Jangan sampai Jokowi sudah teriak harga PCR maksimal Rp300 ribu. Di lapangan para mafia alkes itu tetap menjual dengan harga selangit. Kantong masyarakat dijebol paksa.
Naik pesawat wajib tes PCR. Biayanya sekali tes bisa Rp490 ribu sampai Rp1, 5 juta. Dulu untuk tes PCR minimal Rp900 ribu. Selesai 4 hari. Kalau mau lebih cepet, duitnya nambah lagi. Untuk selesai sehari bisa kena Rp1, 7 juta.
Aneh emang. Test PCR kayak ngurus KTP di kelurahan. Kalau mau cepet, mesti bayar lebih. Artinya sebetulnya bisa cepet. Tapi demi ngebohongin rakyat, dibuatlah hantu-hantu. Test PCR harus lama dan ini itu. Tujuannya agar bisa menggetok biaya mahal ke masyarakat.
Lalu Pak Jokowi mengusulkan agar harga test PCR diturunkan. Maksimal Rp490 ribu. Dan hasil keluar minimal sehari. Dan bisa.
Artinya selama ini masyarakat emang ditipu oleh para mafia kesehatan itu. Kalau dengan Rp490 ribu aja mereka bisa untung, berarti sebelumnya orang-orang ini mengeruk untung terlalu besar dong. Kampret emang.
Kini Pak Jokowi memberi statemen lagi. Ia mengimbau harga test PCR paling mahal Rp300 ribu. Seorang Presiden pasti udah tahu dong, modal dasarnya pengusaha membeli bahan PCR itu. Artinya kalau Rp300 ribu saja udah untung. Harga Rp490 ribu juga masih kebangetan.
Memang, harga produk gak bisa diintervensi. Tapi jangan juga ada kartel PCR. Para pengusaha itu bersepakat mematok harga dengan keuntungan selangit. Yang kecekik kan, masyarakat juga.
Sebetulnya memang aneh jika kebijakan naik pesawat harus via PCR. PCR itu gunanya buat diagnosis. Sementara antigen buat tracking. Jadi jangan asumsikan para penumpang itu sebagai calon pasien.
Memang sih, ada kekhawatiran pemerintah bakal terjadi gelombang ketiga. Data menunjukan semakin tinggi tingkat mobilitas akan semakin tinggi juga resiko penyebaran Covid.
Apalagi kita menjelang libur panjang akhir tahun.
Saya menganggap, dengan kebijakan PCR itu sebagai cara menghambat tingkat mobilitas masyarakat. Artinya orang harus keluarkan duit lebih banyak untuk bepergian.
Masalahnya ketika di dalam kebijakan itu ada pihak yang kayak diguyur rezeki. Ya, para mafia alkes itu. Mereka kayak lele, menikmati keuntungan dari hidup di lumpur.
Wajar saja jika publik mencurigai bahwa kebijakan wajib PCR buat penumpang pesawat itu, adalah kebijakan yang ditunggangi mafia alkes.
Apa gak cukup kondisi pandemi ini membuat mereka pesta pora?
Kalau memang pemerintah mau memastikan hasil uji bagi para penumpang, kenapa gak memaksimalkan saja BUMN yang melaksanakan test PCR itu? Gak usah lagi pake swastalah.
Tentu kalau BUMN yang laksanakan harganya bisa sesuai dengan apa yang disampaikan Presiden. Jadi soal PCR itu monggo, tapi jangan terlalu nyekek juga.
Kita mau tahu deh, gimana Erick Thohir bisa ikut membantu dengan mengerahkan BUMN-nya menyediakan layanan PCR ini. Harganya gak lebih dari Rp300 ribu. Meski itu juga masih ngeselin, tapi oke-lah, buat membatasi pergerakan orang.
Jangan sampai Jokowi sudah teriak harga PCR maksimal Rp300 ribu. Di lapangan para mafia alkes itu tetap menjual dengan harga selangit. Kantong masyarakat dijebol paksa.
Padahal para pengusaha itu diuntungkan kebijakan pemerintah yang mewajibkan test PCR buat para penumpang.
Udah tinggal nadah, dapat untungnya selangit. Itu sih, beneran ngehek!
"Mas, test PCR atau antigen itu, kan, caranya sama kayak ngupil ya?, " ujar Abu Kumkum.
Ngupil kok, mahal...
Eko Kuntadhi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews