Rusdi Makes People Fly

Setelah langkah pembelian sejumlah pesawat baru dalam jumlah besar dan ekapansi ke beberapa negara, dipastikan, Rusdi akan menjadikan Lion Air sebagai perusahaan penerbangan internasional.

Rabu, 10 Juni 2020 | 12:40 WIB
0
366
Rusdi Makes People Fly
Rusdi Kirana (Foto: paper.id)

Pengantar: Satu hari pada bulan Juni tahun 2001, ketika saya sedang liputan di Kementerian Keuangan, seseorang yang tidak dikenal menelepon saya. Saya angkat. Penelepon itu memperkenalkan diri, namanya Yun Kha. Dia tahu nomor telepon dari teman saya, Mas Eko, seorang Event Organizer. Yun Kha mengundang saya datang ke kantornya, sebuah ruko kecil di Duta Merlin. Sore keesokan harinya, saya datang. Saya diperkenalkan dengan seseorang yang disebut Yun Kha sebagai ‘Kakaknya’, namanya Rusdi Kirana. Saya langsung berbincang akrab dengan Rusdi. Intinya, dia minta dibuatkan Press Release, maskapai penerbangan yang baru didirikannya, Lion Airlines, akan melakukan penerbangan perdana, dari Jakarta ke Pontianak. Rusdi juga minta saya untuk mengajak teman-teman wartawan lain ikut dalam penerbangan itu.

Pesawat Boeing 737 200 Lion Airlines dengan warna biru, gari merah, dan putih, lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta menuju Pontianak, Kalimantan Barat. Setelah pesawat mencapai ketinggian terbang, Rusdi Kirana menarik nafas panjang, dan wajahnya tampak riang. Sesekali ia melihat ke luar jendela, mengamati gumpalan-gumpalan kecil awan putih.

Ada yang luar biasa bagi Rusdi saat itu, 30 Juni tahun 2001 pukul 13.00 WIB, Lion Airlines, maskapai penerbangan miliknya melakukan terbang perdana. Dalam debutnya di industri penerbangan nasional, Lion Air hanya menerbangi satu rute, Jakarta-Pontianak dengan satu unit pesawat bekas.

Lion Airlines yang kemudian menjadi Lion Air, adalah yang pertama menerapkan penerbangan murah, low cost airline dalam sejarah industri penerbangan nasional. Lion Air tampil dengan positioning: makes people fly.

Hanya butuh waktu tujuh tahun bagi Rusdi untuk menjadikan Lion Air sebagai perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia. Dengan 50 armadanya, termasuk yang dioperasikan anak perusahaannya, Wings Air, tahun 2007 Lion Air menerbangkan 12 juta penumpang.

Mulai tahun 2007 Lion Air menambah armadanya dengan pesawat baru Boeing 737 900-Extended Range sebanyak 200 unit, yang pengadaannya dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2014 jumlah armada Lion Air ditargetkan berjumlah 250 pesawat. Fakta-fakta tersebut cukup untuk menempatkan Rusdi Kirana, Presiden Direktur PT Lion Mentari Air, sebagai entrepreneur paling sukses di bisnis penerbangan Indonesia.

Pada tahun-tahun awal beroperasi, perusahaan ini tumbuh pesat dengan mendatangkan berbagai jenis pesawat, mulai Yak 42D, Airbus 310-300, MD-80, MD-82, Boeing 737-300, 400 hingga jumbo jet Boeing 747 400.

Dalam business plan, Lion Air hanya akan menerbangkan pesawat Boeing 737 900-ER dan Boeing 747 400. Total pesawat yang dioperasikan Lion Air dan anak perusahaannya sebagai feeder airline, Wings Air, sebanyak 178 unit. Angka 178 adalah angka keramat bagi Rusdi Kirana yang lahir pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 18, tanggal 17 Agustus (bulan 8) 1963. “Angka itu benar-benar angka keramat bagi saya, juga bagi bangsa Indonesia.”

Seiring pertambahan jumlah pesawat, rutenya pun makin banyak, hingga ke beberapa kota di Asia Tenggara dan Jedah, Arab Saudi untuk penerbangan haji dan umrah. Wings Air sebagai anak perusahaan, didirikan tahun 2003 yang menerbangi rute-rute perintis, sekaligus sebagai feeder bagi Lion Air.

“Saya akan buktikan bahwa transportasi pesawat terbang bukan hanya untuk kalangan tertentu saja, tapi semua orang bisa naik pesawat,” kata Rusdi yang sebelumnya menggeluti bisnis pariwisata, dengan bendera Lion Travel.

Munculnya Lion Air yang menerapkan low cost flight, diikuti banyak perusahaan penerbangan baru. Sehingga, kemunculan Lion Air bisa dikatakan sebagai tonggak sejarah penerbangan sipil nasional yang diikuti maraknya industri penerbangan low cost.

Corporate Communication Lion Air, Hasyim Arsal Al-Habsyi mengatakan, Lion Air tumbuh menjadi market leader dalam industri penerbangan di Indonesia, melalui perjuangan yang berat. Beberapa kali kecelakaan yang terjadi, memberikan pelajaran sangat berharga bagi manajemen. Isu miring yang sempat berhembus mengenai Lion Air adalah, tuduhan bahwa Lion Air didanai dengan uang haram hasil money laundering.

Crashed dan berbagai tuduhan tidak sedap itu memang menyakitkan. Tapi, semua itu membuat kami belajar banyak dan jadi lebih kuat,” kata Hasyim.

Menjadi yang Terbesar

Berbeda dengan perusahaan-perusahaan penerbangan yang terlebih dahulu beroperasi, yang justru terseok-seok, Lion Air tumbuh sangat pesat. Langkah fenomenal Lion Air terjadi tahun 2006, ketika Rusdi memutuskan untuk menambah armadanya, dengan pesawat baru Boeing 737 900-ER sebanyak 40 unit, kemudian 60 unit, nambah lagi 22 unit, 56 unit (Februari 2008) dan 22 unit tahun 2008.

Selain itu, Lion Air juga memutuskan untuk mengakuisisi empat perusahaan penerbangan di Thailand, Australia, Malaysia dan Vietnam. Nantinya, perusahaan-perusahaan itu menjadi Lion Air Thailand, Lion Air Australia, Lion Air Malaysia dan Lion Air Vietnam. Saat ini (2008) yang sudah confirmed adalah yang di Thailand dan Australia. Tanggal 21 Desember 2013 Rusdi meluncurkan Batik Air. Ia coba penetrasi ke penerbangan full services yang selama ini hanya Garuda yang bermain di pasar segmen itu.

Pengakuan atas prestasi Lion Air juga datang dari Boeing Company Amerika Serikat. Lion Air adalah perusahaan penerbangan pertama atau launched airliner, di dunia yang menerima dan mengoperasikan Boeing 737 900-ER.

Pertimbangan Boeing memilih Lion Air sebagai launched airliner, seperti dikatakan Senior Vice President Sales Commercial Airplanes - Dinesh Keskar, antara lain karena Indonesia adalah negara besar dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan wilayahnya luas, dari barat ke timur, lebih luas daripada Amerika Serikat.

“Kami melihat di Indonesia masih banyak pesawat 737 200 yang harus segera diganti. Karena itu, Lion Air sebagai salah satunya, telah memesan sejumlah peswat baru, dan kami memilihnya sebagai launched airliner, agar mereka lebih efisien dan menguntungkan,” kata Keskar.

Pertimbangan lain adalah, ASEAN open sky akan dimulai pada tahun 2010. Era itu merupakan prospek pasar industri penerbangan yang bagus. “Karenanya, anda membutuhkan pesawat baru untuk terbang melintasi antar negara.”

Dalam paket penjualan ke Lion Air, Boeing menyiapkan multiple programe, guna memudahkan ketersediaan suku cadang dan layanan purna jual, bila diperlukan setiap saat. Sementara itu, skema pembelian 178 pesawat Boeing 737 900-ER, mamakai pola debt financing, dengan equitas perusahaan hanya 10%.

Menurut Rusdi, mengacu pada kinerja perusahaan, equitas 10% sudah cukup untuk meyakinkan para kreditur mengucurkan pinjaman. Namun Rusdi tidak menjelaskan berapa lama jangka waktu pembayaran atau tenor kepada pihak kreditur.
Pola pembayaran Lion Air ke Boeing Company dengan skema debt financing itu dilakukan secara bertahap. Rusdi mengatakan, sumber dana pembelian pesawat itu, (90%) berasal dari konsorsium kreditur dari dalam dan luar negeri.

Konsorsium kreditur dari luar negeri berasal dari beberapa bank Eropa antara lain HSH North Bank, DVD Bank Jerman, dan Natexis Bank Perancis. Selain itu ada juga beberapa bank nasional yang juga mendanai pembelian tersebut. Namun Rusdi tidak menyebutkan bank mana saja yang dimaksud. Total biaya pengadaan 178 unit boeing 737 900-ER (10 di antaranya sudah delivered dan dioperasikan) sekitar US$14 miliar.

Sejak beroperasi Lion Air terus menunjukkan peningkatan, profit yang naik terus. Jumlah penumpang pesawat di Indonesia yang sangat besar dan tumbuh signifikan. Rusdi lebih memilih pesawat baru, ketimbang pesawat bekas yang jauh lebih murah.
“Jadi kalau bangkrut sekalipun, pesawatnya masih laku dijual,” kata Rusdi.

Rusdi Factor

Bagi Komisaris Lion Air, Halim Kalla, kesuksesan Rusdi membesarkan Lion Air karena manajemen yang diterapkannya cukup luwes dan gesit membaca situasi pasar.

“Sampai sekarang, Rusdi praktis one man show mengendalikan Lion Air. Tapi nanti, setelah kita punya beberapa anak perusahaan di luar negeri, harus ada orang yang mendampingi dan kapasitasnya harus sekelas dengan Rusdi,” kata Halim.
Sementara Menteri Perhubungan Jusman Syafi’i Djamal mengemukakan, Lion Air adalah maskapai penerbangan terbesar di Indonesia dari pencapaian kapasitas angkutan domestik.

"Lion terbesar, Garuda nomor kedua dan ketiga Adam Air. Ini sesuai data jumlah penumpang yang diangkut hingga 2006," kata Jusman saat itu.

Jumlah penumpang Lion Air sebanyak 12 juta orang tahun 2007 adalah gabungan antara Lion Air dengan Wings Air, anak perusahaan Lion Air. Dengan jumlah penumpang 12 juta orang pada 2007, sales Lion Air pada 2007 diperkirakan tidak kurang dari Rp4,8 triliun atau US$530 juta.

Dirjen Perhubungan Udara, Dephub, M. Budhi M. Suyitno (2008) mengatakan, pada periode 2009 - 2011, pertumbuhan penumpang domestik masih akan tumbuh di atas 20%. Tahun 2006 tercatat 36 juta orang, dan tahun 2007 sekitar 40 juta orang. Data dari Kementrian Perhubungan menunjukkan, jumlah penumpang pesawat untuk rute domestik di Indonesia sebanyak 48,5 juta orang, atau naik 16,3% dibanding tahun 2008. dari angka itu 13,5 juta orang atau 30,7% diangkut Lion Air dan menempatkan maskapai penerbangan ini sebagai market leader di pasar domestik.

Kesuksesan Rusdi juga membuat pengamat industri penerbangan, Dudi Soedibyo kagum sekaligus khawatir. Di mata Dudi, Rusdi Kirana adalah entrepreneur perusahaan penerbangan yang fenomenal. Tujuh tahun menjadikan sebuah perusahaan penerbangan baru menjadi nomor satu di Indonesia adalah prestasi hebat.

Dalam catatan Dudi, kehebatan Rusdi Kirana dimulai ketika masih menjalankan bisnis travel, yaitu Lion Travel. Waktu itu tahun 1998 Rusdi menyewa pesawat Merpati untuk rute Jakarta-Pangkalpinang. Penerbangan itu selalu fully book. Sampai-sampai orang Merpati sendiri kaget. Karena biasanya penerbangan untuk rute itu load factor-nya tidak pernah sampai 80%, apalagi penuh. “Rusdi samgat jeli melihat pasar,” kata Dudi.

Sekarang, orientasi Rusdi adalah menjadikan Lion Air sebagai global player. Sehingga, competitors Lion Air sudah bukan lagi perusahaan penerbangan domestik, tapi regional bahkan internasional.

Namun Dudi juga mengingatkan, agar Lion Air segera mempersiapkan generasi berikutnya pengganti Rusdi, yang kemampuannya minimal setara Rusdi. Ia mencontohkan, Pan Amerika sangat maju ketika dipegang J. Tript tahun 1960an. Bahkan, mungkin Boeing Aircraft Company sudah bangkrut jika Tript tidak memesan pesawat berbadan lebar. Maka lahirlah jumbo jet Boeing 747, dan perusahaan yang bermarkas di Seatle, Washington, Amerika Serikat itu terselamatkan dari kebangkrutan.

Timpangnya kemampuan Tript dengan CEO-CEO berikutnya berakibat fatal. Para pelanjut Tript tidak bisa mengendalikan Pan Am seperti yang dilakukan Tript. Pada tahun 1990an Pan Am benar-benar bangkrut. Begitu juga yang terjadi dengan Skytrain yang melejit dalam tempo singkat dengan CEO-nya Freddy Lecer, yang kemudian bangkrut setelah ditinggalkannya.
“Jadi Lion Air harus segera mempersiapkan CEO yang setara dengan Rusdi,” Dudi mengingatkan.

Setelah langkah pembelian sejumlah pesawat baru dalam jumlah besar dan ekapansi ke beberapa negara, bisa dipastikan, Rusdi akan menjadikan Lion Air sebagai perusahaan penerbangan internasional.

Kendala untuk go international tidak sedikit dan tidak mudah diatasi. Meskipun mendapat kepercayaan dari Boeing sebagai Launched Airliner, Lion Air bersama maskapai penerbangan nasional lainnya tidak bisa terbang di langit Eropa. 12 Oktober 2006 Uni Eropa mengeluarkan list perusahaan penerbangan dari 17 negara yang dilarang masuk Eropa dengan berbagai alasan, khususnya terkait dengan faktor keselamatan.

Corporate Secretary Lion Mentari Air, Hasyim Arsyal Al Habsyi dengan tegas menyatakan, kebijakan itu adalah strategi Uni Eropa untuk menekan perusahaan-perusahaan penerbangan di beberapa negara, termasuk Indonesia, agar membeli pesawat-pesawat produksi Eropa.

“Kalau mereka fair, standar keselamatan penerbangan kita sudah sama dengan mereka kok. Tapi sebodo amat lah. Sekarang tak satupun pesawat Indonesia menerbangi rute ke Eropa. Kalau saya sih, harusnya pemerintah kita juga melarang pesawat-pesawat Eropa terbang di wilayah udara Indonesia. Mati mereka!” kata Hasyim.

Sedangkan Keskar dari Boeing tidak bersedia berkomentar, apakah kebijakan Uni Eropa tersebut berkaitan dengan persaingan di pasar antara Boeing dengan Airbus?

“Saya tidak bisa komentar. Tapi mengenai persaingan itu, kami akan meluncurkan produk baru, Boeing 787 dreamliner, saat ini sudah ada pesanan sebanyak 56 unit dari 50 perusahaan penerbangan. Lalu ada jenis Boeing 777 yang head to head dengan Airbus 330 dan 340 di pasar, dan Garuda Indonesia memilih Boeing. Pada prinsipnya kami siap berkompetisi di manapun. Untuk menilai siapa yang lebih baik, sebaiknya anda menggunakan data yang ada, dan anda menentukan sendiri siapa yang lebih baik,” kata Keskar setengah menantang.

Menanggapi kebijakan Uni Eropa itu, Menteri Perhubungan Jusman Syafi’i Djamal mengatakan, sebenarnya dengan pengkategorian perusahaan penerbangan yang dilakukan pemerintah, peraturan standar keselamatan penerbangan Indonesia untuk kategori satu sudah hampir 100% memenuhi ketentuan penerbangan Uni Eropa.

“Sekarang memang tidak ada pesawat Indonesia yang menerbangi rute ke Eropa. Tapi itu sangat berpengaruh terhadap image penerbangan kita di dunia internasional. Kami terus menguapayakan agar larangan terbang itu segera dicabut,” kata Jusman.

Mungkin, larangan terbang ke Eropa dicabut sekarang atau nanti, tidak begitu memusingkan Rusdi Kirana saat ini. Yang ada di pikiran Rusdi adalah bagaimana menjadikan Lion Air sebagai perusahaan penerbangan murah terbesar di Asia, dan bisa menerbangkan manusia sebanyak mungkin, make people fly. Rusdi terus larut dalam kesibukan bersama 6.000 karyawan Lion Air berseragam putih-putih.

Disclaimer: Tulisan ini dimuat dalam versi Bahasa Inggris di majalah Globe Asia edisi Februari 2008.

***