Sketsa Harian [29] Membeli Ketenangan

Kalau tujuannya mencari ketenangan batin, ya seharusnya tidak usah repot-repot dicari, wong sudah ada pada diri sendiri. Tinggal bagaimana menatanya, bukan?

Kamis, 21 November 2019 | 07:12 WIB
0
561
Sketsa Harian [29] Membeli Ketenangan
Hotel Padma, Ubud (Foto: Dok. pribadi)

Saya berada di Padma, sebuah hotel bintang lima yang menyembul dari perbukitan di Ubud, Bali. Suasana gunung dan pedesaan di mana di depan sawah terhampar bak permadani, gunung biru menjadi bentengnya dan pepohoman menjadi payungnya. Indah dan tenang bukan kepalang.

Tetapi, bagi saya yang biasa hidup di kampung di kaki pegunungan, pemandangan ini sudah biasa, ga aneh lagi, lha wong tempat istirahat saya di Ciawi Tasikmalaya adanya di bibir sawah dan menghadap hamparan daun padi menghijau di depannya.

Di Ubud, khususnya oleh pengelola Padma, pemandangan dan keindahan alam seperti ini dijual mahal. Jangan heran kalau untuk ngiler semalam saja kamu harus merogoh kocek dalam-dalam dan mengeluarkan sekitar Rp4 juta. Saya baru sadar, ini bukan buat saya, tetapi buat pelancong lainnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Mereka yang membeli ketenangan.

Ubud adalah "beyond" bagi para pelancong. Kalau Kuta atau Seminyak "basic" bagi para pelancong, Ubud dan khususnya Padma, adalah "advance". Mereka yang berkantong tebal saja yang lari ke sini. Sementara karena diminta mengajar menulis artikel, saya mendapat fasilitas yang tidak bisa saya tolak ini. Alhamdulillah...

Karyawan hotel di setting untuk ramah-ramah, tetapi sebagaimana orang Bali pada umumnya, keramah-tamahan mereka alami, ga dibuat-buat, "Bagaimana menurut Bapak suasana di sini?" seorang pegawai hotel di restoran bertanya dan saya jawab, "Oh bagus, setidaknya beda dengan suasana pantai Kuta atau Nusa Dua."

Ketenangan, tranquililty, ternyata ada harganya. Bahkan mahal. Orang mencari ketenangan dengan berbagai cara. Ada yang mencari ketenangan dengan cara mematikan, yaitu dengan mengisap marijuana atau lintingan ganja. Juga menenggak minuman memabukkan.

Ada yang pergi ke atas bukit dan bermenung diri di sana seperti petapa zaman cerita lama. Di laut juga tenang, tapi deru ombak kadang mengganggu. Suasana desa yang alami menjadi tujuan. Gemercik aliran sungai tak sesangar deburan ombak. Pun semilir anginnya. Kadang beradunya batang-batang bambu tertiup angin menjadi waditra tersendiri, meski kadang bikin bulu kuduk merinding.

Saya datang dari desa dan kampung yang tenang, kemudian karena tuntutan hidup harus kesepian di tengah keramaian kota. Saya menjadi debu di sana.

Tetapi kekayaan berharga yang saya miliki saat ini tetaplah ketenangan. Jika ingin ketenangan fisik, ya tinggal beristirahat ke kampung. Ketenangan tak perlu dibeli dengan mahal, seperti kalau saya berada di Ubud ini.

Kalau tujuannya mencari ketenangan batin, ya seharusnya tidak usah repot-repot dicari, wong sudah ada pada diri sendiri. Tinggal bagaimana menatanya, bukan?

Konon kata orang bijak, ada ketenangan yang jauh lebih murah, tidak usah dibeli, dan tenangnya tiada tara.

Kematian.

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [28] Harga Diri Gratisan