Justru yang anda harus lakukan adalah membantu menyiapkan aplikasi dan melatih diri untuk berkomunikasi secara virtual. Coba gunakan webinar dengan keluarga di desa.
Era revolusi komunikasi ditandai dengan mudahnya kita berinteraksi secara non-fisik dengan siapapun. Pada awalnya, orang bisa berkomunikasi dengan apa yang disebut telegram, fax dan telepon yang tersambung melalui jaringan kabel. Sekarang, komunikasi dengan cara konvensional ini sudah ditinggalkan.
Padahal dahulu, alat ini hanya dimiliki orang berpunya (the have). Yang bisa berbicara melalui alat ini juga hanya kalangan elit yang umumnya tinggal di kota. Orang tak berpunya (the have not) dan orang desa, mana bisa berkomunikasi dengan alat ini. Jaringan kabel tilpon tak menjangkau rumah mereka.
Saya ingat, tahun 1980 saja, alat telepon masih menjadi simbol elit. Kalau ada orang memberi kartu nama dengan nomor tilpon rumah, keren betul dia. Orang sudah langsung melihat dia sebagai orang kota, kalangan mapan yang kantongnya berbau "uang lama" (old money). Bandingkan dengan keadaan sekarang.
Saat ini, hampir semua warga, kaya atau miskin, kota atau desa, dapat berkomunikasi dengan menggunakan tilpon. Itupun tilpon yang ada dalam genggaman tangan yang tersambung langsung melalui jaringan satelit. Kalau dahulu untuk bicara melalui tilpon sulitnya bukan main. Banyak orang terpaksa harus antri untuk bicara di gardu tilpon umum (telephone booth). Ngomong-ngomong itu gardu ke mana ya?
Saat ini sambil nongkrong di toilet pun orang bisa ngobrol dengan temannya di sebrang pulau. Ini dilakukan oleh siapa saja, dari bos perusahaan besar hingga asisten rumah tangga.
Dahulu, untuk memiliki nomor tilpon pribadi sulitnya luar biasa. Harganya juga mahal. Tapi saat ini, dengan mudahnya orang mendapatkan nomor baru. Bahkan semakin sering orang berganti nomor tilpon, justru sering jadi tanda bahwa dia bukan termasuk orang punya duit. Itu tanda orang yang selalu cari diskon sehingga nomor terus berganti.
Nah, di zaman masyarakat komunikasi digital semacam ini, kita terkena musibah virus Corona. Upaya memutus mata-rantai penularan diupayakan dengan berbagai cara. Intinya, interaksi fisik dibatasi. Tapi sialnya, acara mudik juga dilarang. Padahal, itu acara yang paling ditunggu. Kumpul dengan keluarga, kerabat, dan teman-teman semasa kecil di kampung adalah acara tahunan yang paling "jreng," sangat menggembirakan hati.
Ada juga yang menjadikan acara ini sebagai acara pamer keberhasilan dan kekayaan. Mobil terbaru, walaupun masih cicilan, harus digunakan. Berapa pun lamanya menempuh perjalanan menuju kampung tak jadi soal. Yang penting dapat kesempatan pamer. Norak memang, tapi itu yang terjadi. Diakui atau tidak.
Nampaknya acara seperti itu di tahun ini tak bisa dilakukan. Jutaan orang pasti "kuciwa." Jadi apa dong solusinya?
Dalam kaitan inilah inovasi harus dimunculkan. Cara baru biasanya memang tercipta mengikuti hukum "supply and demand." Di sana muncul kebutuhan, di sana pula ada produksi barang atau jasa baru.
Agaknya, tahun ini akan muncul cara baru berlebaran. Namai saja "Lebaran virtual" atau "Lebaran Digital". Jangan bayangkan solusi ini 100% bisa menggantikan nikmatnya lebaran yang seperti biasanya. Ya jelas beda rasa. Tapi lumayanlah!
Bayangkan. Keluarga di desa akan duduk bersama di depan layar kaca untuk menatap wajah ayah, anak, atau kerabat yang ada di kota setelah shalat Idul Fitri. Handphone disambungkan ke televisi sehingga gambar dalam layar handphone dapat diperbesar dan dilihat bersama keluarga.
Melalui layar kaca, mereka akan saling bermaafan. Ngobrol jarak jauh bersama akan dilakukan sambil bersenda gurau. Jelas, acara makan ketupat bersama akan hilang atau terbatas. Kue lebaran juga akan sirna dari meja. Ingat, berkumpul atau berkerumun itu dilarang. Social distancing!
Bagi orang kota yang sudah sering melakukan teleconference, berlebaran virtual seperti ini pasti bukan hal sulit, baik secara teknologi atau budaya. Namun bagi kebanyakan orang, ini hal baru. Apalagi bagi "generasi jadul" di desa yang sudah berumur 60 tahun ke atas.
Karena itu, rayakanlah pengalaman baru ini. Selamat datang kita ucapkan pada "Lebaran Virtual" atau "Lebaran Digital" di Indonesia yang akan dilakukan secara massive dan serentak.
Tanpa disadari, ini momen edukasi literasi digital serentak dan terbesar sepanjang masa. Belajar cara baru dengan langsung praktik.
Bila anda saat ini tinggal di kota dan ingin berpartisipasi dalam momen bersejarah ini, jangan pulang kampung. Sekali lagi, JANGAN PULANG KAMPUNG! Justru yang anda harus lakukan adalah membantu menyiapkan aplikasi dan melatih diri untuk berkomunikasi secara virtual. Coba gunakan webinar dengan keluarga di desa.
Apa itu webinar? Webinar itu adalah teknologi komunikasi yang memungkinkan kita untuk ngobrol secara online bersama seperti orang melakukan seminar, talkshow, diskusi dan kegiatan lainnnya tanpa harus bertatap muka secara langsung sama sekali.
Selamat berlebaran virtual dengan keluarga.
#iPras2020
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews