BUMN, Nasibumu Doeloe dan Kini

Beban berat keuangan yang harus diemban BUMN-BUMN sekarang, bukan lagi dinikmati oleh segelintir elit negeri ini, tapi kini dinikmati oleh seluruh rakyat dalam bentuk pelayanan-pelayanan yang lebih luas.

Sabtu, 23 Juli 2022 | 06:55 WIB
0
156
BUMN, Nasibumu Doeloe dan Kini
PLN dan Pertamina (Foto

Dulu (baca: sebelum era rezim Jokowi), hampir semua BUMN mencatat rugi dengan utang yang menggunung, karena menjadi sapi perah para elit politik dan membiayai partai politik. Itu belum termasuk dengan pemborosan dari internal perusahaan, baik karena ketidakefisienan aktivitas perusahaan maupun perilaku koruptif jajaran manajemennya.

Kini, setelah berbagai aksi reformasi yang dilakukan oleh Kementerian BUMN, utangnya tetap menggunung, bahkan makin menggunung, tapi dengan alasan yang berbeda, yaitu karena berbagai penugasanyang diberikan Pemerintah (baca: Presiden Jokowi) kepada sejumlah BUMN.

PLN 

Sesuai Perpres No 4/2016, Pemerintah memberi penugasan kepada PLN untuk membangun Program Pembangkit Listrik 35.000 MW. Kita masih ingat misi ambisius Jokowi ini menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak. Ada yang menyebut kebutuhan listrik nasional tidak sebesar itu, PLN tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya, dlsb. Khususnya pertanyaan paling utamanya adalah,

"Dari mana uangnyaaaaaa ???"

Tapi Jokowi tetap dengan sikap koppig nya, karena Program Pembangkit 35 GW selaras dengan target pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai Pemerintah. 

Untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tsb, misi ambius Jokowi lainnya adalah membangun infrastruktur secara merata dari ujung Aceh hingga ujung Papua. Dengan terbangunnya infrastruktur, akan diikuti dengan berkembangnya industri di wilayah setempat, berdirinya pabrik-pabrik, menggeliatnya ekonomi rakyat, dst. Dan untuk mendukung semua itu, dibutuhkan setidaknya 35 GW pembangkit listrik baru.

"Oke..Oke.. Tapi dari mana uangnyaaaaa ?" 

Kebutuhan untuk program 35 GW adalah sebesar Rp1.200 triliun. Dari jumlah itu, PLN harus menyediakan dana kurang lebih Rp600 triliun dan selebihnya ditutupi dengan dana swasta. Untuk kebutuhan tersebut, PLN harus menggunakan dana internal, PMN, dan juga pinjaman dari luar. 

PLN Bangkrut ?!

Kesehatan keuangan perusahaan tidak hanya ditunjukkan oleh besar kecilnya utang, tapi juga oleh berbagai indikator lainnya. Ini yang sering disalahkaprahi oleh para pengamat yang tidak memahami ilmu ekonomi atau menguasai laporan keuangan BUMN ybs.

Seperti dana pinjaman untuk pembangunan pembangkit 35 GW, saat ini sudah terkonversi menjadi aset yang dimiliki PLN, yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Pada periode 2015–2020, aset PLN meningkat menjadi Rp1.589 triliun, naik sebesar Rp275 triliun.

Jika penyerapan dana pinjaman berbanding lurus dengan pertambahan aset, artinya pinjaman telah digunakan secara produktif. Jika produktif, sebesar apapun pinjaman, selama masih di batas aman, perusahaan akan tetap memiliki kemampuan untuk membayar cicilan dan tidak akan bertemu hingga kondisi gagal bayar.

Sama halnya dengan utang negara. Para pengamat cenderung hanya melihat berapa besaran hutang negara yang memang terus bertambah, tapi tidak sambil melihat berapa pertambahan aset negaranya, dan berapa nilai manfaat yang dihasilkan oleh pertambahan aset negara tsb. 

Jika pertumbuhan ekonomi masih positif, bisa dipastikan nilai pertambahan asetnya akan lebih besar dari nilai hutangnya.

Kembali ke PLN, sampai Maret 2021, tercatat progress pembangunan 35 GW yang sudah beroperasi adalah 10 GW. Rasio elektrifikasi pun sudah meningkat dalam 5 tahun terakhir dari 88,3% pada 2015 menjadi 99,2% pada 2020.

Melalui infrastruktur tersebut, daerah yang dahulu kekurangan pasokan listrik maka pada saat ini kondisi kelistrikan di daerah sudah terpenuhi, sehingga meningkatkan perekonomian masyarakat. 

PLN juga masih memberikan kontribusi kepada negara sejak tahun 2015 dalam bentuk pajak dan deviden yang jumlahnya mencapai Rp199,5 triliun. Dan pada tahun 2021 berhasil membukukan keuntungan sebesar Rp5,9 triliun dengan berbagai macam inovasi dan efisiensi yang dilakukan.

PLN juga sukses melunasi hutang lebih cepat sebesar Rp51 triliun dari melejitnya penjualan listriknya. Dengan beban hutang yang sedemikian besar, namun PLN pun masih bisa menahan tarif listrik dengan sangat murah jika dibandingkan dengan biaya produksinya, yang tidak pernah naik sejak 2017.

Jadi sudah sangat wajar jika tahun 2022 ini PLN mulai melakukan penyesuaian tarif, sudah berbanding lurus dengan beban berat PLN yang harus memasok kebutuhan listrik rakyat hingga ke pelosok daerah, sehingga meningkatkan geliat ekonomi rakyat.

WIKA - PERTAMINA

Kondisi kurang lebih sama terjadi pada BUMN-BUMN lainnya, seperti BUMN Karya, Pertamina, dlsb. WIKA, BUMN Karya yang memiliki fungsi sebagai developer/kontraktor, menerima penugasan dari Pemerintah untuk membangun jalan-jalan tol. 

"Dari mana uangnyaaaa ?"

Sama, dari dana pinjaman. Karena itu, setelah proyek-proyek jalan tol tsb rampung, tugas berikutnya adalah menjual #konsesi pengelolaan jalan tolnya, untuk melunasi hutang-hutangnya. 

Jadi jika diberitakan WIKA punya hutang sekian gunung, WIKA menjual jalan-jalan tol, karena tugasnya memang hanya membangun infrastruktur. Setelah konsesi pengelolaannya berhasil dijual ke swasta dan hutangnya lunas, maka Pemerintah ketambahan aset negara lagi berupa jalan-jalan tol. 

Demikian juga dengan Pertamina, yang diberi penugasan oleh Pemerintah untuk menjual BBM Satu Harga atau BBM Bersubsidi. 

Untuk menjalankan penugasan tsb, Pertamina harus memberikan subsidi kepada harga jual yang selama ini dinikmati oleh rakyat konsumen. Dengan penugasan yang diemban Pertamina, rakyat dapat menikmati harga BBM yang sangat murah, jika dibandingkan harga BBM di negara-negara lain.

Itulah bedanya BUMN dulu dan kini. Beban berat keuangan yang harus diemban BUMN-BUMN sekarang, bukan lagi dinikmati oleh segelintir elit negeri ini, tapi kini dinikmati oleh seluruh rakyat dalam bentuk pelayanan-pelayanan yang lebih luas. 

"Jadi dari mana uangnyaaaa ??"

Heni Nuraini

***