahwa Ahok diperlakukan tidak adil.
Banyak orang yang membela Ahok karena nilai–nilai atau idealisme masing-masing. Tapi, saya sendiri mendapati bahwa ada yang mendukung Ahok karena ikatan emosional, misalnya karena seiman atau sesuku.
Di tengah masyarakat Indonesia yang kadang – kadang suka mempertajam masalah “mayoritas–minoritas”, adalah wajar bila kelompok minoritas sangat bangga bila ada putra putri terbaiknya yang ikut berkiprah / berkarya bagi bangsa. Lebih – lebih bila tokoh ini fasih “memperkatakan imannya” atau mengeluarkan statement-statement yang khas dari agamanya.
Seringkali tokoh/putra–putri terbaik ini bakalan dipandang selalu benar dan tanpa cela. Orang yang berani mengkritisi, bakalan dibully oleh netizen yang seagama dengan tokoh tersebut. Seakan–akan orang yang mengkritisi sedang mengganggu orang “yang diurapi TUHAN”. Di sisi lain, ada juga memang yang membela bukan karena seiman, tapi karena sekubu.
Untuk kasus yang terakhir, Pak Terawan, saya pernah membaca opini bahwa beliau dimusuhi karena beliau mengajak orang – orang berdoa kepada TUHANnya orang Kristen dalam menghadapi covid. Bagi saya, pendapat semacam ini lebih menunjukkan ikatan emosional karena seiman daripada suatu pendapat yang obyektif.
Orang–orang ini menolak mengakui kalau beliau memang punya kelemahan sebagai menkes.
Well, yes… sebagai seorang Kristen, saya sendiri sejak kecil sering mendengar ajaran bahwa “saya akan dimusuhi dunia karena iman saya”. Ga salah juga… tapi kalau ajaran ini dijadikan berlebihan, yang ada orang–orang Kristen tanpa sadar jadi “playing victim”.
Contoh lain… masih mengenai Pak Terawan. Beberapa kali saya membaca narasi tentang “prestasi” Pak Terawan yang dibumbui uraian–uraian yang “khas Kristen”, seperti soal “dimusuhi oleh banyak orang, tapi diangkat namanya oleh TUHAN”.
Masalahnya: yang diklaim sebagai prestasi itu tidak sepenuhnya benar. Tidak perlu super cerdas untuk menggali tentang kebenaran “klaim prestasi” tersebut. Cukup bermodalkan bahasa Inggris, akal sehat dan kuota internet. Website dari organisasi yang diklaim juga bisa dipelajari siapa saja. Dan yang model seperti ini lebih dari 1 “klaim prestasi”.
Dengan klaim prestasi yang cuma selangkah dari hoax ini, yang terbaca dari narasi di atas bukanlah TUHAN yang mengangkat nama Beliau, tapi netizen–netizen yang seiman dengan beliaulah yang mencoba mengangkat namanya.
Sekali lagi, saya memahami kebutuhan akan adanya idola, perwakilan dari kelompok minoritas yang berani menunjukkan identitasnya sebagai minoritas di tingkat nasional. Hanya saja saya berpikir… mengapa orang – orang tidak belajar dari kasus Ahok, dimana ada yang tadinya memuja habis–habisan lalu berubah jadi mencaci–maki ketika Ahok bercerai dan menikah lagi.
Ketika sang idola tidak lagi ideal dengan standar iman para penggemar. Hal yang lain yang perlu diingat, seseorang yang karakternya baik, taat pada TUHAN (mungkin seperti Pak Terawan) tidak selalu cocok menjadi seorang pejabat di Indonesia.
Untuk menilai seorang pejabat, kita perlu lebih obyektif menilai kinerjanya daripada mengedepankan ikatan emosional lebih – lebih soal iman.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews