Di Padang Panjang sampai Palembang

Senin, 2 Juni 2025 | 10:48 WIB
0
12
Di Padang Panjang sampai Palembang
(Cover Buku Kehilangan Mestika, Sumber: Dokumentasi Pribadi).

Sebagai pembaca, Kehilangan Mestika memberi kesan hangat yang tidak mudah dilupakan. Yang membuat saya terkesan bukan hanya cerita tentang perjalanan seorang perempuan muda mencari pendidikan dan kemandirian, tetapi terutama cara Fatimah H. Delais menuliskannya, dengan bahasa yang sederhana, jujur, dan mudah dipahami. Justru dalam kesederhanaannya itulah cerita ini terasa hidup.

Kekhasan Fatimah H. Delais

Hal pertama yang langsung terasa saat membaca novel ini adalah gaya bahasanya yang apa adanya. Fatimah tidak berusaha tampak ‘sastrawi’ dengan kalimat-kalimat yang rumit. Ia menulis seperti ia bercerita langsung dengan cara jujur, luwes, dan sangat manusiawi. Kata-katanya tidak dibuat-buat, tidak melompat-lompat, dan selalu terasa alami.

Kalimat seperti:

"Belum pula aku tahu bahasa aku nanti akan menjadi ibu bagi anak-anak dan penyuluh untuk isi kampungku."

menunjukkan bagaimana Fatimah menggunakan bahasa secara personal. Ungkapan frasa seperti "bahasa aku" atau "bahasa kami" memang terasa khas, dan meskipun tidak umum, justru memberi kesan akrab.

Padang Panjang: Kenangan, Sekolah, dan Kesunyian yang Hangat.

Selama empat tahun di Padang Panjang, tokoh utama tinggal di internat (asrama) untuk sekolah. Tapi yang menarik bagi saya bukan hanya latarnya sebagai tempat pendidikan, melainkan bagaimana suasana kota itu dibangun perlahan lewat pengalaman si tokoh. Fatimah tidak menggambarkan Padang Panjang dengan detail visual yang berlebihan. Ia cukup menuliskan bahwa:

“Padang Panjang yang makmur, kota yang sehat dan nyaman hawanya, di tengah-tengah tanah Minangkabau yang termasyhur suburnya...”

Kesan saya tempat ini terasa seperti tempat tumbuh yang tenang, bersih, dan penuh harapan. Dari narasi ini saja, saya bisa membayangkan betapa kota ini menjadi titik awal seorang gadis belajar mengenal dunia, sebelum dilepas ke kehidupan yang lebih besar.

Teluk Bayur: Perpisahan

Fatimah juga menggambarkan keberangkatannya dari pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Saya menangkap suasana penuh rasa haru dan cemas di titik ini. Kapal bukan sekadar alat transportasi—ia menjadi simbol perubahan dan ketidakpastian. Saat kapal berlayar melintasi laut Ketaun yang bergelombang, terasa jelas ketegangan dalam perjalanan itu:

“Kami seperti orang yang mabuk, terpaksa tinggal di dalam kamar; masing-masing merasa tak enak.”

Yang saya suka, Fatimah tidak mencoba mendramatisasi kejadian. Ia cukup menuliskan apa yang terjadi, bagaimana rasanya, dan membiarkan pembaca merasakannya sendiri. Kejujuran itulah yang membuat narasinya kuat.

Palembang: Kota Asing, Tapi Tak Menakutkan

Ketika akhirnya sampai di Palembang, Fatimah menggambarkannya bukan sebagai kota besar yang gemerlap, tapi sebagai tempat asing yang membuat tokohnya merasa canggung. Ia menulis:

“Aku belum pernah melihat Palembang meskipun dari negeriku ke situ hanya beberapa jam saja.”

Bagi saya, ini menarik Palembang bukan digambarkan secara fisik, tapi lewat rasa. Ia belum dikenal, dan karena itu memberi ruang bagi tokoh utama untuk bertumbuh, belajar berani, dan berdiri sendiri. Meskipun sempat bingung dan khawatir karena tidak dijemput, tokoh “aku” tetap melangkah, naik kapal kecil, menyeberang, dan melanjutkan hidup. Di sinilah saya merasa Fatimah sangat kuat dalam menulis narasi keberanian yang tidak meledak-ledak.

Perjalanan dari Padang Panjang ke Teluk Bayur hingga Palembang bukan hanya soal geografis, tapi juga soal emosi, kedewasaan, dan keberanian. Dan bagi saya, semuanya tersampaikan dengan utuh lewat gaya bahasa yang bersahaja tapi penuh makna. Itulah yang saya rasakan saat membaca Kehilangan Mestika, saya merasa bahwa Fatimah H. Delais, cukup menjadi dirinya sendiri, menulis dengan suara yang jujur, bahasa yang lembut, dan kesan yang dalam. Ia tidak mendandani ceritanya dengan keindahan buatan, tapi justru karena itulah kisah ini terasa benar.