Sebagai pembaca, Kehilangan Mestika memberi kesan hangat yang tidak mudah dilupakan. Yang membuat saya terkesan bukan hanya cerita tentang perjalanan seorang perempuan muda mencari pendidikan dan kemandirian, tetapi terutama cara Fatimah H. Delais menuliskannya, dengan bahasa yang sederhana, jujur, dan mudah dipahami. Justru dalam kesederhanaannya itulah cerita ini terasa hidup.
Kekhasan Fatimah H. Delais
Hal pertama yang langsung terasa saat membaca novel ini adalah gaya bahasanya yang apa adanya. Fatimah tidak berusaha tampak ‘sastrawi’ dengan kalimat-kalimat yang rumit. Ia menulis seperti ia bercerita langsung dengan cara jujur, luwes, dan sangat manusiawi. Kata-katanya tidak dibuat-buat, tidak melompat-lompat, dan selalu terasa alami.
Kalimat seperti:
"Belum pula aku tahu bahasa aku nanti akan menjadi ibu bagi anak-anak dan penyuluh untuk isi kampungku."
menunjukkan bagaimana Fatimah menggunakan bahasa secara personal. Ungkapan frasa seperti "bahasa aku" atau "bahasa kami" memang terasa khas, dan meskipun tidak umum, justru memberi kesan akrab.
Padang Panjang: Kenangan, Sekolah, dan Kesunyian yang Hangat.
Selama empat tahun di Padang Panjang, tokoh utama tinggal di internat (asrama) untuk sekolah. Tapi yang menarik bagi saya bukan hanya latarnya sebagai tempat pendidikan, melainkan bagaimana suasana kota itu dibangun perlahan lewat pengalaman si tokoh. Fatimah tidak menggambarkan Padang Panjang dengan detail visual yang berlebihan. Ia cukup menuliskan bahwa:
“Padang Panjang yang makmur, kota yang sehat dan nyaman hawanya, di tengah-tengah tanah Minangkabau yang termasyhur suburnya...”
Kesan saya tempat ini terasa seperti tempat tumbuh yang tenang, bersih, dan penuh harapan. Dari narasi ini saja, saya bisa membayangkan betapa kota ini menjadi titik awal seorang gadis belajar mengenal dunia, sebelum dilepas ke kehidupan yang lebih besar.
Teluk Bayur: Perpisahan
Fatimah juga menggambarkan keberangkatannya dari pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Saya menangkap suasana penuh rasa haru dan cemas di titik ini. Kapal bukan sekadar alat transportasi—ia menjadi simbol perubahan dan ketidakpastian. Saat kapal berlayar melintasi laut Ketaun yang bergelombang, terasa jelas ketegangan dalam perjalanan itu:
“Kami seperti orang yang mabuk, terpaksa tinggal di dalam kamar; masing-masing merasa tak enak.”
Yang saya suka, Fatimah tidak mencoba mendramatisasi kejadian. Ia cukup menuliskan apa yang terjadi, bagaimana rasanya, dan membiarkan pembaca merasakannya sendiri. Kejujuran itulah yang membuat narasinya kuat.
Palembang: Kota Asing, Tapi Tak Menakutkan
Ketika akhirnya sampai di Palembang, Fatimah menggambarkannya bukan sebagai kota besar yang gemerlap, tapi sebagai tempat asing yang membuat tokohnya merasa canggung. Ia menulis:
“Aku belum pernah melihat Palembang meskipun dari negeriku ke situ hanya beberapa jam saja.”
Bagi saya, ini menarik Palembang bukan digambarkan secara fisik, tapi lewat rasa. Ia belum dikenal, dan karena itu memberi ruang bagi tokoh utama untuk bertumbuh, belajar berani, dan berdiri sendiri. Meskipun sempat bingung dan khawatir karena tidak dijemput, tokoh “aku” tetap melangkah, naik kapal kecil, menyeberang, dan melanjutkan hidup. Di sinilah saya merasa Fatimah sangat kuat dalam menulis narasi keberanian yang tidak meledak-ledak.
Perjalanan dari Padang Panjang ke Teluk Bayur hingga Palembang bukan hanya soal geografis, tapi juga soal emosi, kedewasaan, dan keberanian. Dan bagi saya, semuanya tersampaikan dengan utuh lewat gaya bahasa yang bersahaja tapi penuh makna. Itulah yang saya rasakan saat membaca Kehilangan Mestika, saya merasa bahwa Fatimah H. Delais, cukup menjadi dirinya sendiri, menulis dengan suara yang jujur, bahasa yang lembut, dan kesan yang dalam. Ia tidak mendandani ceritanya dengan keindahan buatan, tapi justru karena itulah kisah ini terasa benar.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews