Khutbah Idul Fitri 1441 H/2020 M: Hikmah Pandemi

Masih banyak pelajaran lain yang dapat kita ambil sebenarnya, namun setidaknya tiga ini adalah hikmah yang berefek positif baik bagi diri kita sendiri, keluarga kita, maupun masyarakat luas.

Sabtu, 23 Mei 2020 | 21:35 WIB
0
183
Khutbah Idul Fitri 1441 H/2020 M: Hikmah Pandemi
Bersalaman (Foto: serumpi.com)

LATAR BELAKANG

Suasana bulan Ramadan dan Hari Raya Idulfitri pada tahun 1441 H/2020 M ini mungkin terasa berbeda jika kita bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, kita berpuasa dengan semarak Ramadan. Salat tarawih dilanjutkan tadarus di masjid atau musala menjadi keseharian, berbuka puasa bersama teman-teman menjadi agenda wajib.

Kita melakukan mudik, mengunjungi orang tua dan sanak saudara kita pada akhir Ramadan, sebelum kemudian melaksanakan salat Idulfitri beramai-ramai di lapangan dan bersilaturahmi kepada handai taulan.

Tahun ini, aktivitas kita tidak seperti sebelumnya. Penyakit virus korona 2019 (coronavirus disease 2019/COVID-19) yang menjadi pandemi, penyakit lintas batas negara dan benua, membuat kita harus membatasi aktivitas kita masing-masing, demi memutus mata rantai penularan penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV 2 ini. Ibadah-ibadah yang dulu semarak pelaksanaannya, kini kita laksanakan dari rumah masing-masing.

Sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 183, puasa diwajibkan atas kita dan orang-orang sebelum kita, dengan tujuan agar kita bisa bertakwa. Bertakwa, salah satu caranya adalah mengambil hikmah dari situasi yang ada untuk memperbaiki dan meningkatkan ketaatan kita pada perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya.

Ada tiga hikmah yang akan kita renungkan dalam khutbah ini. Ketaatan pada pemerintah, pencegahan mudarat, dan peningkatan kualitas diri serta keluarga. 

HIKMAH PERTAMA: KETAATAN PADA PEMERINTAH

Sejak bulan Maret, pemerintah telah menganjurkan kepada setiap warga negara untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah. Pemerintah juga telah mengeluarkan protokol kesehatan apabila masyarakat harus beraktivitas di luar rumah, yang utama adalah menjaga jarak dengan orang lain, mencuci tangan secara rutin, dan mengenakan masker. Tempat-tempat dan acara-acara yang berpotensi menyebabkan kerumunan, dihentikan hingga pandemi COVID-19 berakhir. Termasuk kemudian adanya larangan berpindah wilayah/mudik, dan beribadah secara ramai-ramai/berjamaah.

Tujuan dari dilakukannya hal-hal tadi adalah mengurangi interaksi antarmanusia, sehingga mengurangi risiko penularan COVID-19. Jelas bahwa anjuran pemerintah ini bertujuan untuk menyelamatkan warganya dari pandemi COVID-19.

Dalam Islam, jelas disebutkan dalam QS Al Hujurat ayat 13 bahwa kita diwajibkan untuk menaati Allah, menaati Rasul, dan menaati ulil amri, para pemimpin di antara kita. Karena pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.

Jelas, pemerintah tidak sempurna. Masih banyak hal-hal yang tidak dilakukan dengan baik, dan warga negara memiliki hak untuk mengritik. Namun, sikap kritis kita tidak membuat kita hanya bisa mengeluh dan menyalahkan. Apalagi jika kemudian kita malah melawan terhadap anjuran pemerintah, misalnya dengan membuat kerumunan yang tidak perlu, atau nekat mencari segala cara untuk melakukan mudik.

Surah Ar-Ra’d ayat 11 menyebutkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasib mereka sendiri. Artinya, kita tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah, namun kita taati pemerintah sebagai ikhtiar kita untuk memperbaiki nasib bangsa kita menghadapi pandemi COVID-19.

HIKMAH KEDUA: MENCEGAH MUDHARAT

Dalam dunia kedokteran dikenal sebuah prinsip dasar yang penting, primum non nocere. Prinsip ini dapat diartikan secara tekstual menjadi “Yang pertama, jangan menyakiti.” Prinsip ini sangat penting sehingga masuk dalam Sumpah Hippokrates, yang kemudian diadaptasi menjadi Sumpah Dokter Indonesia.

Prinsip serupa ternyata dapat ditemui juga dalam kaidah fiqh. Ada kaidah bahwa menghilangkan mudharat lebih diutamakan daripada meraih manfaat. Bahkan dalam situasi di mana mudharat dan manfaat suatu hal itu sama besar, maka lebih diutamakan kita menghilangkan mudharat tadi. Hanya ketika manfaat suatu hal lebih besar daripada mudharatnya, kita dapat mengambil manfaat.

Beribadah di masjid secara berjamaah, mudik untuk bersilaturahmi, adalah mengambil manfaat. Namun, pandemi COVID-19 adalah mudharat. Kita tahu bahwa orang tua kita, kebanyakan adalah kelompok usia lanjut yang memiliki penyakit komorbid, kelompok yang berisiko tinggi terkena COVID-19 berat.

Kita tahu bahwa sebagian besar ustadz, kyai, ulama kita, juga termasuk dalam kelompok ini. Sementara melaksanakan beribadah secara berjamaah, melaksanakan mudik, meningkatkan risiko penularan COVID-19, termasuk kepada mereka yang berisiko tinggi.

Dalam situasi seperti ini, langkah yang bijak bagi umat Islam adalah mencegah penularan COVID-19. Kita beribadah puasa, salat tarawih, bertadarus, salat Idulfitri di rumah saja demi keselamatan umat Islam dan bangsa Indonesia. Kita urungkan mudik, menemui orang tua, sanak saudara, handai taulan kita, bukan karena kita tidak menyayangi mereka, namun karena kita menjaga keselamatan mereka. 

HIKMAH KETIGA: MENINGKATKAN KUALITAS DIRI DAN KELUARGA

Dengan kita beribadah di rumah saja, berarti ibadah-ibadah yang harus dikerjakan secara berjamaah, tidak bisa lagi kita menggantungkan pelaksanaannya pada pihak lain. Harus ada yang bisa mengorganisasikan dan memimpin pelaksanaan ibadah tersebut dalam keluarga. Contoh sederhana, dalam pelaksanaan salat tarawih di rumah, harus ada yang mampu menjadi imamnya.

Secara tidak sadar, kita meningkatkan kualitas diri kita melalui hal-hal tersebut. Contoh, awalnya kita terbata-bata dalam mengaji, hanya hafal Al-Ikhlas dan Al-Kautsar. Namun, karena kita harus siap menjadi imam tarawih, kita pelan-pelan memperbaiki bacaan kita, tajwid dan tartilnya. Kita menambah hafalan surah-surah agar yang dibaca tidak itu-itu saja. Dengan demikian kita sudah meningkatkan kualitas kita sendiri.

Kemudian, pandemi ini membuat kita lebih sering berkumpul dan beraktivitas bersama keluarga, hal yang jarang kita lakukan sebelumnya. Aktivitas ini secara tidak sadar menjadi lahan peningkatan kualitas diri kita. Sebagai contoh, ketika kita memasak bersama-sama, kita sama-sama belajar memasak jadinya. Ketika kita menentukan jumlah rakaat, surah yang dibaca dalam salat tarawih, kita belajar bermusyawarah dan mendengarkan semua pihak.

Mengaji bersama, saling memperbaiki dan meningkatkan kemampuan membaca Alquran. Belajar bersama, kita sama-sama meningkatkan kapasitas keilmuan kita. Banyak sekali aktivitas yang secara tidak sadar membawa kita dan keluarga kita menjadi manusia yang lebih baik.

Hal ini jelas memenuhi semangat berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat, sesuai yang difirmankan Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 148. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah juga memerintahkan kepada kita untuk bersegera melakukan amal-amal kebaikan. Pandemi COVID-19 ini insya Allah telah membawa kita, dan keluarga kita, untuk melakukan hal-hal tersebut.

SIMPULAN

Berpuasa dalam pandemi COVID-19, setidaknya menghadirkan tiga hikmah yang tidak kita sadari sebelumnya. Masih banyak pelajaran lain yang dapat kita ambil sebenarnya, namun setidaknya tiga ini adalah hikmah yang berefek positif baik bagi diri kita sendiri, keluarga kita, maupun masyarakat luas.

Selamat hari raya Idulfitri, semoga Allah senantiasa melindungi kita dari COVID-19, dan menjadikan kita orang-orang yang selamat di dunia dan akhirat.

***