Crazy Poor, Fenomena Sapeurs

Konteks kultur sapeurs ini adalah hidup bergaya parlente sebagai kanal ekspresi estetika diri.

Senin, 4 April 2022 | 05:20 WIB
0
171
Crazy Poor, Fenomena Sapeurs
Crazy Poor Afrika (Foto: Facebook/Sabar Situmorang)

FENOMENA berpenampilan parlente dalam keseharian sangat menonjol dalam kultur masyarakat di Afrika. Salah satunya bisa ditemukan di Kongo. Khususnya di kota kembar Brazzaville dan Kinshasa.

MEREKA disebut sebagai komunitas SAPE (Society of Ambience Makers & Elegant People). Orang-orangnya disebut Sapeurs. Kredonya adalah berpakaian parlente (elegant) setiap hari demi melupakan segala kepelikan hidup.

PADAHAL, sehari-harinya mereka adalah masyarakat kere. Level ekonominya sudra. Tradisi bergaya parlente ini bukanlah "flexing". Karena, aslinya mereka beneran miskin banget. Berbeda dengan "crazy rich" di Indonesia yang beneran tajir melintir.

JIKA fenomena "crazy rich" Indonesia motif perilaku pamer itu untuk memancing rasa jengkel orang lain, para sapeurs berbeda. Mereka tampil mewah justru untuk menghibur publik. Prinsipnya kedamaian, keindahan dan kegembiraan untuk semua orang.

PAKAIAN dan aksesoris "branded" yang supermahal menjadi ciri mereka.

Setelan Versace, Dolce Gabbana, John Foster, Yves Saint Laurent, Jean Basinga atau Yohji Yamamoto adalah wajib. Belanja fesyennya bisa ngabisin sekitar $ 6.000-$ 8.000 dolar AS. Biar miskin, yang penting gaya.

MEREKA wira-wiri dikawasan hunian kumuh. Bahkan di pasar. Tampil memakai jas, topi, sepatu kulit, kacamata item, syal, tongkat hingga payung. Mereka tampil obsesif bagai pria kelas atas Eropa. Secara, Republik Demokratik Kongo adalah bekas koloni Perancis.

JADI, konteks kultur sapeurs ini adalah hidup bergaya parlente sebagai kanal ekspresi estetika diri. Meskipun ekonomi sehari-harinya teruk. Di manapun beredar, penampilan mereka selalu direspek dan diapresiasi publik.

Pokoknya selalu necis, meski saldo tipis..... hihihi

***

.