Apabila mereka meninggal, kesembronoan kita adalah penyebab mereka meninggal, secara tidak langsung kita ‘membunuh’ mereka.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini pun Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kita kesempatan untuk berjumpa dengan bulan Ramadan. Semoga Allah berikan pada kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, dan berjumpa lagi di tahun-tahun berikutnya.
Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.
Ada saja sekelompok manusia bebal yang tidak mau mematuhi ulil amri/pemerintahnya. Pemerintah telah menganjurkan untuk bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah, sementara sekelompok manusia ini masih saja ngotot menyelenggarakan ibadah ramai-ramai di tempat umum. Sebagian mereka sangat ekstrem hingga mengabaikan pentingnya menjaga jarak.
“Ngapain takut sama corona? Takut itu sama Allah! Kena atau tidak kena itu Allah yang tentukan!” kurang lebih begitulah ucap mereka ketika diingatkan.
Sebelumnya, kita harus membedakan konteks ‘takut pada corona’ dan ‘takut pada Allah’. Takut pada Allah, konteksnya adalah bahwa kita meyakini kebesaran dan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga kita akan senantiasa mematuhi perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Sedangkan, takut pada corona konteksnya lebih kepada kita mewaspadai akan bahaya virus corona apabila menginfeksi tubuh kita, sehingga kita berusaha menurunkan risiko terinfeksi virus corona melalui berbagai cara seperti PHBS, social distancing, dan tidak ke mana-mana kecuali memang perlu.
Ketika kita dengan sembrono menggelar ibadah ramai-ramai dengan dalih ‘tidak takut corona tetapi takut Allah’, secara tidak sadar sebenarnya kita tidak sedang takut kepada Allah. Kita sedang menantang kekuasaan-Nya (nauzubillahi min zalik) dengan melakukan demikian. Kok bisa?
Tertular atau tidak adalah perkara yang bisa kita usahakan dengan ikhtiar. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu mengubah nasibnya sendiri. Kita menghadapi kondisi pandemi, di mana kita semua rentan akan terkena COVID-19. Dengan demikian kita berikhtiar melalui #DiRumahAja untuk menurunkan risiko kita terinfeksi.
Seandainya kita ngotot melakukan ibadah secara beramai-ramai, maka kita meningkatkan risiko tertular. Sekalinya kita tertular corona, dan mengalami gejala yang berat, tentu kita harus masuk rumah sakit. Ibadah kita, yang merupakan bentuk ketaatan dan ketakutan kita pada Allah, akan lebih sulit dilakukan. Seharusnya kita bisa salat berjamaah dengan keluarga, jadi harus sendirian di ruang isolasi tanpa teman. Seharusnya kita bisa berpuasa, jadi tidak bisa karena sakit.
Iya kalau kita yang masih muda, sehat, yang kena, kemungkinan sembuh lebih tinggi. Bagaimana kalau yang kena adalah kyai kita yang sudah sepuh, atau jamaah yang punya penyakit kronis lainnya? Apabila mereka sakit, dan pengobatannya berbiaya tinggi, kita secara tidak langsung ‘merampok’ mereka.
Apabila mereka meninggal, kesembronoan kita adalah penyebab mereka meninggal, secara tidak langsung kita ‘membunuh’ mereka. Seolah-olah kita jadi berbuat dosa, yang mana berbuat dosa ini menunjukkan bahwa kita sedang ‘menantang’ Allah Subhanahu Wa Taala.
Maka dari itu, mari kita melakukan ibadah-ibadah bulan Ramadan kita kali ini di rumah saja. Kita jaga diri kita, keluarga kita, dari virus corona supaya kita tetap bisa melaksanakan ibadah dengan baik. Ketundukan kita akan perintah Allah, membuat kita mematuhi anjuran ulil amri, agar kita tidak melakukan hal-hal yang dilarang-Nya.
Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews