Jokowi Rebut Kembali Freeport, yang Dahulu Diwariskan Soeharto kepada Amerika!

Kamis, 3 Januari 2019 | 06:56 WIB
0
460
Jokowi Rebut Kembali Freeport, yang Dahulu Diwariskan Soeharto kepada Amerika!
Presiden Joko Widodo (tengah) berjabat tangan dengan CEO Freeport McMoRan Richard Adkerson (kedua kanan) disaksikan Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri), Menteri ESDM Ignasius Jonan (kedua kiri) dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Budi Gunadi Sadikin seusai memberikan keterangan terkait pelunasan divestasi PT Freeport Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (21/12/2018). Presiden mengumumkan pelunasan divestasi PT Freeport Indonesia dengan membayarkan 3,85 miliar dolar AS atau sekitar Rp56 triliun melalui PT Inalum sehingga telah resmi menjadi milik Indonesia. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/hp.(WAHYU PUTRO A)

"51,2% sudah beralih ke PT Inalum (Persero) dan sudah lunas dibayar," kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jumat (21/12/2018). 

Tak bisa dipungkiri, sebagai bangsa kita memang sudah sepatutnya bangga dengan capaian yang berhasil ditorehkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga menjelang akhir tahun 2018 ini. Salah satunya, keberhasilan Pemerintah menguasai 51,2% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Capaian ini tentu saja begitu istimewa, karena berpuluh-puluh tahun, saham yang kita miliki di perusahaan yang mengeruk kekayaan alam kita itu tak lebih dari 10%.

Perjalanan panjang RI mengembalikan Freeport ke pangkuan ibu pertiwi usai sudah. Bagaimana kita tak dibuat terharu, setelah 51 tahun lamanya, kita hanya menjadi penonton. Namun, kini Indonesia sudah menjadi penguasa saham mayoritas di tambang emas terbesar yang ada di bumi Papua itu. Ibaratnya, seperti kita kembali dipertemukan dengan sesuatu yang kita miliki dan telah lama menghilang.

Rasa bangga ini tentu saja wajib kita miliki, terlepas dari perbedaan pilihan dalam kontestasi Pilpres 2019 nanti. Alasannya cukup sederhana, karena apa yang dilakukan Jokowi ini semata untuk kemaslahatan rakyat dan bangsa kita sendiri. Bukan untuk dirinya, keluarganya, atau bahkan partai-partai pendukungnya.

Kita semua sepakat, budaya korupsi, kolusi, dan juga nepotisme (atau yang disebut KKN) adalah kejahatan sistematis dan terstruktur yang telah terjadi bertahun-tahun hingga membuat bangsa ini terpuruk, karena tidak mampu bertahan ketika menghadapi goncangan ekonomi dunia yang terjadi 20 tahun silam., hingga membuat runtuhnya sebuah rezim pemerintahan yang disebut Orde Baru (Orba).

Dan, soal kepemilikan saham Indonesia di PTFI yang tak kunjung meningkat, bisa diduga ada aroma KKN di dalamnya. Oleh karena itu, keberhasilan akuisisi 51,2 % saham PTFI baru bisa terlaksana, karena Pemerintahan di bawah Presiden Jokowi ini  bisa dibilang benar-benar bersih dan terbebas dari penyakit lama yang disebut KKN. Tanpa kredibilitas yang tinggi, tentu bukanlah hal mudah  bisa bernegosiasi dengan perusahaan raksasa sekelas Freeport. 

Penguasaan 51,2 % saham PTFI oleh Indonesia melalui perusahaan holding pertambangan PT Inalum (Persero) justru dinilai berbeda oleh mereka yang ada di kubu koalisi Prabowo-Sandi. Apa yang dilakukan Jokowi ini, menurut Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, merupakan kebijakan sontoloyo.

Wakil Ketua Partai Gerindra itu, PTFI tak perlu diambil alih. Kalau kontraknya habis dengan sendirinya PTFI akan jatuh ke tangan Indonesia.

Sepintas apa yang dikatakan Fadli Zon adalah hal yang benar. Namun, sebenarnya apa yang dikatakan tidaklah sesederhana itu, dan itu justru menyesatkan logika publik.

Seperti yang dikatakan Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali, pengambilalihan sebagian besar saham PTFI ini merupakan langkah berani yang ditempuh Presiden Jokowi.

Meskipun Freeport memang akan beralih ke tangan ke Indonesia, karena kontraknya akan habis 2021. Namun, sebelum itu dilakukan Jokowi, nyatanya tak satupun Presiden kita sebelumnya, yang secara tegas bersikap untuk merebut Freeport untuk dikuasai Indonesia.

Apa yang dikatakan Fadli Zon dianggap menyesatkan, karena yang dimiliki Indonesia saat ini adalah kekayaan alamnya, yang meliputi tanah, tambang emas, tembaga, dan sebagainya. Sementara itu, PTFI merupakan perusahaan yang mengelola kekayaan alam Indonesia. Jadi, PTFI juga tetap membayar pajak hingga royalti, bahkan sebagai salah satu penyumbang pajak terbesar.

Sekadar untuk diketahui, PTFI bukanlah milik Indonesia. Jika PTFI selesai masa kontraknya, dan kemudian diusir dari Tanah Papua, mereka tentu akan membawa semua apa yang mereka miliki yang selama ini digunakan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi Papua.

Dengan kata lain, Indonesia tidak bisa mengelola emas yang ada di Papua dengan cara-cara konvensional. Seperti yang dikatakan Rhenald Kasali, kalau kita mau kita harus membayar kompensasinya.

Begitu juga, jika Indonesia hanya ingin menguasai tanahnya. Indonesia bisa saja mengusir Freeport dan membangun perusahaan baru di atasnya. Namun, kata Rhenald, butuh waktu puluhan tahun untuk membangunnya dan membutuhkan biaya jauh lebih besar.

Fadli Zon atau yang lainnya dari Prabowo-Sandi seakan tidak mau mengakui bahwa apa yang terjadi dengan PTFI merupakan kebijakan yang dahulu diambil oleh rezim Orde Baru (Orba). 

Saat ini, rezim tersebut melalui Partai yang diketuai Hutomo Mandala Putra Suharto (Tommy Soeharto), yang tidak lain adalah putra bungsu penguasa Orba Soeharto. Tommy Soeharto bersama kakak-kakaknya menjadi salah satu pendukung koalisi Prabowo-Sandi.

Tentu saja, Fadli zon dan lainya akan membela mati-matian dan mengatakan kebijakan yang diambil Jokowi ini merupakan kebijakan sontoloyo.

Dengan begitu, rakyat juga dibuat seakan percaya dengan apa yang dilakukan Soeharto terhadap Freeport adalah sesuatu yang benar. Bayangkan selama hampir 51 ini, dengan nilai saham sebesar hanya 9,36%, begitu tak sebanding dengan besarnya kekayaan alam kita yang dilarikan keluar.

Padahal, semuanya milik kita. Itulah yang dilakukan rezim Orde Baru dibawah pemerintahan Suharto yang bertahan selama 32 tahun.

 

Tambang Freeport di Papua./Vivaco.id
Sejak awal, Presiden Pertama RI Sukarno memang tak menginginkan apabila sumber daya alam yang ada di bumi Indonesia ini harus dikuasai asing. Menurut Sukarno, SDA yang ada sebaiknya diolah sendiri oleh putra-putri Indonesia, karena hasilnya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. 

Karena itu, di masa Pemerintahan Sukarno, tak sedikit putra-putri kita diberikan beasiswa untuk belajar keluar negeri agar nantinya bisa mengolah sendiri apa yang dimiliki Indonesia, termasuk mengolah kekayaan alam Indonesia. Namun, kondisi politik yang semakin memburuk  begitu merugikan posisi Presiden Sukarno. Sukarno tak lagi punya kekuasaan.

Namun, berbeda dengan Soeharto. Sebagai modal untuk menjalankan pemerintahannya, Soeharto justru menjalin hubungan yang begitu erat dengan Amerika Serikat. Karena itu, Soeharto sontak memberikan karpet merah bagi Amerika untuk mengeruk kekayaan alam bumi Papua yang memang sudah jauh-jauh hari sudah menjadi incaran Negeri Paman Sam itu. 

Melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 (UU No.1/1967) tentang Penanaman Modal, Suharto mulai mengundang asing ke Indonesia. BAhkan, Undang-Undang itu sudah disahkan sejak 10 Januari 1967, dimana saat itu Sukarno sebenarnya masih menjadi Presiden, namun kekuasaannya sudah tergerogoti. Sedangkan Soeharto baru ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967, setelah pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno (Nawaksara) ditolak MPRS.

Setelah dilantik, Soeharto langsung  membuat kebijakan, yang dampaknya panjang secara ekonomi, yaitu memberikan kontrak karya kepada Freeport selama 30 tahun. Kontrak karya yang begitu merugikan negara itu, tentu saja dicurigai menguntungkan pejabat yang berkuasa saat itu.

Awalnya, diketahui PTFI hanya memiliki konsesi buat menambang wilayah seluas 10 ribu hektare. Namun, lewat kontrak barunya,  rezim Soeharto memberi izin perluasan hingga 2,5 juta hektar pada 1989.

Belakangan diketahui bahwa PTFI menemukan cadangan emas yang  tak jauh dari Ertsberg. Tetapi kontrak Karya I yang seharusnya habis pada 1997 telanjur digantikan dengan Kontrak Karya II yang bakal jalan terus sampai 2021.

Kontrak karya yang dianggap menguntungkan Amerika itulah  diubah oleh Jokowi. Pemerintahan Jokowi ingin mengubah status dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Tentu saja Freeport tidak tinggal diam. Mereka mengancam akan membawa Indonesia ke Arbitrase Internasional. 

Pemerintahan Jokowi terus ngotot, yang akhirnya tujuannya  untuk menguasai 51,2 saham PTFI sudah terlaksana meskipun itu dilakukan dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Namun, secara bisnis prospek dan keuntungan yang didapat  bisa jauh lebih besar dari apa yang dikeluarkan. Selain itu, Pemerintah Daerah Papua pun mendapatkan bagian 10% saham, yang sejak dahulu tak pernah dipikirkan.

Namun, tahukah apa yang akan dilakukan Prabowo-Sandi? Jika memenangkan Pilpres 2019 nanti, pasangan yang didukung rezim Orba ini sudah mempunyai rencana atau langkah-langkah untuk meninjau kembali apa yang telah dilakukan Presiden Jokowi.

"Insya Allah nanti kalau Pak Presidennya terpilih Pak Prabowo kita tinjau kembali. Kita akan tinjau dan evaluasi kembali itu," kata Ahmad Yani, usai deklarasi Pass lantang di Seknas Prabowo-Sandi, Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta, Minggu 23 Desember 2018

Duh!

 

sumber:

1. TIRTO.ID (21/02/2017) "Freeport di Papua ialah Warisan Daripada Soeharto"

2. VIVA.CO.ID (23/12/2018) "Prabowo Menang, Akuisisi Saham Freeport Akan Ditinjau Ulang"

***