Tanpa Riba

Mereka itu tidak berhasil nego dengan bank. Pokoknya tidak mau lagi bayar bunga. Itu riba. Tapi bank tentu tidak mau tahu. Bunga pun berbunga. Ditambah pula denda. Lalu disitalah jaminan mereka.

Jumat, 3 Juli 2020 | 06:48 WIB
0
340
Tanpa Riba
Saya dan para pengusaha muda (Foto: Disway.id)

Tamu saya kemarin empat kelompok. 

Para pengusaha restoran mengajak bicara soal bagaimana membangkitkan bisnis mereka yang koma.

Para pengusaha anti riba menyerahkan buku merah keyakinan mereka: tanpa utang pun usaha bisa berkembang. Termasuk di masa Covid-19 ini.

Ada lagi teman-teman lama yang ingin kangen-kangenan.

Lalu ada yang satu ini: Alghozi Ramadhan --si milenial nakal yang tiba-tiba ke Surabaya. Ia ingin membantu mengatasi Covid-19 di Kota Pahlawan. Yang dikesankan gawat sekali di mata nasional. Tapi ia belum tahu harus bertemu siapa. Juga belum tahu bagaimana cara bertemu para pihak itu.

Sambil menunggu jalan itu Alghozi saya ajak berbincang. Saya ajak ia ke halaman belakang kantor Harian DI’s Way - -yang juga disebut DI’s Way News House itu.

Perbincangan dengan Alghozi itu direkam. Video itu akan diunggah pekan depan. Di channel DI’s Way. 

Meski baru sekali ini bertemu muka, rasanya Alghozi sama sekali bukan orang baru. Hanya kesan saya ia jauh lebih dewasa dari umurnya yang baru 22 tahun. Lihatlah sendiri videonya nanti.

Yang akan lebih banyak saya tulis di sini adalah tamu yang anti riba itu. Sedang diskusi jalan keluar pengusaha restoran akan ditulis di edisi perdana Harian DI’s Way tanggal 4 lusa --kalau jadi bisa terbit.

Yang rombongan tamu anti riba tadi jumlahnya 10 orang. Mereka tergabung dalam MMC - -singkatan MtR Milyader Club. Pengusaha yang usahanya sudah puluhan dan ratusan miliar rupiah. MtR sendiri singkatan dari Masyarakat Tanpa Riba.

Mereka datang dari berbagai kota: Jakarta, Purwokerto, Pemalang, Solo, Sragen, Ponorogo, Malang, Sidoarjo, dan Sampang.

Ada yang usaha alat kesehatan, pupuk organik, garmen, kuliner, optical, saprodi, dan ekspor kotoran cacing.

Dulunya mereka itu punya utang di bank. Semua. Ada yang Rp 20 miliar. Ada yang Rp 200 miliar. Yang terkecil ”hanya” Rp 2 miliar.

”Sebetulnya yang akan ikut ke sini 40 orang. Tapi karena Covid kami batasi 10 orang,” ujar David Mailendra pengusaha alat kesehatan --terutama rapit test. Ia sudah bergerak di rapit test sejak lebih 20 tahun lalu. Misalnya tes kehamilan, gula darah dan sebangsanya. ”Tiba-tiba istilah rapid test menjadi populer sekarang,” kata David yang kini juga dipanggil Daud Muhammad.

Ia pengusaha besar. ”Saya dulu ingin, di bidang saya ini, menjadi yang terbesar di Indonesia,” ujarnya.

Keinginannya itu tercapai. Antara lain melalui utang bank. Tapi utang itu kian lama kian besar. Hidup tidak tenang. Apalagi setelah menyadari bunga itu riba (haram). 

Maka David bertekad melunasi utang. Juga tidak mau lagi berutang di bank. Ia tidak peduli lagi akan tetap jadi ”raja alat kesehatan” atau tidak.

”Sekarang sih masih yang terbesar,” kata David. ”Saya punya merk sendiri di samping menangani tiga merk dari luar negeri,” katanya.

Bagi David menjadi besar cukup. Tidak lagi harus yang terbesar-tapi-belepotan-riba. ”Saya pun, di alat kesehatan, tidak mau lagi ikut proyek pemerintah,” katanya. Ia tidak mau kalau harus menyogok.

Lain lagi dengan Thohir Fauzi. Yang usaha garmennya sampai ekspor ke Korea Selatan. Yang pabriknya di luar kota Ponorogo --dekat Pondok Modern Gontor.

”Utang bank itu seperti candu. Tidak bisa lepas. Selalu saja top up,” ujar Thohir. ”Tidak ada di antara kami ini yang utangnya berkurang. Dari tahun ke tahun terus naik,” katanya. ”Kami takut sampai meninggal pun masih punya utang,” tambahnya.

Padahal, kata mereka, barang siapa meninggal masih punya utang akan masuk neraka. Itulah sebabnya di kuburan selalu ada adegan deklarasi utang.

Perwakilan keluarga selalu bertanya kepada kerumunan pelayat yang ada di kuburan itu: kalau almarhum punya utang agar menghubungi keluarga. Untuk diselesaikan.

Sedang untuk utang yang kecil-kecil, pihak keluarga biasanya minta agar diikhlaskan. Terutama bagi mereka yang tidak mau menagih --karena tidak seberapa atau karena iba. Jangan sampai tidak menagih tapi juga tidak mau merelakan.

Diskusi di halaman belakang itu pun asyik --di bawah dua pohon besar di situ. Membicarakan utang memang tidak kalah menarik dari seks.

Lho apa hubungan utang dengan seks?

Ternyata ada. ”Kalau lagi jatuh tempo sampai tidak bisa melakukan itu,” ujar Arianda Dwi Wanto. ”Stress-nya luar biasa,” tambahnya.

Saat-saat jatuh tempo seperti itu, kata mereka, sering harus bertengkar dengan istri. Soal kecil pun bisa menjadi penyebab pertengkaran. Kenapa? ”Karena sensitif,” kata Arianda.

Mereka pun sepakat segera melunasi utang-utang itu. ”Sekarang, kalau kami bertemu seperti ini, rasanya lebih bahagia,” kata Fathurrozi, pengusaha optik Dooz dari Solo. ”Kalau dulu yang kami bicarakan hanya besar-besaran utang. Sekarang besar-besaran omzet,” tambahnya.

Mengapa mereka dulu utang bank?

Ternyata tidak semua karena BU. Ada yang semata-mata karena ditawari bank. Bahkan ada yang sekedar agar punya utang di bank.

”Kalau belum punya utang di bank seperti belum disebut pengusaha,” ujar Teddy Hawaii dari Sampang. ”Itu pun harus di atas Rp 1 miliar. Agar tidak disebut mracangan,” tambah Teddy yang nama aslinya Rahman Setiadi.

Teddy Hawaii sebenarnya kepala sekolah SMP. Pernah merangkap jadi wartawan lokal. Lalu membuka restoran ikan bakar di pantai Camplong, Sampang. Terbesar di sana. Laris. Apalagi sejak ada eksplorasi minyak dari bumi Sampang.

Teddy Hawaii berkembang ke martabak terang bulan. Dengan gerai banyak sekali. Hampir seratus gerai. Merk martabaknya Hawaii --karena itu Rahman dipanggil Teddy Hawaii.

”Sebenarnya usaha seperti kami ini kan tidak perlu utang. Tapi utang saya kok sampai di atas Rp 1 miliar,” katanya mengenang.

Berdiskusi dengan kelompok Masyarakat Tanpa Riba ini pikiran saya berubah. Tidak lagi seperti yang selalu saya dengar: banyak aset anggota gerakan ini yang akhirnya disita bank. Usaha mereka pun punah.

Mereka itu tidak berhasil nego dengan bank. Pokoknya tidak mau lagi bayar bunga. Itu riba. Tapi bank tentu tidak mau tahu. Bunga pun berbunga. Ditambah pula denda. Lalu disitalah jaminan mereka.

”Tidak begitu. Kami tidak ada yang seperti itu,” ujar Mulyono yang eksportir tahi cacing ke Kuwait. ”Kami semua ini bisa menyelesaikan utang,” katanya.

Ternyata mereka ini punya kiat tertentu untuk melunasi utang itu. Kiat itulah yang akan jadi topik tulisan DI’s Way besok atau lusa. Atau --seperti lagu Koes Ploes: kapan-kapan.

Dahlan Iskan

***