Fashion Show di Panggung Ludruk

Dengan pakaian awul-awul, Roy, Bonge, Jeje dan temen-temennya, jadi popular dan di-follow ratusan ribu orang, serta rejeki mengalir pada mereka. Bahkan ditumpangi dua gubernur dan para pesohor yang rebutan ndaftarin hak merek CFW.

Senin, 25 Juli 2022 | 06:31 WIB
0
217
Fashion Show di Panggung Ludruk
Ludruk (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Sebelum sajian utamanya, kesenian ludruk kelilingan di Jawa Timur, membuka pertunjukan sekitar jam 21.00 hingga 24.00 dengan aneka pertunjukan. Pertunjukan ludruknya, baru akan dimainkan selewat tengah malam. Ragam pertunjukan yang disajikan, seperti akrobat, sulap, main ular, nyanyi, ada juga fashion show. Fashion show?

Saya ceritakan dulu, sebelum nyinyir soal fashion show di panggung ludruk. Sebulan saya di kawasan Surabaya, Krian, Gresik, Mojokerto, Njombang, untuk ‘tugas negara’ dari tempat kerja saya di Indosiar, jaman dulu kala tahun 1996.

Saya dan BE Raisuli, ditugaskan menonton-nonton kesenian tradisional Jawa Timur itu. Juga mengikuti pentas kelilingan Cak Sidik, Cak Kartolo, Kirun yang laris manis tanjung kimpul. Tapi tidak demikian dengan grup-grup ludruk kelilingan, bahkan juga beberapa kali menonton Srimulat di THR Surabaya, jumlah awak panggung dan pengrawitnya jauh lebih banyak dari jumlah penonton.

Kembali ke soal fashion show, yang pertama kali waktu itu saya tunggu dengan berdebar. Kayak apa? Ya’ angpao, para artis ludruk, yang sesungguhnya berjenis kelamin lelaki itu, berlenggang kayak para peragawati dalam sebuah fashion show beneran. Saya menyebut peragawati, karena pakaian yang dipamerkan tentunya pakaian untuk kaum perempuan.

Para pemain ludruk kebanyakan lelaki lembeng, yang masyarakat umum menyebutkan banci, wadam, atau waria. Di Pasar Krian, saya ketemu pemain ludruk yang jual barang rosok. Di Krian punya suami, tapi di Madiun asalnya, ia punya isteri dan anak yang sudah SMA.

Yang bernama fashion show tadi, memang model pakaiannya sebagaimana fashion show pada lumrahnya. Gaun perempuan yang anggun, sexy, high-class. Tapi masa’ awoh, kondisi pakaiannya sudah mbladhus, bluwek, buram, kucel. Karena kata mereka di beli di rombengan (mungkin seperti awal-awul jaman sekarang). Pakaian bekas sebekas-bekasnya. Duh, kedah-kedahnya.

Itu maksud mereka sebagai bagian dari daya tarik pada masyarakat, agar datang membeli tiket dan menonton. Dan hasilnya tetap sepi.

Panggung-panggung ludruk tobongan atau kelilingan itu berada di masa senjanya, meski ludruk garingan (lawak) model Cak Sidik dan Cak Kartolo, juga Kirun, justeru naik daun untuk dengan 2-4 pemain saja. Kami sempat mengikuti Cak Kartolo dalam semalam main di tiga tempat, dengan hanya 4 pemain saja, satu diantaranya Ning Tini isterinya.

Saya kurang tahu bagaimana nasib seni ludruk kelilingan sekarang ini, seperempat abad kemudian. Tapi begitulah perubahan. Kadang memakan korban, kadang menaiktahtakan lain kasta.

Dengan pakaian awul-awul, Roy, Bonge, Jeje dan temen-temennya, jadi popular dan di-follow ratusan ribu orang, serta rejeki mengalir pada mereka. Bahkan ditumpangi dua gubernur dan para pesohor yang rebutan ndaftarin hak merek CFW, meski anak-anak itu justeru akan tersingkir dari singgasana yang dibuatnya.

Oh, ya, mbalik soal ludruk, ada dua tempat favorit tobong ludruk. Jika tidak dekat kuburan pasti dekat lokalisasi pelacuran. Untuk pilihan pertama, karena sulitnya mendapat lahan. Sedang yang kedua, karena ‘aktivitas sosial’ berlangsung hingga malam.

Dan konon pacaran di dalam tobong ludruk itu asyik. Yang biasanya ngajak pacaran (ini menurut keterangan Cak Rawi yang lebih suka dipanggil Ning), para lelaki pejajan di lokalisasi itu, sebelum berkencan. Sekarang ludruknya pindah di Citayam. Sialnya, Cak Rawi tidak ketemu Baim Wong.

Sunardian Wirodono