Cerpen Esai: Lebaran Online

Lebaran nanti, saya niatkan. Saya akan lebaran online dengan dirimu, Eko. Tapi bukan lewat video call. Bukan lewat Zoom Meeting.

Rabu, 22 April 2020 | 21:19 WIB
0
392
Cerpen Esai: Lebaran Online
Ilustrasi Zoom (Foto: Kompas.com)

Tragis. Sangat memilukan. Tak terbayangkan. Entah apa lagi kata paling tepat menggambar kisah ini. Kisah sahabatku sendiri, Eko.

Hari itu saya datang ke rumah kakaknya, tempat Eko tinggal. Saya hadir dalam acara tahilan 3 hari atas wafatnya Eko. Sekaligus 5 hari atas wafat Ibunya. Keduanya wafat karena terkena virus corona, dan dimakamkan di tempat mereka wafat, Wonosobo.

“Maafkan Eko, ya Dik. Jika ia ada salah.” Kakak lelakinya berulang ucapkan itu sambil memelukku. Sang kakak sangat tahu aku sahabat kental Eko. Kukira mungkin tak ada kisah pribadi Eko, yang tak ia ceritakan padaku.

Saya orang teguh. Saya kuat. Saya jarang menangis. Tapi di pelukan Sang kakak, saya menangis sejadinya. Terisak. “Ampun, ya Allah. Kok bisa begini ujungnya!"

Baik jasad Eko, ataupun ibunya, yang lebih dahulu wafat, sempat ditolak warga. Mereka tak bisa dimakamkan di tempat umum biasa. Entah mengapa, masyarakat percaya, mayat itu walau sudah ditanam di tanah, masih bisa menularkan. Bahkan ada yang percaya mayat yang mati karena virus corona membawa petaka yang lebih besar di desa.

Ampun! Jasad Ibu Eko, juga Eko ditolak oleh para tetangganya sendiri. Untung kepala desa di Wonosobo menyediakan lahan miliknya pribadi. Tanah seluas 1785 meter, ia hibahkan. Ujarnya, “silakan, siapapun warga sini yang terkena Covid-19, jika ditolak warga, makamkan di sini saja!” (2)

Eko sudah lima belas tahun meninggalkan Wonosobo. Ia tinggal bersama kakaknya di Jakarta. Rumah kakaknya hanya berjarak mungkin 50 meter dari rumahku.

Usia Eko, hanya beda 2 tahun lebih muda dariku: 33 tahun. Ia belum menikah. Ibunya 68 tahun. Dari kakaknya yang aku dengar, Eko terlebih dahulu terkena virus corona. Eko menularkan virus itu kepada ibunya ketika ia pulang kampung.

-000-

Sepulang dari tahlilan, saya duduk sendiri di beranda. Di sini, baik sore atau tengah malam, Eko sering bertandang.

Saya pun teringat berbagai momen bersama Eko. Jam 2.00 dini hari, saya tak bisa tidur. Selalu terbayang Eko. Di beranda ini, sendiri, sambil minum kopi, saya ingat-ingat momen itu.

Namaku Darta. Tapi Eko selalu memanggilku dengan singkatan Bro. Keren katanya! “Bro, Brother. Seperti orang-orang bule. Saya biarkan saja ia memanggil senyamannya.

Sebulan sebelum kematiannya, di beranda ini, Eko bercerita. “Bro, aku mimpi agak aneh belakangan ini. Semua berhubungan dengan ibuku. Kemarin malam, aku mimpi, ibuku duduk sendirian di bulan.”

“Di bulan?" tanya saya. “Ya, bro. Lama aku merenung. Apa arti ibuku duduk sendirian di bulan. Aku menduga ajal ibuku akan tiba, bro. Tak lama lagi.

Eko terus bercerita panjang lebar soal ibunya. Betapa ibu begitu menyayanginya. Betapa Eko juga begitu mencintai ibunya. Sambil ditahan-tahan, air mata Eko menetes juga.

Kubesarkan hatinya. “Ko, itu hanya tafsir. Bulan kan bisa ditafsir apa saja. Kamu kok milih menafsir kematian.”

Bukannya mereda, Eko malah menangis menjadi-jadi. “Aku harus pulang, bro." Ujarnya. "Ini kesempatanku terakhir memeluk Ibu.”

“Eko, ini kan bukan zaman normal. Jakarta tempat kita tinggal ini episenter virus corona. Malah nanti dirimu menularkan ke ibu virus itu.” Eko cepat menjawab, “Aku bersih, bro. Tak ada virus.”

“Tahu dari mana dirimu tak membawa virus?” Tanyaku. “Lihatlah! Tak ada gejala sama sekali. Aku tidak sesak nafas. Tidak panas. Tidak bersin.” Ujar Eko.

“Kan belum tentu itu, Ko. Sekarang dirimu tak ada gejala. Mungkin karena imunitasmu kuat. Tapi siapa tahu ia sudah masuk ke dalam selmu. Apalagi di jalan dari Jakarta ke Wonosobo jauh. Bisa jadi dirimu mendapatkan virus itu di jalan.”

Itulah percakapan saya terakhir dengan Eko. Keesok harinya saya tak berjumpa Eko lagi. Kata Kakaknya, “kami juga melarang Eko pulang. Tapi kata Eko, ibu sering datang dalam mimpinya. Seperti ibu memanggil.”

"Tadi pagi ketika kami bangun, Eko sudah pergi. Agaknya subuh sekali ia meninggalkan rumah. Karena kami larang pulang, ia diam diam pergi ketika kami masih tidur." Ujar sang Kakak.

-000-

Di beranda ini, lama saya terdiam. Mencoba menafsir apa yang membuat Eko belakangan ini sering mimpi aneh. Semua terkait Ibunya.

Saya menduga, penyebabnya kesulitan ekonomi. Selama ini Eko sejahtera. Ia mempunyai tiga motor. Ketiga-tiganya ia operasikan ikut Gojek. Ia membawa motornya sendiri. Dua motor lain, dibawa temannya ngojek juga. Mereka berbagi keuntungan hasil dua motor lain.

Tapi sejak virus corona merebak, rejeki sangat anjlok. Apalagi sejak meluas berita, ada serdadu gojek terkena virus itu. Apalagi ada respon resmi dari perusahaan Gojek bahwa ada awaknya yang terkena (3).

Padahal itu kasus di Batam. Tapi hal ini keburu viral. Masyarakat tak melihat Batam atau daerah apapun. Di kepala mereka: Gojek tak aman! Pesan makanan atau anter barang pakai jasa gojek, bisa tertular virus!

Di beranda ini juga Eko bercerita. Dua minggu sudah penghasilannya anjlok. “Efek virus sudah ke perut, bro! Kita susah cari makan.”

Eko sempat berencana menjual ketiga motornya. "Mungkin di era virus, kita lebih nyaman tinggal di kampung ya, bro.”

Namun bukan hanya kesulitan ekonomi. Eko juga terganggu ritus agamanya. Ia penganut Islam yang taat. Sedangkan saya cukup liberal soal agama. Perkara agama, kami sepakat untuk tidak sepakat.

Saya ingat Eko begitu menyesal. “Sudah tiga kali shalat jumat, saya absen, bro. Bukan saya tak mau, tapi masjid tidak selenggarakan shalat Jumat. (4). Ampun bro, saya jadi orang kafir.”

Ujarnya lagi, “Bro, ini zaman sudah kebalik-balik. Kita kok lebih takut dengan virus ketimbang dengan Allah. Tiga kali tak shalat jumat berturut-turut, itu sama dengan berbuat maksiat, bro!”

Saya tertawa. Eko marah melihat saya ketawa. “Eko, itu kan aturan di zaman normal. Ini kan era pandemik. Zaman tak normal. Malaikat pasti mengerti lah.”

Eko pernah pula marah. Gerakan shalat subuh berjemaah ditiadakan. Ujarnya bersemangat: "saya termasuk pelopor gerakan sholat ke mesjid. Itu dahsyat bro. Umat bisa bangkit.”

Eko sendiri pernah 40 hari berturut-turut tak absen shalat subuh di mesjid. Ia pun dihormati oleh kelompoknya. Tapi sholat di mesjid pun tidak dianjurkan. (5) ujar Eko: “Ulama pelat merah yang pro pemerintah ramai ramai menganjur shalat di rumah.”

Tapi soal ritus agama, Eko pun pernah kena getahnya. Ia dikarantina 2 minggu di mesjid. Tak boleh keluar. Di dalam mesjid itu ada 300 jemaah. Diantaranya 78 WNA. (6)

Penyebab awal ada jemaah yang terkabar positif terkena virus corona. Seluruh jemaah tabligh akbar dikarantina.

-000-

Lama saya merenung soal Eko. Mimpi buruk dan aneh yang ia alami sangat mungkin endapan kekecewaan di dunia nyata. Covid-19, membuat ekonominya sulit. Ritus agama yang sangat ia sukai dan patuhi juga dilarang.

Ibu menjadi penyembuh luka. Ibu sangat menyayangi. Itu mengimbangi dunia nyata Eko yang baginya sangat kejam.

Tapi kok ia nekad pulang kampung, yang membahayakan Ibunya.

Saya teringat ketika bercakap soal lebaran. “Sudahlah Eko. Sesekali kamu tak usah mudik. Lebaran di sini saja. Lebaran Online. Kan keren. Ini tak akan pernah kamu alami lagi seumur hidup. Itu PBNU juga mendukung lebaran online (7).”

“Bro, tak ada ceritanya lebaran online. Bagaimana bisa online? Kamu tak bisa sungkem ke ibumu secara online. Harus kamu sentuh tangan ibu. Kamu cium. Rasakan getarannya. Itu tak bisa online.”

Gambar dan percakapan dengan Eko datang silih berganti. Tak terasa. Hari sudah subuh. Menetes air mata saya. Terlalu cepat dirimu pergi Eko!

Lebaran nanti, saya niatkan. Saya akan lebaran online dengan dirimu, Eko. Tapi bukan lewat video call. Bukan lewat Zoom Meeting.

Lebaran online-ku, online lewat doa.”

Bayangan Eko terus datang. Air mata terus menetes.*

April 2020

Denny JA.

Catatan

1. Catatan kaki dalam cerpen esai sangat utama. Pokok cerita justru dimulai oleh kisah sebenarnya yang ada di catatan kali. Teks cerpen di atas catatan kaki itu berperan sekunder, sebagai penajam. Fiksionalisasi atau dramatisasi dilakukan agar kisah sebenarnya lebih menyentuh.
2. Awal cerpen esai ini berangkat dari sebuah kisah: mayat penderita covid-19 ditolak warga untuk dimakamkan di wilayah mereka.
3. Gojek mengakui ada awaknya terkena virus corona. Isu ini menjadi viral dan membuat pengguna jasa gojek anjlok
4. Berbagai mesjid besar Indonesia resmi tak menyelenggarakan sholat jumat. Tapi itu dibenarkan dalil agama
5. Pembatasan sosial berskala besar juga tidak kondusif bagi gerakan subuh berjemaah
6. Kasus satu mesjid dikarantina
7. PBNU mulai mewacanakan Lebaran Online

***