Wabah dan Agama, Perspektif Ulama dan Umaro dalam Masyarakat Muslim

Minimnya akurasi data covid-19 yang dipublikasikan bahkan hampir tidak pernah dilakukan kategorisasi wilayah secara tepat, mana zona merah, kuning, atau hijau dalam suatu wilayah.

Sabtu, 6 Juni 2020 | 19:24 WIB
0
234
Wabah dan Agama, Perspektif Ulama dan Umaro dalam Masyarakat Muslim
Penyemproten desinfektan di masjid (Foto: tirto.id)

Perihal ancaman penyakit menular yang diakibatkan covid-19 atau virus corona selalu menjadi tren perbincangan masyarakat dunia. Tidak saja soal bagaimana protokol kesehatan yang harus dijalani untuk mencegah masifnya pandemik ini, namun persoalan-persoalan lain sepertinya terus mengintai terutama apa yang akan terjadi pasca pandemik nanti.

Tidak hanya itu, bulan Ramadan yang kebetulan harus dilalui bersamaan dengan masa pandemik, membuat umat Muslim di seluruh dunia harus membatasi diri atau bahkan meniadakan segala kegiatan sosial-keagamaan atau ibadah komunal yang terkonsentrasi di majelis-majelis atau masjid-masjid.

Banyak persoalan muncul kemudian---terutama terkait dengan bagaimana perspektif medis dihadapkan dengan kenyataan sosial-keagamaan---dalam menghadapi wabah yang mungkin saja tampak saling kontradiktif.

Pandangan medis tentu saja umumnya mendahului berdasarkan pertimbangan rasional dan kesehatan, sedangkan respon agama cenderung disibukkan oleh penafsiran atas berbagai teks keagamaan, baik yang berasal dari Kitab Suci atau teks-teks otoritatif lainnya.

Dalam sejarah Islam, perbedaan sikap dalam menghadapi situasi wabah dapat ditemukan dalam berbagai literatur hadis, terutama cerita tentang Umar bin Khatab yang urung berkunjung karena wilayah yang akan didatangi sedang dilanda wabah. Imam al-Ghazali dalam "Ihya Ulumuddin" menjelaskan, bahwa Umar setelah sampai di al-Jabiyyah---sebuah wilayah dekat Damaskus---ketika hendak menuju Syam mendapat kabar bahwa Syam sedang dilanda wabah penyakit mematikan.

Kabar ini telah memunculkan dua kelompok besar yang saling bertentangan: mereka yang berkeyakinan harus menghindar dari kebinasaan, memaksa yang lain harus kembali, sedangkan yang lainnya keukeuh melanjutkan perjalanan dengan lagi-lagi berkeyakinan tidak boleh lari dari takdir Tuhan, kecuali dengan kesabaran dan tawakal.

Lalu, bagaimana dengan Umar? Tampak disini sang Khalifah lebih moderat: ia tidak meneruskan perjalanan dengan alasan dirinya menghindar dari suatu takdir untuk menuju ke takdir Tuhan lainnya yang lebih baik.

Cerita ini paling tidak, telah memberi gambaran yang cukup relevan dalam melihat dua perbedaan pendapat diantara masyarakat Muslim, terutama dalam menyikapi kondisi wabah covid-19 yang saat ini tengah melanda dunia.

Perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Muslim tetap mewarnai perjalanan panjang pandemik ini yang hampir sulit ditemukan demarkasinya: sampai sebatas apa disebut wabah ini berakhir? 

Sementara wilayah yang diduga penyebar wabah pertama kalinya saat ini mungkin telah menyatakan dirinya bebas dari pandemik tersebut. Melihat berbagai literatur yang ditulis para sarjana Muslim---salah satu yang cukup baik ditulis oleh Ibnu Hajar al-Asqallani: "Badzlu al-Ma'un fi Fadhl at-Tha'un"---hampir dipastikan wabah terkait dengan hal-hal yang fisik dan metafisik, sehingga wabah terkait dengan azab Tuhan atas suatu kaum atau penyakit menular tertentu yang secara fisik tampak dan seiring berjalannya waktu, berakhir dengan sendirinya. Itulah alasannya, dimana sebuah hadis riwayat Muslim menyebutkan, Nabi menyatakan, "Jangan kalian memasuki wilayah yang terkena wabah, tetapi jika kebetulan kalian berada di dalamnya, janganlah kalian lari meninggalkan wilayah tersebut".

 Boleh jadi hadis diatas disimpulkan atau dijadikan suatu argumentasi "pembenaran" atas kondisi "jangan menuju zona merah wabah, tetaplah tinggal di rumah". Sekilas anggapan ini tampak benar, walaupun pada kenyataannya apa yang dikategorikan sebagai zona merah, hijau, atau kuning tampak absurd dan cenderung dipandang sama oleh banyak pihak.

Akibatnya, persoalan muncul di tengah realitas masyarakat Muslim, terutama dalam konteks ibadah bersifat komunal yang justru dilarang atau dibatasi, sekalipun wilayah mereka berada dalam kategori zona hijau yang relatif bebas dari penularan.

Sejauh ini, berbagai kebijakan mengenai kondisi pandemik---dalam batas tertentu---memang kontras terutama jika membandingkan penanganan wabah di negara-negara Muslim yang terkait dengan kebijakan peribadatan dan pada saat yang sama akan berbeda kondisi penangananya sebagaimana prosedur yang dilakukan di berbagai negara Barat.

Dalam konteks masyarakat religius seperti Indonesia, kita tentu dihadapkan oleh berbagai pertanyaan teologis terkait wabah pandemik ini yang berkisar seperti, apakah wabah ini merupakan kehendak ilahi, sehingga kita dituntut pasrah atau justru bangkit melawannya? Apakah wabah ini erat kaitannya dengan hukuman Tuhan atau sebaliknya ini rahmat-Nya?

Apakah wabah ini melibatkan hal yang metafisik ataukah memang akibat virus yang dapat diketahui asal-muasalnya yang terpisah sama sekali dengan urusan gaib?

Dan yang terpenting barangkali, adakah hukum bersama yang disepakati dalam penanggulangan wabah, terlepas dari setiap keyakinan individu yang justru berbeda-beda di setiap masyarakat?

Dalam konteks globalisasi, wabah mungkin saja pada awalnya bersifat endemik di suatu wilayah tertentu, lalu berubah menjadi pandemik, sehingga cara penanggulangannya mungkin saja tidak seragam di berbagai wilayah.

Tulisan ini akan mencoba melihat wabah (tha'un) dari perspektif agama, khususnya Islam, mengingat bahwa terdapat serentetan peristiwa soal pembatasan ibadah umat Muslim, termasuk penutupan masjid, pelarangan salat Jumat, dan aktivitas keagamaan lainnya yang melibatkan banyak orang.

Di berbagai negara mayoritas Muslim, otoritas keagamaan telah mengeluarkan fatwa yang secara tegas "melarang" kegiatan beribadah bersifat komunal, termasuk melakukan "penutupan" terhadap masjid-masjid. Sebagaimana fatwa yang dirilis Syekh Abdullah bin Bayyah dari UEA atau Dar al-Ifta Mesir yang telah lebih dahulu menetapkan untuk menutup sementara masjid dan meniadakan salat Jumat atau aktivitas keagamaan lainnya.

Walaupun terdapat juga perspektif berbeda dari ulama lain yang menolak penutupan tempat ibadah dan membatasi segala ritualitasnya, sebagaimana yang difatwakan Syekh Hakim al-Mathiri yang kemudian diikuti oleh beberapa negara Muslim, diantaranya Suriah dan Kuwait. 

Perbedaan pendapat seperti ini tentu saja terjadi di Indonesia, sekalipun, fatwa MUI secara resmi menyatakan tidak melarang ibadah secara berjamaah---dalam kondisi tertentu---dan tidak memfatwakan agar masjid-masjid ditutup.     

 Dalam konteks Ramadan, fatwa-fatwa keagamaan tentu saja sangat dibutuhkan masyarakat terkait soal peribadatan yang di bulan ini sangat masif, terkonsentrasi di beberapa masjid ditambah oleh tradisi komunal yang umum terjadi, seperti kerumunan orang membeli makanan untuk berbuka puasa terlebih menjelang Lebaran dimana pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi pengunjung untuk memenuhi hasrat kaum Muslim menyambut Idul Fitri.

Setidaknya, otoritas politik di Indonesia telah memberlakukan aturan karantina wilayah dengan merujuk pada aturan Kementrian Kesehatan yang diikuti kemudian oleh PSBB di semua wilayah di Indonesia.

Namun lagi-lagi, bahwa fatwa keagamaan sebagaimana yang dikeluarkan MUI, tampaknya tidak lagi menjadi jaminan  atas kebolehan aktivitas sosial-keagamaan bagi masyarakat Muslim, sebab yang berlaku pada akhirnya tetap otoritas politik pemerintahan dalam hal mengatur, membatasi, bahkan melarang segala aktivitas sosial-keagamaan.

Menarik ketika saya mencermati Fatwa MUI No. 14 tahun 2020 tentang "Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Wabah Covid-19" yang mengatur dan membatasi ibadah umat Muslim di tengah wabah pandemik. Argumentasi fatwa MUI ini, tentu saja telah memenuhi suatu proses penggalian sumber-sumber hukum Islam yang dapat dijadikan suatu landasan hukum, dimana tidak disebutkan adanya penutupan masjid atau larangan solat Jumat atau berjamaah berdasarkan pertimbangan kondisi tertentu.

Dalam ketentuan hukumnya, terutama dalam diktum nomor 3 poin b Fatwa MUI   menyebutkan, "Dalam hal ia berada dalam satu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar covid-19...".

Diktum ini memuat penjelasan substansi hukum yang di fatwakan dari dalil-dalil hukum (adillatu al-ahkam) yang menjadi dasar pertimbangan otoritatif terutama soal ibadah di masa pandemik.

Bagi umat Muslim di Indonesia, sudah seharusnya tidak ada lagi perdebatan soal bagaimana seharusnya beribadah di masa pandemik ini, karena sejatinya dengan mengacu kepada Fatwa MUI, setiap Muslim dapat menjadikannya rujukan otoritatif sehingga tidak lagi terjadi kebimbangan, keragu-raguan, atau kecemasan dalam praktik pelaksanaan ibadah.

Jikapun terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat, mestinya dipandang sebagai hal yang wajar, selama satu sama lain tetap saling menghormati dan bukan dalam rangka memperebutkan suatu klaim kebenaran. Walaupun kenyataannya, banyak cerita yang beredar mengenai betapa ritual ibadah berjamaah di masjid justru menjadi hal yang seringkali menakutkan.

Banyak di antara masjid yang berada dalam wilayah potensi penularannya rendah (zona hijau), justru melakukan ibadahnya secara sembunyi-sembunyi dengan mematikan lampu di malam hari atau mematikan pengeras suara ketika berlangsungnya ibadah.

Ini merupakan fenomena baru ibadah di tengah wabah, yang tidak saja memberikan rasa kekhawatiran tetapi juga ketakutan mereka terhadap konsekuensi hukum terkait "pelanggaran" ibadah di tengah wabah.

Ibadah pada akhirnya menjadi kontraproduktif, karena seolah bertentangan dengan kebijakan otoritas politik. Minimnya akurasi data covid-19 yang dipublikasikan pemerintah, bahkan hampir tidak pernah dilakukan kategorisasi wilayah secara tepat, mana zona merah, kuning, atau hijau dalam suatu wilayah. Kebanyakan yang tampak sebagai realitas bentuk "pukul rata" terhadap semua wilayah, terutama setelah aturan PSBB diberlakukan di berbagai wilayah tertentu.

***