Pemerintah Pusat dan Daerah harus rajin turun ke bawah, gerakan semua sumber daya sampai tingkat Kelurahan dan RT/RW melakukan edukasi.
Lockdown atau singkatnya mengkarantina seluruh area di mana pergerakan seseorang dibatasi, berdiam di rumah dengan pengawasan ketat dan suplai makanan dari pemerintah. China bisa disebut sukses melakukan ini di Wuhan. Dengan segenap kuasa absolut dan tingkat kepatuhan masyarakat yang tinggi, pergerakan warga dapat dikunci sehingga penyebaran ditekan serendah mungkin.
Itali coba melakukan hal yang sama di awal. Ya, kawasan Italia Utara di-lockdown. Hasilnya? Banyak masyarakat yang justru akhirnya keluar dari utara dan berbondong pindah ke selatan. Kelambanan pemerintah Itali dalam mengawal area dan transportasi umum membuat warga di utara memiliki ruang yang cukup untuk "kabur" menuju selatan. Akhirnya yang terjadi adalah Superspreader, penyebaran masif, jumlah penderita di Italia melonjak. Sekarang ini Italia terpaksa me-lockdown seluruh negara.
Kemarin, Manila melakukan hal yang mirip. Presiden Duterte sendiri yang malah langsung mengumumkan lockdown. Hasilnya? Warga Manila berbondong-bondong keluar memenuhi jalan tol dan bandara sebelum lockdown berlaku. Entah apa yang terjadi di Filipina beberapa waktu ke depan. Mudah-mudahan tidak terjadi superspreader atau penyebaran masal akibat masifnya perpindahan warga ke lokasi yang tidak di-lockdown.
Di Indonesia, tak kurang gencar usulan dari berbagai kalangan untuk lockdown. Paling tidak untuk kota tertentu. Bagaimana andai ini diterapkan? Sukses seperti China atau malah akan mengikuti Italia?
Saya pikir tak sulit menerka bahwa kemungkinan kedualah yang akan terjadi.
Masih banyak masyarakat kita yang kurang memahami soal Corona termasuk etika atau tindakan pencegahan sederhana. Masih banyak yang lebih pusing memikirkan hal seperti, "Besok bisa makan ngga ya?" Atau, "Gimana cari makan buat besok?".
Negara ini belum sekaya China, pun tingkat pendidikannya masih jauh dibanding Singapura. Yang saya kuatirkan andai kota "se-elit" Jakarta di-lockdown pun, alih-alih berhasil mengontrol pergerakan massa, yang ada malah kemungkinan panik dan hijrah masal.
Masyarakat menengah bawah yang harus bekerja dengan upah harian mustahil tinggal diam. Bisa jadi aksi protes akan berujung chaos, aksi penjarahan dan kriminal karena kuatir kelaparan akibat lockdown. Belum lagi ada potensi oknum untuk menunggangi isu, menciptakan kerusuhan dan guncangan sosial, politik dan ekonomi lebih besar. Jangan kesampingkan itu.
Lalu, siapa yang bisa menjamin suplai makanan dr pemerintah mampu menjangkau setiap sudut kampung Jakarta? Andai suplai makanan cukup pun, apa negara sanggup membayar upah harian setiap warga terdampak? Ada rumah kontrakan yang harus tetap dibayar, uang sekolah atau kebutuhan sehari-hari di luar makanan. Mampukah negara menjangkau semua warga terdampak?
Kelas mennegah atas? Sebagian pasti berpikir layaknya warga Italia dan Manila. "Ngapain repot di Jakarta, mending ke luar". Ya, mereka punya daya beli lebih baik. Akibatnya? Pergerakan masif dan masal pindah lokasi, yang justru bisa memicu super spreader, menyebabkan virus menyebar lebih luas dan cepat. Backfire!
Lockdown mungkin efektif di China. Melawan, tembak. Selesai. Siapa yg bernai protes? Dan mereka kaya. China sanggup walk the talk. "Lu diem, kebutuhan lu gw penuhi. Gw punya banyak duit". Kasarnya begitu. Indonesia?
Situasi sosial, ekonomi, politik dan budaya di sini jauh berbeda. Lockdown, alih-alih mengunci penyebaran, malah bisa berujung super spreader karena pergerakan massa justru bisa di luar kendali.
Karena itu sejak awal saya melawan ide ini. Bukan karena tak ingin, tapi tidak cocok. Seburuk apapun data di tangan, solusi akan selalu terikat dengan konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Jadi harus dilihat secara keseluruhan, bukan partial penanganan virusnya saja.
Italia dan Manila sudah jadi bukti keras bahwa lockdown bukannya berhasil mengunci pergerakan, sebaliknya, malah membuat panik dan berujung perpindahan masal yang bisa mengakibatkan super spreader.
Karena itu, social distancing atau mengurangi aktivitas sosial ke luar rumah ketika tidak darurat atau perlu, seperti yang saat ini dijalankan, rasanya lebih cocok. Kurangi aktivitas sosial, kerumunan, batasi jam buka tempat umum seperti mall dan yang tak kalah penting, intensif melakukan edukasi di masyarakat.
Yang terakhir ini saya belum lihat wujudnya padahal edukasi sesederhana cuci tangan dan etika batuk, sampai soal penggunaan masker akan sangat masif efeknya andai bisa dipahami banyak orang. Ini adalah garis terdepan dalam perang melawan virus. Menang di pos ini akan sangat membantu pasukan di garis belakang.
Pemerintah Pusat dan Daerah harus rajin turun ke bawah, gerakan semua sumber daya sampai tingkat Kelurahan dan RT/RW melakukan edukasi. Ini akan efektif menjangkau masyarakat menengah bawah dan impactnya akan luar biasa signifikan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews