Bank dan Riba

Itu semua adalah sistem pinjam meminjam yang berlaku di perbankan. Jika mau pinjam di bank maka kita harus punya jaminan yang nilainya lebih besar daripada pinjaman kita.

Kamis, 18 Juli 2019 | 14:04 WIB
0
597
Bank dan Riba
Ilustrasi Bank dan Riba (Foto: facebook/Satria Dharma)

“Teknologi sungguh memudahkan hidup kita,” kata seorang teman suatu ketika. “Bahkan untuk berbuat baik pun sekarang itu sungguh mudah.”

“Bagaimana maksudmu?” tanya saya.

“Coba lihat…! Pagi hari bahkan saya tidak perlu turun dari tempat tidur saya untuk mulai mengeluarkan sedekah. Saya cukup membuka handphone saya dan mulai mengirim sedekah rutin ke berbagai lembaga sosial dan yayasan yatim piatu. Saya tinggal pencet angka-angka dan mengalirlah sedekah saya pada lembaga-lembaga tersebut.” Jawabnya sambil tersenyum.

Tiba-tiba handphonenya berbunyi dan ia pun mengangkatnya. Ternyata ada seorang temannya yang butuh bantuan uang darinya.

“Ada nomor rekening? Nanti saya transfer saja.” Jawabnya.

Ternyata temannya tersebut tidak punya rekening bank dan ATM. Katanya sudah lama ia tidak mau berhubungan dengan perbankan karena tidak mau bersinggungan dengan dosa riba. Katanya sih dosa riba itu paling ringan semisal dengan berzinah dengan ibu kandung. Sangar bin ngeri nggak…?! 

“Kalau begitu hidup saja di tahun 2000 SM,” jawab teman saya tadi dengan jengkel dan menutup percakapannya. Mukanya kelihatan memerah.

“Ada apa dengan kehidupan di tahun 2000 SM?” tanya saya keheranan.

“Sistem perbankan itu sudah dimulai sejak tahun 2000 SM di Babylonia. Dan sejak itu sistem perbankan ini terus digunakan dan diperbaiki agar membantu kehidupan manusia menjadi lebih baik dan lebih makmur. Jadi kalau ada manusia yang tidak mau bersinggungan dengan sistem perbankan maka ia sebaiknya hidup dengan sistem kehidupan zaman sebelum Masehi.” jawabnya.

“Tapi bukankah setiap muslim perlu berhati-hati terhadap dosa riba,” jawab saya berusaha memancingnya.

“Apa sih riba itu menurutmu?” tanyanya dengan ekspresi jengkel.

“Riba itu kalau pinjam meminjam dan kembalinya ada bunga atau kelebihan dari harta yang dipinjam,” jawab saya berupaya menirukan alasan orang-orang yang menolak riba.

“Di zaman Nabi pun sudah ada sistem pinjam meminjam dengan bunga atau kelebihan dari apa yang dipinjamnya. Bahkan nabi diriwayatkan pernah beberapa kali meminjam pada orang-orang Yahudi. Apakah menurutmu orang-orang Yahudi tersebut mau meminjami Rasulullah atau siapa pun harta milik mereka jika tidak mendapatkan keuntungan dari harta yang mereka pinjamkan? Ya gak bakalan dipinjamilah Rasulullah oleh para Yahudi tersebut kalau mereka tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang mereka pinjamkan pada Rasulullah.Itu adalah sistem yang berlaku bahkan pada Rasulullah sekali pun.

Rasulullah juga melakukan praktek yang sama. Jangankan kepada orang-orang Yahudi yang memang suka meminjamkan hartanya dengan keuntungan. Sedangkan kepada sahabatnya pun Nabi juga memberi keuntungan atau kelebihan jika beliau membayar utangnya pada sahabatnya.

Dalam kehidupannya Rasulullah saw pernah berhutang kepada sahabatnya Jabir ibn Abdillah ra. Ketika Nabi telah mampu membayarnya, Rasulullah saw mendatangi Jabir dan membayarnya dengan cara melebihkan dari pokok utangnya. Jabir berkata, “Ya Rasulullah, sudah aku ikhlaskan untuk Allah dan rasul-Nya.” Rasulullah menjawab, “Wahai sahabatku, Utang itu adalah hak orang yang memberi utang dan kewajiban bagi yang berutang. Siapa yang tidak memenuhi hak orang lain padahal ia mampu untuk hal itu maka sama saja ia menyimpan bara api neraka di dalam perutnya.” (HR Bukhari & Muslim).

Artinya Rasulullah tidak ingin merugikan sahabatnya dengan tidak memberi kelebihan dari apa yang dipinjamnya. Kelebihan dari pinjaman itu adalah hak bagi yang memberi pinjaman dan kewajiban bagi yang berutang. Ancamannya bahkan api neraka kalau kita tidak melakukan kewajiban kita sebagai pengutang atau kreditur.

Sungguh mulia akhlak Rasulullah saw, ia meminjam kepada sahabatnya dan ketika ia mampu, beliau membayar pinjamannya dengan lebih walaupun tidak diisyaratkan di depan ketika aqad pinjam meminjam dilaksanakan. Itulah akhlaq yang diajarkan oleh Rasulullah. Apakah kamu berani mengatakan bahwa Rasulullah melakukan perbuatan dosa riba karena memberi kelebihan dari nilai utangnya? 

Bahkan Nabi pernah berutang dengan memberikan jaminan atau borg yang nilainya lebih besar daripada pinjamannya pada orang Yahudi. Sampai beliau wafat utang tersebut masih belum bisa dibayar oleh Rasulullah. Ketika berutang, Rasulullah saw menjaminkan kepada orang Yahudi tersebut baju besi perangnya sebagai borg. Ketika hendak ditebus oleh Abu Bakar setelah wafatnya Rasulullah saw, orang Yahudi tersebut mengatakan, “Jaminannya melebihi nilai utang nya. Engkau tidak perlu menebusnya.” Artinya si Yahudi tidak ingin utang Rasulullah dibayar dan memilih menerima jaminan utang atau borgnya. 

Itu semua adalah sistem pinjam meminjam yang berlaku di perbankan. Jika mau pinjam di bank maka kita harus punya jaminan yang nilainya lebih besar daripada pinjaman kita.

Bahkan Rasulullah juga melakukan sistem tersebut ketika bertransaksi dengan orang Yahudi. Jadi bagaimana kiranya kalau kita tidak mau menggunakan sistem perbankan sedangkan sistem tersebut sudah ada bahkan jauh sebelum Islam lahir dan juga dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat?

“Tapi ada lho kelompok muslim yang bisa hidup dan memproklamirkan diri mereka sebagai "Komunitas Tanpa Riba" dan juga melakukan bisnis mereka tanpa riba, “ saya berusaha untuk ngeyel. “Bahkan katanya mereka bisa hidup tanpa bersinggungan dengan dunia perbankan. Ya kayak temanmu yang mau pinjam uang itu.” 

“Mana ada dunia perdagangan dan bisnis yang tidak menggunakan jasa perbankan? Bahkan negara-negara Islam yang paling syar’i juga tetap mengenakan bunga pada pinjamannya. Cek saja di Google berapa bunga yang dikenakan pada perbankan di negara-negara Islam. Semua mengenakan ‘interest’ alias bunga. Lha kalau ada pebisnis muslim yang katanya tidak mau bersinggungan dengan perbankan lalu uangnya disimpan di mana? Di bawah bantalnya? Dia berbisnis dengan cash to cash terus? Kalau mau beli mobil atau rumah harga ratusan juta bawa uang tunai dibungkus karung goni? Bukankah uang itu asalnya juga dari bank? Mbok ya yang agak rasional opo’o kalau beragama itu,” jawabnya mulai sengit. 

“Sabar, Bos…! Bukannya sampeyan pernah bilang bahwa banyak hal yang kita percayai itu tidak rasional? Faktanya teman sampeyan yang mau pinjam uang itu ya hidup aja kok.”

Surabaya, 12 Juli 2019

***