Asal Muasal Kompas [33] Kasus Sriwijaya Post

Kompas selalu menjaga kekompakan di dalam karena sadar, penggerogotan dari dalam itu yang bisa menggoyahkannya.

Selasa, 2 Maret 2021 | 06:41 WIB
0
380
Asal Muasal Kompas [33] Kasus Sriwijaya Post
Sriwijaya Post (Foto: blogger.com)

Selama menjadi direktur kelompok Pers Daerah, tahun 1992-1996, saya menghadapi sebuah konflik besar  dan sebuah kesuksesan. Konflik besar terjadi ketika menghadapi kasus Sriwijaya Post tahun 1995-96 dan kesuksesan saya raih ketika mendesain dan kemudian mengadakan kerjasama dengan Banjarmasin Post.

Pada tahun 1988 Kompas bekerjasama dengan Harian Sriwijaya Post, Palembang, sebuah koran daerah yang terbit  tahun 1997 milik H, Soleh Thamrin. Koran yang semua terbit beberapa hari sekali ini, setelah bekerjasama bisa terbit sebagai harian dengan oplah yang semakin besar. Secara bisnis cepat berkembang namun di dalam pengelolaan selalu ada konflik antara pengelola dengan pemegang SIUPP.

Sriwijaya Post yang pengelolaan redaksionalnya meniru Kompas, di mana kebenaran yang ditonjolkan, tidak bisa dengan mudah diterima oleh para penguasa daerah yang biasa “memelihara” wartawan di daerahnya. Bisa ditebak, beberapa kali terjadi konflik dengan Gubernur Sumsel dan para aparat daerahnya hingga ke ranah pengadilan. Saat itu Soleh Thamrin selaku orang daerah dinilai tidak bisa menjembatani konflik berkepanjangan tersebut sehingga Persda mencari alternatif lain.

Pada tahun 1995 masuklah H. Fauzi Ahmad, tokoh Sumsel yang diharapkan lebih bisa mengatasi masalah ini. Saat itu Sriwijaya Post sudah menjadi “musuh” Gubernur Sumsel Hasan Basri yang tidak biasa dikritik. Fauzi pun menjadi Pemimpin Umum mengambil alih jabatan Soleh Thamrin dengan harapan bisa menghadapi gubernur. Ia mengambil beberapa persen saham Sripo.

Badai bermula ketika Fauzi mulai membuat kebijakan redaksi di Sripo yang membuat kewenangan Pjs Pemred Pramono BS terbatasi. Tulisan-tulisan Fauzi terbit tanpa bisa dihalangi Pramono sehingga muncullah konflik di antara mereka yang kemudian merambah ke anak buahnya. Untuk meredam konflik ini maka saya selaku direktur utama PT Sriwijaya Post ketika itu, mengganti Pramono dengan H. Hendrowijono, wartawan Kompas.

Saat itu Gubernur Sumsel Hasan Basri sangat bernafsu untuk menghabisi Sripo bahkan hingga membawanya ke pengadilan. Walaupun dalam semua tingkat pengadilan kami menang namun usaha itu tidak pernah susut.

Atas saran Pak Jakob maka saya pun mengundurkan diri dari  jabatan direktur utama, digantikan Ansel da Lopez, wartawan istana yang bisa dikatakan dekat dengan Siti Hardijanti Rukmana (Tutut Soeharto). Kebijakan ini diambil karena Gubernur Hasan Basri selalu merapat ke sana bahkan minta agar SIUPP Sripo dicabut.

Penggantian Pramono dengan Hendro, saya dengan Ansel, rupanya tidak menyelesaikan masalah. Konflik internal terus berlarut, Fauzi menuntut perlakukan sesuai jabatannya, pemimpin umum yang tidak bisa diterima oleh direksi.

Akhirnya pada tanggal 1 Oktober 1995  direksi baru menonaktifkan PU Fauzi Ahmad dan itu dimuat di koran, serta mengubah struktur personalia di redaksi. Konflik terbuka pun pecah. Fauzi tidak bisa menerima  keputusan direksi, ia membentuk kelompok untuk menghalang-halangi penerbitan Sripo dan berusaha menerbitkan koran sendiri. Ia merasa masih berhak menjadi PU Sripo berdasarkan SIUPP Deppen.

Konflik ini sungguh serius, melibatkan banyak orang dan menjurus ke adu fisik. Teror lewat telepon dan fax baik di kantor maupun di rumah terus berdatangan, berlangsung berkepanjangan. Akhirnya menjadi sangat serius mulai awal Januari 1996 hingga puncaknya tanggal 11,12,13 dan 14 di mana konflik fisik sempat terjadi. Akhirnya kami menghentikan sementara penerbitan Sriwijaya Post per 15 Januari yang berbuntut dengan perkara di pengadilan.

Konflik ini selesai manakala Valens Doy menjembataninya dan Fauzi Ahmad menjual kembali sahamnya ke KG, tentu saja dengan “harga perdamaian”. Sripo terbit kembali tanggal 9 Juni 1997 setelah 1 tahun 4 bulan berhenti terbit. Kali ini jabatan PU dipegang J. Soetardjo dari Persda.

Kasus ini sungguh memakan dana dan tenaga yang bukan alang kepalang. Selama tidak terbit, Persda tetap menggaji karyawan Sripo, terkecuali kepada mereka yang kemudian mengundurkan diri karena kasus tak kunjung selesai.  Mereka kemudian berpindah ke media lain dan umumnya mencapai kesuksesan dalam karirnya karena memang sudah dibekali ketrampilan jurnalistik memadai.

Secara bisnis, Sripo baru bangkit kembali beberapa tahun kemudian karena pasarnya sudah diambil alih oleh koran lain.

Banjarmasin Post

Pengelolaan Banjarmasin Post diawali dengan meninggalnya Jok Mentaya, pemilik SIUPP harian yang terbit di Banjarmasin. Koran ini sempat besar pamornya, bahkan dijadikan koran percontohan dalam seminar para penerbit sedunia. Cara pemasaran yang unik, antara lain menggunakan perahu dan becak untuk menjajakan korannya, banyak mengundang pujian. Secara bisnis, koran ini pernah sangat berhasil, memiliki gedung dan percetakan sendiri.

Sepeninggal Jok Mentaya, pengelolaan menjadi oleng, sementara ahli waris saat itu sedang membutuhkan dana untuk menyelesaikan pembangunan rumahnya. Sesuai wasiat Jok, ahli waris minta bantuan Kompas melalui Pak Jakob. Dan ini adalah proyek pertama yang saya tangani secara tuntas hingga koran itu bangkit kembali dan berjaya hingga kini.

Untuk masuk ke dalam kerjasama ini tidaklah mulus. Maklum, beberapa pemegang saham yang lain masih berkeyakinan bisa bangkit lagi, walaupun mereka juga tahu bahwa perusahaannya terkepung pinjaman. Masalah SARA juga sempat mengemuka sehingga saya terpaksa mengirimkan H.Sjamsul Kahar dari Aceh untuk memberi penjelasan. Sementara itu kebutuhan keluarga almarhum sudah mendesak.

Akhirnya kesepakatan tercapai tetapi pada rapat terakhir itu salah seorang teman staf hukum Persda, Bambang Hari terkena stroke, meninggal di rumah sakit Banjarmasin. Pelaksanaan kerjasama itu pun dihentikan sementara.

Baca Juga: Asal Muasal Kompas [31] Kelompok Pers Daerah

Ketika Persda masuk Banjarmasin Post, tirasnya tinggal 4.000an. Itu pun kebanyakan dibagikan gratis. Namun demikian omset iklannya dari Jakarta sebulan bisa mencapai Rp 150 juta! Itu bisa terjadi karena pesona nama besar Banjarmasin Post yang tidak luput dari usaha Jok Mentaya untuk mempopulerkan korannya di tingkat nasional bahkan internasional.

Bisnis koran memang unik, pentingnya image memang sangat mendominasi. Tidak mudah bagi media baru untuk mendesak koran yang sudah eksis walau dengan biaya sebesar apa pun. Itulah sebabnya Kompas selalu menjaga kekompakan di dalam karena sadar, penggerogotan dari dalam itu yang bisa menggoyahkannya.

Proyek Banjarmasin Post inilah karya terakhir saya sebagai direktur kelompok Persda. Situasi politik di daerah agar lebih pas dengan gerak Persda, menjadi alasan pimpinan agar saya menyerahkan jabatan itu kepada H. Herman Darmo. Dan ternyata ia telah mengembangkan unit usaha itu begitu pesat dan mengagumkan.

***

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [32] Konflik-konflik Kerjasama