Perang Dagang AS Vs China dan Proses Deglobalisasi

Senin, 14 Januari 2019 | 22:07 WIB
0
777
Perang Dagang AS Vs China dan Proses Deglobalisasi
Perang Dagang AS vs China (Foto: CNBC Indonesia)

Era globalisasi yang disusun beberapa dekade silam seperti bakal kandas oleh negara pencetusnya sendiri. Yah, perang dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi titik balik dari klausal-klausal pasar bebas yang telah ditandatangani oleh sebagian besar bangsa-bangsa di Indonesia.

Dalam perdagangan bebas atau globalisasi proteksionis sebuah bangsa terhadap produk-produk industrinya menjadi kartu merah yang bisa berujung pada persengketaan ekonomi antara bangsa-bangsa bahkan bisa memicu saling balas sehingga memicu perang dagang.

Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Donald Trump tengah mengembangkan kebijakan ‘American First’ yang tentunya membuat gerah bagi pesaing maupun sekutu Eropanya. Kebijakan tersebut pun diterapkan pada sector ekonomi.

Trump berpikir saat ini Amerika Serikat mengalami defisit perdagangan yang cukup dalam, terutama dari pesaingnya, China yang dianggap banyak mengambil keuntungan ekonomi dari transaksi ekspor impor diantara kedua raksasa tersebut.

Buntutnya, Trump memberlakukan pembatasan impor perdagangan di antara kedua belah pihak guna merugikan perdagangan satu dengan yang lain. Ancaman kenaikan tariff hingga US$ 60 miliar dari produk yang belum tentukan dari impor China sebagai balasan pencurian kekayaan intelektual yang dicuri China dari AS.

Meski serangan akan memberlakukan tarif dan 10 persen untuk produk baja dan alumunium kepada China, namun hal tersebut juga ditujukan bagi sekutunya di Eropa. Sehingga kini Eropa pun siap mengancam akan menarik tarif impor dan barang impor dari Amerika Serikat.

Jika Eropa belum beraksi untuk membalas ancaman tersebut, hal itu dikarena AS menerapkan kebijakan pengeculian terlebih dahulu dan tengah fokus menyerang China. Ancaman Trump terhadap kenaikan tarif logam pun mendapat respon keras dari China dengan mengancam produk seperti anggur, buah pipa baja, dan ekspor lainnya hingga mencapai US$ 3 miliar.

Meski demikian, AS juga memiliki kecemasan terbesar yang tak bisa ditutupi yaitu, China merupakan kreditur terbesar AS –dengan mengurangi pembelian obligasi sebagai balasannya– Duta Besar China untuk AS pun mengakui tidak mengesampingkan opsi tersebut.

Sementara itu, efek kebijakan Ámerican Fisrt’ juga membuat dongkol sekutunya. Bahkan Uni Eropa telah memperingati akan menanggapi serangan kenaikan tarif baja dengan menaikan tariff 25 persen pada produk impor AS yang ikonik hingga mencapai US$ 3,5 miliar.

Peringatan Uni Eropa tersebut untuk menaikan tarif produk motor, celana jins, dan wiski, malah mendapatkan tantangan balik dari Trump. Ia pun mengatakan bakal mengenakan pinalti sebesar 25 persen pada impor mobil Eropa, jika sekutunya merealisasikan peringatannya tersebut.

Siapa Pemenang Perang Dagang?

Perang dagang antara AS dan China sejatinya sangat merugikan kedua belah pihak, bahkan karena yang berperang adalah dua raksasa ekonomi, tentunya akan berimbas bagi perekonomian global. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa perang dagang sebelumnya yang dilancarkan oleh Presiden George W Bush yang menarikan tarif baja pada tahun 2002 silam.

Akibatnya, menurut Komisi Perdagangan Internasional AS, tercatat  Amerika Serikat mengalami penurunan Produk Domestik Bruto hingga mencapai US$ 30,4 juta. Bahkan Amerik kehilangan 200 ribu tenaga kerja – 13 ribu diantaranya sebagai tenaga kerja dalam pembuatan baja mentah.

Bahkan menurut Peterson Institute for International Economics, memperkirakan tarif Bush mencakup US$ 400 ribu untuk setiap pekerjaan industri baja yang diselamatkan. Parahnya lagi perang dagang yang dilakukan ditetapkan oleh WTO  dianggap illegal.

Imbas Perang Dagang bagi Indonesia

Prof. Dorodjatun Kuntjoro Jakti sudah dari tahun lalu memberikan warning kepada bangsa ini tentang arus balik deglobalisi. Pasalnya kedepan, fenomena yang berlaku pada setiap bangsa cenderung malah melihat ke dalam. Saat ini mereka sibuk mengamankan pasarnya masing dan sudah tidak memperdulikan lagi akibat dari proteksionis yang mereka terapkan.

Perang dagang yang dikobarkan oleh Donald Trump pun berimbas kepada kebijakan yang tidak adil. Demi menyelamatkan para petani di negaranya, pemerintah AS pun menerapkan bea masuk tambahan terhadap produk biodiesel yang membuat produk Indonesia kalah bersaing di pasar Amerika.

Aksi balasan terhadap proteksionistis AS terhadap petaninya mendapatkan kecaman dari Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Wapres pun memerintahkan kepada Menteri Perdagangan untuk menghentikan impor kedelai dari negara Paman Sam yang mencapai US$ 5 miliar atau berkisar Rp 65 triliun.

Apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia menghadapi imbas dari perang dagang dunia ini. Menurut  peraih Nobel bidang ekonomi, Jeffrey Sachs :

  1. Bangsa Indonesia harus mendorong kemampuan generasi muda Indonesia untuk menguasai teknologi modern dan ilmu pengetahuan.
  2. Melakukan pengembangan riset, bahkan pemerintah telah menerbitkan UU investasi, dengan memberikan intensif pajak bagi perusahaan yang melakukan riset. Bahkan intensif yang dikeluarkan mencapai 300 persen dari biaya yang dikeluarkan.
  3. Memanfaatkan pasar dalam negeri yang besar – dari beberapa survey beberapa pertimbangan investor menanamkan modalnya di Indonesia karena memiliki pasar yang besar, dan memiliki daya beli tinggi dari golongan kelas menengah.

Ketiga faktor tersebut harus terus didorong oleh pemerintah, meski belum menguasai teknologi maju sepenuhnya, namun yang menjadi keunggulan Indonesia tersebut memiliki pasar yang besar dan daya beli yang tinggi.

Hal serupa telah dilakukan oleh Jepang dengan mencukupi pasar domestik terlebih dahulu, kemudian sisanya mengekspor produknnya keluar negeri. Jangan sampai kasus garam di Indonesia terulang kembali yang dapat mengancam industri makanan, minuman, kaca, lensa, dan kimia.

Kebijakan pemerintah memberikan intensif bagi riset menjadi dorongan pemerintah agar tidak menjadi korban pertikaian raksasa dunia.

***