Humor Tower

Sebenarnya ada lagi akal sehat yang masih harus ditegakkan: banyaknya rumah susun ternyata tidak banyak mengurangi kampung kumuh di Jakarta.

Senin, 6 Januari 2020 | 08:12 WIB
0
359
Humor Tower
Main ketoprak bersama Bambang Triwibowo (Foto: Disway.id)

Saya dapat kiriman foto. Seorang lelaki muda lagi termangu berdiri di tengah banyak sandal jepit yang berserakan. Ia seperti bingung mencari-cari mana pasangan sandal untuk kaki kirinya.

Di bawah foto itu disertakan teks: Jangan kecil hati. Serumit-rumit problem Anda masih rumit problem orang itu.

Agak lama saya memandangi foto itu. Tapi lebih lama lagi mengingat siapa pengirimnya.

"Saya Bambang Triwibowo," tulisnya di WA.

Saya masih belum ingat sepenuhnya siapa ia. Saya memang seperti melupakan masa lalu saya. Tapi humor itu terlalu menarik. Saya kepo.

Lalu saya selidiki dengan pertanyaan tidak langsung.

"Sekarang sibuk di mana?" tanya saya.

"Sejak berhenti dari PP tahun 2016 saya mendapat tugas sebagai Dirut Perumnas. Mohon doa," jawabnya.

Nah, ketahuanlah siapa pengirim lelucon itu.

Saya menjadi ingat bahwa ia satu-satunya Dirut BUMN yang berani kirim humor ke HP menteri, saat itu. Stok humornya begitu banyak.

Bahkan ia juga berani memarahi menteri --ketika sama-sama bermain ketoprak humor-- karena naskah sandiwaranya mengharuskan begitu.

Foto: Antara
Tapi soal kerja Bambang Triwibowo tidak pernah guyon. Idenya banyak. Melaksanakannya serius.

Tepat sekali Bambang ditunjuk mengembangkan Perumnas.

Mungkin, kalau saya, tidak sampai hati 'menurunkan derajat' orang yang begitu berprestasi di perusahaan besar ke perusahaan yang lebih kecil. Dengan jabatan sama-sama direktur utama.

Tapi Bambang tidak merasa dijatuhkan. Ia selalu bisa nikmati apa yang ada. Selera humornya mengalahkan perasaan tertekan di hatinya. Dan hasilnya nyata. Perumnas berkibar lebih tinggi di tangannya.

Dan yang paling saya puji adalah idenya ini: membangun rumah tinggi di tanah stasiun kereta api.

Saya jadi teringat Hongkong. Begitulah di sana. Apartemen dibangun di dekat stasiun bawah tanah. Agar efisien.

Dua-duanya diuntungkan --kereta dan pembeli rumahnya. Pun perusahaan pengembangnya.

KRL adalah angkutan kota yang sangat murah: Rp 3000.

Tapi karena banyak perumahan yang jauh dari stasiun biaya transportasi mereka menjadi mahal sekali. Bisa memakan lebih separo dari gaji. Alangkah ekonomisnya kalau semua pelanggan KRL punya rumah di dekat stasiun.

Bayangkan, naik KRL-nya Rp 3000. Tapi untuk menuju stasiun perlu naik ojek Rp 10.000.

Kemahalan seperti itu akan terpangkas lewat program Perumnas seperti ini.

Dan menegakkan akal sehat seperti itulah yang dilakukan Bambang. Ia membangun tower-tower di tanah stasiun. Bekerja sama dengan KAI.

Tahap pertama dibangun di tiga stasiun dulu: Tanjung Barat, Margonda, dan Serpong.

Di Tanjung Barat dibangun dua tower. Tidak jauh dari Kampus UI Depok itu. Masing-masing 22 lantai. Bisa untuk 1.200 rumah di situ.

Itulah proyek Mahata Tanjung Barat.

Di Margonda dibangun tiga tower. Tingginya 28 lantai. Lebih banyak lagi rumah yang tersedia.

Itulah proyek Mahata Margonda.

Bahkan tiga tower yang di stasiun Serpong tingginya 33 lantai.

Itulah Mahata Serpong.

"Kenapa namanya Mahata?" tanya saya.

"Mahata itu bahasa Arab. Artinya stasiun," ujar Bambang. Yang lulusan fakultas teknik UGM itu.

"Kami sudah cari stasiun di banyak bahasa asing. Kok yang cocok yang dari bahasa Arab itu," tambahnya.

Ternyata semuanya laris. "Bagaimana tidak laris," ujar Bambang. "Kami jual rumah bonusnya kereta api," tambahnya --dengan humornya yang kaya.

Sebenarnya ada lagi akal sehat yang masih harus ditegakkan: banyaknya rumah susun ternyata tidak banyak mengurangi kampung kumuh di Jakarta.

Itu karena rumah susun tidak diprogram untuk 'bedol RT' kampung kumuh.

Mungkin Bambang bisa menggunakan Perumnas untuk memodernkan kampung kumuh di mana-mana.

Lewat akalnya yang banyak. Dan lewat kesegaran pikirannya yang distimulir oleh humor-humornya.

Dahlan Iskan

***