Jauh di sana, di China, Taiwan, Korea, Singapura, ada jutaan siswa yang juga sedang belajar dengan metoda, fasilitas, peralatan, yang sangat modern. Tujuannya sama, untuk memenangi masa depan.
‘Pesantren’ adalah film dokumenter. Berdasarkan penjelasan sutradara, Salahuddin ‘Udin’ Siregar, ‘Pesantren’ diproyeksikan sebagai counter perception atas tuduhan masyarakat barat yang menyebutkan pesantren adalah sarang teroris. Proses pembuatan film ini memakan waktu lumayan lama, mulai dari observasi di tahun 2012 hingga tayang di tahun 2022.
Film ini berupa capture dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung di pesantren. Ditunjukkan apa adanya pesantren: orang-orangnya, bangunannya, fasilitasnya, kegiatannya, dan ... ini yang sebenarnya menjadi unggulan: karakter warga pesantren (pengurus, guru, dan muridnya) yang inklusif, toleran, dan rasional. Paling tidak, itu ditegaskan oleh KH Hussein Muhammad yang tampil ‘sempurna’ di film ini.
Karya sinema ini harusnya efektif dan signifikan sebagai ‘jawaban’ tuduhan keji yang dilontarkan Barat atas pesantren. Karena film ini akan diputar di beberapa negara, mengingat sumber pembiayaan film ini berasal dari lima negara (barat), harusnya mesyarakat barat mendapatkan potret yang sebenarnya mengenai pesantren, dan persepsi mereka tentang pesantren harus berubah. Sebagai ‘jawaban’, film ini sangat bagus.
‘Pesantren’ juga bisa menjadi album nostalgia bagi mereka yang dulu pernah mondok, dan kini sudah menjadi orang sukses dan tinggal di kota. Paling tidak, itu diungkapkan oleh Cak Imim, Ketua Umum PKB yang hadir dalam pemutaran perdana film ini. Nikmatnya hidup susah tinggal di pondok akan hadir dan terasakan kembali ketika nonton film ini.
Akan tetapi, tayangan yang apa adanya mengenai pesantren yang ditampilkan dalam film ini, secara tidak langsung menjelaskan bahwa potret pesantren pada jalan baheula dan jaman now, ya sama saja.
Bangunannya sedikit lebih baik, fasilitasnya, kebiasaannya, budayanya, metoda pembelajarannya, konten pelajarannya. Nyaris tidak berubah. Tidak bisa berubah atau tidak mau berubah?
Namun jika film ini diharapkan sebagai ‘iklan’ untuk menarik para orangtua (terutama lapisan menengah atas di perkotaan), untuk membelajarkan anak-anaknya di pesantren, kecil kemungkinan ekspektasi itu terpenuhi. Persepsi para orangtua lapis menengah atas tentang pendidikan sudah demikian kompleks.
Bagaimanapun, gambaran ideal tentang sistem pendidikan yang mereka inginkan, antara lain didukung oleh fasilitas. Bahwa sudah ada beberapa pesantren yang gedung, fasilitas, dan lain-lainnya sudah bagus, bahkan sangat bagus, ... iya. Tapi mahalnya naudzubillahi min dzalik.
Tapi gak apa-apa, jika film ini ditonton oleh para pengusaha berhati berlian, maka bisa saja film ini menjadi kuntjji pembuka gerbang perubahan pesantren secara keseluruhan menjadi lembaga pendidikan yang modern, maju, tapi biayanya jerjangkau. Ingat, saat ini ada sekitar 25 ribu pesantren di Indonesia.
Seusai pemutaran film ini saya berbincang dengan KH Hussein Muhammad. Ada tiga poin yang saya sampaikan. Pertama, jika dibandingkan dengan asrama-asrama bagi pelajar Katholik atau Kristen, kok pesantren jadi terlihat kumuh, tidak rapi, kurang sehat.
Apa tidak bisa para pengurus pesantren belajar dari para pengurus asrama-asrama Katholik? Oke, mengenai kualitas bangunan, skip dulu. Ini penting untuk membangun kedisiplinan dan karakter para santri.
Kedua, setiap tahun media memberitakan tentang siswa-siswa dengan NEM terbaik tingkat SMP, SMA. Sekolah terbaik tingkat SMA. Lebih dari 50% berasal dari sekolah-sekolah Katholik dan Kristen. Sementara dari sekolah Islam atau pesantren, amat sangat jarang sekali. Kenapa kita (entitas pesantren) tidak belajar dari mereka, ‘resepnya’ apa?
Atau ... sering juga diberitakan, Tim Indonesia sukses di ajang Olimpiade Fisika atau Matematika. Maaf, para siswa yang membanggakan itu, yang mengibarkan Merah Putih di arena bergengsi itu, pun sebagian besar dari sekolah-sekolah Katholik atau Kristen.
Mana yang dari pesantren? Pak Kyai menatap saya, tangannya menepuk-nepuk pundak saya. “Itulah yang saya pikirkan selama ini. Kita punya pikiran yang sama. Kita harus mulai ke sana.”
Ketiga, dalam 10 atau 20 tahun mendatang, anak-anak yang sekarang duduk di sekolah setingkat SMP dan SMA akan menjadi mesin utama ‘kemajuan’ Indonesia. Sebagian dari mereka belajar di pesantren seperti yang kita lihat di film itu.
Jauh di sana, di China, Taiwan, Korea, Singapura, ada jutaan siswa yang juga sedang belajar dengan metoda, fasilitas, peralatan, yang sangat modern. Tujuannya sama, untuk memenangi masa depan.
“Menurut Pak Kyai, apakah anak-anak kita, terutama yang sekarang belajar di pesantren, akan bisa bersaing dengan mereka?” Kali ini Kyai memegang tangan saya. “Kita harus berubah.” Terus kami bertukar nomor kontak. Cepetan nonton ‘Pesantren’. Kata Lola, tayangnya gak lama.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews