Konteks kultur sapeurs ini adalah hidup bergaya parlente sebagai kanal ekspresi estetika diri.
FENOMENA berpenampilan parlente dalam keseharian sangat menonjol dalam kultur masyarakat di Afrika. Salah satunya bisa ditemukan di Kongo. Khususnya di kota kembar Brazzaville dan Kinshasa.
MEREKA disebut sebagai komunitas SAPE (Society of Ambience Makers & Elegant People). Orang-orangnya disebut Sapeurs. Kredonya adalah berpakaian parlente (elegant) setiap hari demi melupakan segala kepelikan hidup.
PADAHAL, sehari-harinya mereka adalah masyarakat kere. Level ekonominya sudra. Tradisi bergaya parlente ini bukanlah "flexing". Karena, aslinya mereka beneran miskin banget. Berbeda dengan "crazy rich" di Indonesia yang beneran tajir melintir.
JIKA fenomena "crazy rich" Indonesia motif perilaku pamer itu untuk memancing rasa jengkel orang lain, para sapeurs berbeda. Mereka tampil mewah justru untuk menghibur publik. Prinsipnya kedamaian, keindahan dan kegembiraan untuk semua orang.
PAKAIAN dan aksesoris "branded" yang supermahal menjadi ciri mereka.
Setelan Versace, Dolce Gabbana, John Foster, Yves Saint Laurent, Jean Basinga atau Yohji Yamamoto adalah wajib. Belanja fesyennya bisa ngabisin sekitar $ 6.000-$ 8.000 dolar AS. Biar miskin, yang penting gaya.
MEREKA wira-wiri dikawasan hunian kumuh. Bahkan di pasar. Tampil memakai jas, topi, sepatu kulit, kacamata item, syal, tongkat hingga payung. Mereka tampil obsesif bagai pria kelas atas Eropa. Secara, Republik Demokratik Kongo adalah bekas koloni Perancis.
JADI, konteks kultur sapeurs ini adalah hidup bergaya parlente sebagai kanal ekspresi estetika diri. Meskipun ekonomi sehari-harinya teruk. Di manapun beredar, penampilan mereka selalu direspek dan diapresiasi publik.
Pokoknya selalu necis, meski saldo tipis..... hihihi
***
.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews