Mendukung Produksi Dalam Negeri dengan Kritis

Bagaimana kalau pemerintah membantu membeli? Boleh saja. Tapi ada syarat, dong. Harus jelas, sampai kapan mobil ini harus terus dibantu, mulai kapan akan mandiri.

Minggu, 8 September 2019 | 18:48 WIB
0
490
Mendukung Produksi Dalam Negeri dengan Kritis
Presiden Joko Widodo menjajal Esemka (Foto: Agus Suparto)

Saya paham betul bagaimana pentingnya peran industri dalam kemajuan bangsa. Sudah belasan tahun saya bekerja di industri manufaktur. Selama itu terlalu banyak keprihatinan saya tentang terbengkalainya pembangunan industri nasional, dalam berbagai bidang. Sekadar sebuah obeng saja masih ada yang kita impor. Industri kita ngapain aja?

Tentu saja setiap industri dalam negeri saya dukung. Saya beli sendal, baju, meja, kursi, semen, dan begitu banyak produksi dalam negeri. Sebagai konsumen, saya menikmati banyak manfaat produk dalam negeri yang berkualitas.

Tapi saya selalu waspada kalau ada bisnis yang begitu dekat dengan kekuasaan. Saya selalu waspada kalau ada bisnis yang sejak awal sudah memanfaatkan kekuasaan politik. Saya sangat ngeri bila pelaku bisnis, pada saat yang sama juga adalah politikus.

Saya kritis terhadap blue energy di zaman SBY. Ujungnya, bodong. Saya juga kritis terhadap mobil listrik Dahlan Iskan. Ujungnya ada yang masuk penjara. Hal-hal seperti itu yang sangat saya waspadai.

Bagaimana sebaiknya?

Kita punya banyak industri dengan produk bermerek lokal yang sudah maju. Contohnya, industri elektronik Polytron. Juga bisnis grup Maspion. Saya beli beberapa produknya, tanpa perlu ribut. Kenapa? Karena mereka jual produknya sama seperti perusahaan lain jual produk. Laku atau tidaknya produk mereka, terserah pada pilihan konsumen. Tidak ada yang meneror saya dengan tuduhan tidak nasionalis kalau saya tidak beli produk mereka.

Jadi, setiap pengusaha yang berbisnis, sepatutnya kita perlakukan seperti itu.

Kalau orang yang berasal dari lingkaran kekuasaan, berbisnis, produknya di-endorse penguasa, bagaimana? Ya silakan saja, sejauh tidak ada aturan yang dilanggar. Tapi setiap warga negara perlu mewaspadainya. Sudah terlalu banyak contoh kolusi yang menghabiskan uang negara akibat kolusi jenis ini. Jadi, jangan mudah dikelabui dengan kata-kata keren "produk anak bangsa".

Apakah kalau politikus berpolitik sekaligus berbisnis itu otomatis salah? Tidak. Kalau salah, kan bisa ditangkap dan diadili. Tapi sekali lagi, warga negara harus kritis. Kritisnya sejak awal. Jangan baru melongo kalau nanti sudah ketahuan bodongnya.

Pengalaman saya, bahkan ketika sudah ketahuan bodong pun masih saja ada yang mendukung. Apalagi yang abu-abu.

Nah, dalam hal mobil Esemka, saya sangat mendukung kalau mobil ini memang karya anak bangsa. Maksudnya, kalau mobil ini memang desain asli anak bangsa, dan diproduksi oleh anak bangsa. Jangan sampai mengikuti jejak Timor, sebuah monumen kolusi yang legendaris.

Bagaimana kalau ternyata masih pakai komponen Cina? Tidak masalah. Tapi harus ada rencana dan road map yang jelas, kapan akan mulai mandiri. Kalau tanpa target dan rencana, itu namanya bukan bisnis manufaktur, itu makelar.

Baca Juga: Esemka, Tetes Keringat Putra Indonesia

Soal pemasaran bagaimana? Idealnya, mereka bersaing di pasar bebas. Produk bagus pasti laku. Yang jelek, biar pun diberi iming-iming surga kalau membelinya, tetap tidak akan laku.

Bagaimana kalau pemerintah membantu membeli? Boleh saja. Tapi ada syarat, dong. Harus jelas, sampai kapan mobil ini harus terus dibantu, mulai kapan akan mandiri.

Pemerintah harus mendapat rencana yang meyakinkan dari produsennya, dan rencana itu dikomunikasikan secara transparan kepada publik. Karena yang dipakai untuk beli itu adalah uang publik.

Tanpa itu semua, maaf, ini rawan kolusi. Rawan korupsi. Pola kolusi pengusaha dan penguasa sudah terlalu banyak, sehingga tidak perlu kita tambah lagi.

Prinsip saya: Jangan pernah memaklumi para politikus.

***