Etika Mendengarkan Audio-visual

Ide tak pernah didapat dari monolog, karena monolog itu sangat subyektif. Ide ataupun inspirasi, selalu berasal dari dialog.

Jumat, 6 Agustus 2021 | 07:17 WIB
0
262
Etika Mendengarkan Audio-visual
Goenawan Mohamad (Foto: Malela.org)

Kadang-kadang etika mendengarkan audio-video di ruang publik itu harus ditata ulang. Atau mungkin sebenarnya sudah ada, hanya belum banyak yang paham. Atau mungkin juga sudah paham, tapi belum sampai level mengkristalisasi dalam diri. Busyet, kenapa bahasa saya serupa Penataran P4.

Kejadian yang saya alami ini terus berulang. Kapan saja di mana saja. Di rumah, penyewa warung depan rumah selalu memutar lagu-lagu kesukaannya di atas ambang normal mendengarkan musik. Entah ia sadar atau tidak, musik yang diputar terlalu keras dan sering kali mengganggu produktivitas orang lain.

Bukan tidak sering pula saya mendapati orang memutar video di ruang publik dalam volume yang mengganggu. Terlepas dari content video yang diputar, video tanpa content SARA sekalipun, tetap akan cukup mengganggu bagi orang lain. Dan yang saya heran, apa mereka tidak takut dikira pelit tak mau beli headset?

Tetapi bisa jadi saya sangat subyektif. Apa yang terasa mengganggu buat saya bisa jadi justru pemeriah suasana bagi orang lain. Tanpa suara-suara keras ini, dunia terasa tak hidup.

Saya mungkin pemuja keheningan. Tak suka suasana terlalu riuh. Meski saya menyuka mengobrol dengan teman-teman, tapi saya suka bila suasanya tenang. Tanpa kami berbicara berapi-api. Terasa lebih intim, saling mendengar, dan lebih bisa bicara dari hati ke hati. Mungkin saya terpengaruh apa yang dikatakan Simon and Garfunkel: people hearing without listening, people talking without speaking...

Saya juga terpengaruh GM saat ia mengutip kata-kata Ronggowarsito: weninging ati kang suwung ning sejatine isi...
GM saat itu bercerita bagaimana proses kreatifnya menulis puisi dimulai. Kondisi 'suwung' itu jarang ia dapati saat sibuk bekerja. Membuatnya jarang mencipta puisi.

Beberapa hari lalu, untuk memperingati ulang tahunnya ke 80, GM mengadakan pameran lukisan. Saya sempat menonton wawancara GM tentang proses kreatifnya melukis di usia senja itu. Dan lagi-lagi saya terinspirasi pada kata-katanya.

Menurut GM, ide tak pernah didapat dari monolog, karena monolog itu sangat subyektif. Ide ataupun inspirasi, selalu berasal dari dialog, baik dengan orang lain, ataupun bagian lain dari diri kita yang kita ajak bicara. Semua dialog itu akan diabstraksikan sebagai ide.

"Orang yang sibuk dengan dirinya tak akan pernah mendapatkan inspirasi," kata GM. "Sedangkan orang yang membiarkan dirinya berinteraksi dengan dunia, atau hal lainnya, akan mendapat inspirasi."

Saya kira GM benar sekali. Menguasai ruang publik dengan memutar audio-video seenak kita sendiri termasuk bentuk sibuk dengan diri sendiri. Mereka tak akan menjadi inspiratif karenanya. Menjengkelkan iya.

Saya kemudian tertawa, bisa jadi kecaman saya ini sangat subyektif. Saya terlalu sibuk dengan diri saya sendiri....

#vkd