Ciri manusia tidak bertanggung jawab, walaupun dia beragama (atau karena justeru beragama?), ialah melemparkan tanggung jawab ke Tuhan.
Sebenarnya saya agak berat menulis perihal kasus menyusuri sungai Sempor ini. Sungai yang makan korban anak-anak pramuka SMP Negeri 1 Turi, Sleman.
Namun tak kuat menahan diri ternyata. Terpaksa saya tuliskan, meski sebenarnya tak ada yang baru, dan cenderung mengulang-ulang.
Biarlah, setidaknya bagi saya pribadi ini juga cara melawan, pada hal-hal yang dalam idealita kita (saya ding), tak bisa kita terima, tapi kita tak bisa mengajaknya diskusi, atau rembugan sembari minum kopi, teh, wedang uwuh, rongsokan, dan sebagainya.
Tiga paragraf di atas, moga cukup untuk memohon permakluman. Karena sekali lagi, semakin kuat keyakinan saya, bahwa cara beragama yang sesat itu sungguh berbahaya.
Bukan agamanya yang sesat, melainkan "cara beragama"-nya yang sungguh berbahaya. Bagi dirinya, bagi orang lain, dan mau tak mau bagi agamanya, sehingga agamanya mendapat cap buruk. Juga bagi-bagi lainnya. Banyak pokokmen, banyak keling-keling. Siapa yang salah? Yang mengajari mereka, sehingga yang mereka ajarkan dan lakukan, juga sama salahnya.
Dalam penyelidikan Polisi terhadap 15 orang berkait tragedi penyusuran sungai, didapat fakta bahwa semua korban adalah anak perempuan, setidaknya berdasar temuan selama itu atas 8 korban meninggal, dan korban-korban luka.
Dan anda tahu seragam pramuka di Indonesia, sejak muncullah phobia-sekularisme? Untuk anak perempuan memakai gaun panjang. Nutupi dengkul. Hal itu mengikuti trend seragam baik dari SD s.d SMA untuk anak perempuan memakai rok panjang atau long-dress. Kalau untuk laki-laki, SD dan SMP pada hari Jumat memakai celana panjang. Kita tahulah ke mana arah seragam itu.
Perkadrunan adalah awal dari persoalan-persoalan syariat agama yang dimasukkan ke ranah publik. Syariat agama Islam tentunya. Soal keyakinan itu, baiklah saya simpan untuk tidak membantahnya. Tapi dengan kostum model itu menyusuri sungai? Meminjam umpatan Bambang Rabies, "Uteg'e!"
Satu lagi jawaban kunci, konon ketika ada yang mengingatkan para "Kakak Pembina", karena cuaca yang buruk, agar menunda kegiatan penyusuran sungai, demi keselamatan anak-anak. Jawabannya sungguh telek, eh, typo, telak ding; "Enggak apa-apa, kalau mati di tangan Tuhan!"
Yungalah. Adakah Polisi Sleman meski bertanya pada Allah, kenapa anak-anak harapan bangsa itu tewas, ketika menyusuri sungai, yang tiba-tiba banjir?
Ciri manusia tidak bertanggung jawab, walaupun dia beragama (atau karena justeru beragama?), ialah melemparkan tanggung jawab ke Tuhan. Berjalan di pinggir jurang, dan kemudian jatuh ke jurang, karena dikersakke Tuhan. Dokter bilang karena kolesterol sekian dilarang makan ini-itu, tapi tetep ngeyel dan akhirnya mati, Tuhan pula yang dituding telah menakdirkan.
Tuhan adalah alasan paling baik, bagi mandegnya ilmu-pengetahuan mengenai hukum sebab-akibat. Padahal, dari semua kitab suci yang konon ditulis Tuhan, semua ngomong soal hukum sebab-akibat. Pada sisi itu, dalam melihat akibat, kita acap mengabaikan apa sebab-musababnya.
Dari kemalasan berpikir, kita dengan mudah menyebut Mbah Maridjan itu sakti. Tapi seorang pembelajar, akan ngomong bahwa Mbah Maridjan itu seorang profesor. Dan tidak akan sebodoh para kakak pembina Pramuka, yang diam-diam menuding Tuhan sebagai biang tewasnya anak-anak di sungai Sempor.
Lagian, kalian juga sama sekali tidak ngerti babar-blas, Kali Sempor adalah jalan tol pasukan Kanjeng Ratu Kidul (lihat penampakannya di bawah, versi Mbakyu Wied Sendjayani) ke Laut Selatan. Itu!
Sunardian Wirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews