Berakhirnya Era Bengkel Murah

Bisnis bengkel nggak lagi remeh-temeh. Semua butuh peralatan lengkap, keahlian yang mumpuni dan spesifik di bidangnya masing-masing.

Sabtu, 19 Juni 2021 | 18:12 WIB
0
256
Berakhirnya Era Bengkel Murah
Hermas Prabowo (Foto: gridoto.com)

Bengkel mobil. Identik dengan kotor, SDM yang rendah pendidikan, kelas bawah, remeh-temeh, kerjaannya gampang, bisa dilakukan siapa saja asal dia mau... karenanya harus murah.

Stigma bengkel di Indonesia yang semacam itu tidak terlepas dari sejarah pertumbuhan mobil.

Zaman Orde Lama, saat kita baru merdeka, mobil masih jadi barang langka. Era Orde Baru, sudah mulai berkembang, tapi tidak banyak pilihan dan varian. 

Mobil-mobil Toyota, saat itu boleh dibilang mendominasi pasar. Persaingan tidak begitu ketat.

Pada masa itu daya beli masyarakat juga masih rendah. Begitu juga tingkat pendidikan dan melek teknologi.

Karenanya, mobil-mobil yang di jual di pasar Indonesia saat itu "hendaklah" yang terjangkau, dan tentunya minim teknologi. Masyarakat dianggap belum mampu dan siap dengan kehadiran mobil berteknologi tinggi. Begitu kira-kira jalan pikirannya.

Karena mobil-mobil yang ada rendah teknologi, tuntutan terhadap mekanik juga rendah, dan tentunya murah. Menjadi mekanik mobil di masa itu juga mudah. Yang penting mau. Pasti bisa. Nggak perlu sekolah. Apalagi sekolah tinggi.

Pendek kata, siapapun dia, asal dia mau, punya tenaga, bisa jadi mekanik. Gajinyapun suka-suka. Ada yang sekadar dikasih makan, udah senang.

Ada yang dibayar hanya kalau lagi ada kerjaan. Yang penting bisa dapat sedikit ilmu. Di masa itu hampir tidak ada mekanik, utamanya untuk bengkel skala UMKM, yang bergaji tetap.

Menjadi mekanik saat itu memang tidak susah. Apa susahnya ganti ban, per, shock absorber, ganti busi, water pump, stel platina, atur timing pengapian, ganti koil, atau perbaiki rem dan sistem pendingin.

Gak ada yang susah. Dalam logika sederhana tingkat SD sekalipun bisa.

Bahkan nggak perlu sekolah, asal logika jalan bisa. Mekanik dengan pendidikan SMP rasanya terlalu mewah saat itu. Apalagi sarjana, jangan harap mau.

Selain kotor dan degil, penghasilan rendah, bahkan tidak pasti. Jaminan hidup tidak ada, masa depan suram. Belum lagi bersaingnya tidak level, dengan mereka yang berpendidikan rendah.

Kerja montir saat itu, sepenuhnya menangani kerja mekanis, sedikit hidrolis dan kelistrikan. Lepas baut, pasang. Cuma itu. Yaa... cuma itu, nggak lebih. 

Kalau ada yang ngotot dan bilang sulit, pasti karena logikanya saja yang tumpul. Fakta itu pula yang dicatat customer puluhan tahun. Kotor, degil, rendah SDM, mudah dan karenanya harus murah.

Gagap teknologi

Era Orde Baru berakhir. Reformasi datang. Pasar mobil di Tanah Air kian terbuka. Teknologi banjir bak air bah.

Komputerisasi hadir di setiap bagian dan sudut mobil. Sebagai sistem pengendali (control modul) kerja komponen mekanik.

Ada mobil yang pakai dua komputer, empat, lima, tujuh, sembilan, belasan bahkan puluhan komputer.

Ada ECU untuk mesin, TCM untuk transmisi, IC untuk instrumen cluster, HVAC, air bag. Ada komputer untuk memonitor tekanan ban, jarak antar mobil, lampu, sistem parkir, pintu, penghangat kursi, battery, sistem pengereman, distribusi power, kipas radiator, keseimbangan mobil, suspensi, sistem audio-video, sistem pengaman, sun roof, pendingin ruangan dan banyak lagi.

Masing-masing komputer tidak bekerja sendiri. Saling berbagi informasi. Akibatnya, gejala yang timbul di mesin misalnya, belum tentu pemicunya dari mesin. Bisa dari ABS, BCM, sistem pengaman, TCM atau yang lainnya.

Komunikasi antar komputer pengendali juga berjenjang. Ada jalur komunikasi real time yg butuh kinerja cepet dengan protokol high speed, ada yang perlu sedang ada yang rendah juga nirkabel. Semua ada.

Kelistrikan juga tidak kalah kompleks. Kabel di mana-mana, berserak di kolong, dinding, dashboard, ruang mesin.

Mobil zaman dulu hanya butuh kabel untuk pengapian mesin, atau lampu saja. Sekarang semua bagian butuh kabel. Satu mobil bisa saja butuh kabel yang kalau di sambung panjangnya berkilo-kilo meter.

Celakanya, kabel-kabel itu pembawa muatan pesan. Kabel-kabel jalur informasi, jalur signal juga data yang bila bermasalah, bisa melumpuhkan sebagian atau bahkan semua sistem dalam mobil.

Bisa saja mobil jalan, lalu nggak lama rontok gearbox maticnya. Arau bahkan mogok. Atau mobil lagi jalan tiba-tiba mesin mati, semua lampu indikator juga mati. Semua bisa terjadi tiba-tiba. Tanpa gejala. Kok bisa begitu?

Meski sama-sama menggunakan komputer, komputer pada mobil beda dengan komputer desktop, laptop atau HP. 

Pada komputer mobil, outputnya dalam bentuk perintah kepada aktuator, sebagai pengatur kerja komponen mekanik.

Ketika perintah itu bertentangan satu dengan yang lain, bisa memicu kerontokan komponen. Dengan kata lain, risiko kerja mekanik sekarang jauh lebih besar.

Kita sulit memahami, komponen elektronika yang super kecil seperti resistor, dioda, kapasitor, atau komponen semikonduktor, bila dia bermasalah, melumpuhkan sistem kerja mobil. Jangankan untuk jalan, mesin hiduppun tidak bisa.

Atau, mobil rasanya bermasalah, tapi dilacak dengan scanner yang mahal sekalipun, tidak terlacak. Masalahnya pun hanya muncul kadang-kadang. 

Masalah yang muncul, semakin kompleks. Dengan kompleksitas masalah yang makin tinggi dan risiko kegagalan dalam penanganan besar, butuh waktu lebih lama untuk perbaikan. Ketidakpastiannya juga tinggi dan perlu beragam disiplin ilmu untuk perbaikannya.

Anda jago dalam perbaikan komponen mekanik. Tapi keahlian Anda tidak bermanfaat saat menghadapi problem hidrolis. Begitu sebaliknya.

Kalaupun Anda menguasai dengan baik keduanya, Anda tidak berguna bila mobil mengalami gangguan kelistrikan atau komputer. Anda jago komputer, juga tidak menguasai kelistrikan dan sistem wiring, itu tidak ada artinya.

Menariknya, teknologi pada mobil itu terus berkembang. Saling kejar, saling salip. Selalu berubah setiap waktu, nggak kenal lelah dan jangan harap berhenti.

Hari ini kita jago memperbaiki mobil A, bulan depan saat mobil baru B datang, keahlian kita jadi masa lalu. Begitu cepatnya inovasi teknologi itu terjadi. Sangat dinamis.

Saya berani bertaruh, ketika mobil Anda yang full electrical dan komputer mengalami masalah, sekarang Anda tidak akan mampu memperbaiki mobil sendiri, sekalipun (maaf) Anda seorang sarjana, master, doktor atau profesor. Atau mungkin, (maaf) Anda seorang perwira menengah atau jenderal sekalipun.

Kecuali kalau problemnya sederhana, sekadar ganti ban, busi, ya bisa. Kalau menyangkut sistem suspensi udara, transmisi matic, sistem pendingin otomatis, sistem kontrol tekanan ban, kampas rem dengan sistem adaptation, gangguan instrumen cluster. Saya pastikan tidak bisa.

Saya sering ketemu customer yang bilang, "Ah, cuma begitu saja, betulin perpindahan gigi otomatis yang gak halus kenapa mahal?"

Dengan santai saya jawab, "Maaf, kalau memang gampang menurut Bapak, mohon dibetulkan sendiri di rumah. Coba, itung-itung latihan."

Dia lantas pulang. Beberapa hari kemudian biasanya balik lagi. "Mas, ternyata susah ya. Nggak ngerti saya gimana cara kerjanya."

Sudah berakhir

Era bengkel murah sudah berakhir. Dengan kompleksitas sistem dan masalah yang ada di mobil sekarang, menjadikan biaya perbaikan mobil zaman sekarang tidak bisa lagi murah.

Mekanik, tidak bisa lagi hanya lulusan SD, SMP. Apalagi yang nggak sekolah dan hanya modal kemauan. Minimal lulusan SMK atau Sarjana. Bergaji tetap, bulanan. Itupun begitu lulus, 100 persen nggak bisa langsung terjun jadi mekanik handal.

Setidaknya jadi helper dulu. Bisa tiga, empat atau lima tahun sebelum benar-benar menjadi mekanik. Jalan pintasnya kursus di tempat yang tepat.

Dan, kemampuannya hanya sanggup menangani perbaikan masalah tertentu saja, misalnya problem mekanis dan sedikit hidrolis. 

Untuk masalah kelistrikan dan komputer, butuh mekanik lain dengan bakat dan keahlian di bidang itu. Fokus di bidang itu saja. Butuh cepat, kursus singkat lagi.

Kalaupun pada akhirnya bisa, ketika muncul inovasi teknologi baru lagi yang ada di mobil, dijamin nggak bisa betulin lagi. Butuh orang lain yang secara terus menerus belajar inovasi teknologi sebelum disupply ke sang mekanik.

Butuh seorang teknisi ahli yang betul-betul kompeten, memiliki berbagai disiplin ilmu dengan baik dan tidak pernah berhenti menimba ilmu. 

Dan seorang teknisi ahli tentu tidak murah harganya, dan tidak mudah mendapatkannya. Investasi untuk pengembangan SDM-nya mahal dan penuh risiko.

Berbeda dengan dunia kedokteran. Kami sering menyebutnya "bengkel manusia". Dokter spesialisnya dicetak perguruan tinggi setiap tahun. Teknisi ahli, tidak ada yang mencetaknya.

Mekanik zaman sekarang yang handal, menguasai masalah dan bisa mengatasi problem mobil sendiri, nggak ubahnya dokter. 

Ada dokter umum, spesialis dan sub spesialis. Profesi mekanik sekarang nggak bisa lagi sekadar kerja sambilan, batu loncatan. Tapi sudah jalan hidup.

Belum lagi butuh dukungan peralatan perbengkelan yang tidak murah, ada yang puluhan juta harganya, ratusan, hingga miliaran rupiah. Alat-alat itu musti di update, kalibrasi, dan pada saatnya harus diremajakan.

Melihat situasi di atas, perbaikan mobil zaman sekarang nggak bisa lagi murah, apalagi murahan. 

Bengkel murah, tidak akan mampu menyediakan mekanik dan teknisi handal yang berkelanjutan, spesialis di bidangnya. Kalau mobil ditangani mekanik yang bukan spesialisasinya, hanya mendatangkan masalah baru.

Bisnis bengkel nggak lagi remeh-temeh. Semua butuh peralatan lengkap, keahlian yang mumpuni dan spesifik di bidangnya masing-masing.

Kita nggak bisa jadi dokter jantung, dokter bedah, dokter mata sekaligus dokter syaraf yang hebat pada saat yang sama.

Kita juga nggak bisa jadi penembak jitu, petarung, pengatur strategi, bomber, intelijen yang hebat pada saat yang sama.

Begitu juga dengan mekanik dan bengkel. Semua butuh spesialisasi. Dan, spesialisasi itu tidak murah.

***

HERMAS PRABOWO, pegiat Persatuan Bengkel UMKM