Sekolah, lembaga-lembaga agama, lembaga pendidikan harus direformasi secara total agar virus itu berhenti berkembang biak.
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mensitir anak-anak yang digiring ikut demo 22 Mei, atas arahan guru ngajinya. Polisi menangkap mereka, anak usia 14-17 tahun yang berasal dari berbagai daerah. Sebagian ada yang dari Jakarta juga.
Membaca berita ini, kita tahu, ternyata PR kita masih amat panjang. Dunia pendidikan hanyalah salah satu tempat berkecambahnya ajaran intoleran dan radikal. Bagaimana bisa seorang guru ngaji mengajak anak didiknya demonstrasi rusuh. Ajaran agama sebelah mana yang membolehkan itu?
Bukan hanya anak-anak yang terkena virus Zombie ini. Sebagian ibu-ibu juga ketularan jadi doyan hoax karena berinteraksi di pengajian.
Dulu, orang tua selalu khawatir dengan pergaulan anak-anak mereka. Pergaulan bisa menyeretnya menjadi anak nakal. Kini justru dari pengajian itulah anak-anak jadi perusuh.
Banyak teman saya yang kini juga mulai khawatir dengan pergaulan orang tuanya. Mereka mendapati tetiba ibunya yang tadinya polos berubah jadi beringas. Omongannya berisi hoax melulu. Ketika mau diluruskan, ibunya marah. Ketimbang durhaka, teman saya memilih diam.
Kekhawatiran makin memuncak kalau ibunya punya akun medsos. Setiap hari dia deg-degan. Jangan-jangan besok emaknya diciduk karena menyebar hoax. Sudah banyak korban yang mengalami nasib begitu.
Sepertinya bukan hanya guru pengajian yang menularkan virus zombie kepada muridnya. Bahkan guru-guru sekolah negeri juga sudah kesurupan ajaran radikal. Sebuah survei dari Alvara menggambarkan, kebanyakan guru agama di sekolah setuju dengan khilafah. Ngeri, kan?
Pada survei yang sama juga tergambar, 10% murid sekolah mau melakukan jihad untuk menegakkan khilafah.
HTI memang sudah diberangus. Tapi apalah artinya membubarkan sebuah organisasi jika ideologi yang dibawanya dibiarkan berkembang biak. Mereka mudah saja berganti baju, berganti organisasi. Isinya tetap sama --Khilafah.
Serba salah memang jadi orang tua sekarang. Kita khawatir dengan pergaulan bebas anak-anak kita. Mereka bisa jadi anak nakal. Tapi ketika anak-anak mulai rajin ikut pengajian di sekolah, kekhawatiran kita juga sama besarnya. Jangan-jangan mereka sedang didoktrin jadi radikal.
Kita ingin orangtua kita di masa tuanya hidup dalam kedamaian. Mencari jalan agama. Tapi ternyata itu juga berbahaya jika mendapatkan guru agama yang pekok. Bisa-bisa orang tua kita seperti Mustofa Nahra yang gemar menyebar kebohongan.
Jika keadaan begini terus, kecemasan kita akan semakin memuncak. Keadaan makin mengkhawatirkan. Agama yang dibawa para ustad perusak itu, tidak memberikan kedamaian. Justru malah melahirkan kerusakan.
Saatnya kita harus bergandengan tangan. Bersama orang-orang yang sadar bahwa kondisi sudah bunyi alarm. Awasi anak-anak kita. Saudara kita. Orang-orang tua kita dari setan berjubah yang menjadikan agama sebagai ajaran kerusakan.
Mulailah selektif dalam memilih guru agama. Mulailah selektif dalam memilah informasi.
Sekolah, lembaga-lembaga agama, lembaga pendidikan harus direformasi secara total agar virus itu berhenti berkembang biak.
Sementara di rumah, kita dituntut untuk melakukan imunisasi kepada anak-anak. Ajarkan rasionalitas dan empati. Jangan biarkan sedikit saja ujaran intoleran mampir ke telinganya.
PR (pekerjaan rumah) kita masih amat panjang. Para zombie sudah bergarak dimana-mana. Siap menerkam keluarga kita.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews