Arkademi

Ketika investor raksasa datang bermaksud menanamkan modal atau membeli perusahaan, ia bukan hanya akan bertanya siapa pendirinya, tetapi ia juga akan bertanya siapa para "angel investor"-nya.

Sabtu, 12 Maret 2022 | 08:23 WIB
0
296
Arkademi
Saya di kantor pertama Arkademi.com (Foto: dok. Pribadi)

Ini foto diri saya yang diabadikan akhir 2018 atau awal 2019 ketika awal mula arkademi.com berdiri, sebuah platform kursus online bersertifikat pertama di Indonesia. Tempat di mana peristiwa diabadikan adalah di kantor pertama Arkademi di bilangan Depok. Kehadiran Arkademi langsung "merusak" (disrupt) lembaga kursus konvensional, kemudian mendapat "traction" penting saat terjadinya pandemi di mana gerak-langkah manusia menjadi terbatas.

Zoom dan juga Arkademi "mendapat berkah atas musibah", apalagi Arkademi mendapat durian runtuh berupa progam Prakerja. Maka, Arkademi pun berpotensi menjadi calon raksasa yang berprospek sangat baik. Saat ini Arkademi diawaki 70-an karyawan dan berkantor di bilangan Cinere.

Jelek-jelek begini saya adalah "angel investor" bersama 9 rekan lainnya yang urunan mengumpulkan uang sehingga tercukupilah dana yang diperlukan founder Hilman Fajrian untuk menjalankan bisnis rintisan digital ini. Saat pendirian perusahaan ini, saya diwakili nyonya Tantri Sulastri dan ananda Zhaffran Munggaran berhubung saat bersamaan saya masih nglencer di Rusia dan Eropa Timur. 

Tiga tahun kemudian, September 2021, sesuai aturan perusahaan yang tertuang dalam akta notaris, kami para "angel investor" sudah boleh menjual saham yang kami miliki, di mana per-Maret tahun ini nilai selembar saham sudah menjadi 35 kali lipat dari saham pertama yang kami beli di tahun 2018 lalu. 

Itu baru ketika penjualan saham baru Pre-A Series. Diperkirakan, saat saham Seri A masuk, nilai saham sudah merangkak menjadi 160 kali di tahun 2024 atau dua tahun lagi (bisa lebih cepat), Insya Allah. Meski hanya memiliki beberapa lembar saham saja, saya pribadi sangat mensyukurinya.

Sebagaimana galibnya proses "exit" bagi para "angel investor", dibentuklah SPV (Special Purpose Vehicle), sebuah kendaraan (baca perusahaan dalam perusahaan) yang bertugas menjual saham. Kami, para "angel investor" bisa menghimpun diri dalan perusahaan bentukan itu untuk menawarkan saham yang kami miliki kepada investor baru atau investor lama yang sudah masuk ke Arkademi. Sesungguhnya, menjual saham sendiri kepada perorangan atau perusahaan pun bisa dilakukan sendiri secara mandiri. 

Namun sebagaimana hukum ekonomi, jika tahu ada madu dalam sebuah sarang lebah, mengapa tidak menawarkan diri sebagai "broker" atau "calo" dengan menawarkan harga mencekik -dalan arti meminta prosentase 25 persen saham (bisa juga lebih dari jumlah itu, suka-suka si "calo") sebagai upah memeras sarang lebah menjadi madu. Padahal, dana untuk membentuk SPV sendiri diperkirakan makan 15 persen saham. Jika ditambah dipotong pajak 20 persen, maka selembar saham "hanya" bernilai 40 persen dari harga yang berlaku.

Untuk mengindari "calo" yang haus madu inilah sejumlah "angel investor" membentuk semacam paguyuban (belum sampai pada pembentukan SPV), tujuannya tidak lain untuk menghindari "calo" yang tergiur atas nilai saham (meski saham minoritas) yang kami miliki.

Bukankah lebih baik kami menjual saham tanpa perantara atau "calo" itu sebagaimana galibnya kalau menjual rumah/properti yang berbunyi "dijual tanpa perantara"?

Saya pribadi -ini murni opini saya- akan sebisa mungkin menghindari "calo" bermental "tamak" (greedy) dengan menerapkan persentase sampai 25 persen atau bahkan lebih sesukanya dengan anggapan punya "bargaining position" yang tinggi. Kasarnya, "ga ada gue, lu lu pade ga bakalan bisa jual saham dah tu!"

Baiklah, kalau begitu saya pribadi akan tetap mempertahankan selembar saham yang saya miliki bahkan sampai bulukan sekalipun daripada merelakan "calo" menggerus seperempat nilai saham yang saya miliki. 

Saya tidak harus takut wong ada pasal dalam Undang-undang PT yang melindungi pemilik saham minoritas. Saya lebih suka menjadi "duri dalam daging" daripada tunduk kepada "calo" yang memiliki kekuatan "bargaining position" berlebih.

Percayalah, ketika investor raksasa datang bermaksud menanamkan modal atau membeli perusahaan, ia bukan hanya akan bertanya siapa pendirinya, tetapi ia juga akan bertanya siapa para "angel investor"-nya. Investor kakap baru bersedia menanamkan modal atau mengambil perusahaan yang "tanpa masalah" di dalamnya. Kalau diibaratkan air, riaknya tenang-tenang saja, tidak ada ancaman gelombang (baca: konflik) yang bakal mengganggu jalannya kapal di kemudian hari ketika sudah diambil alih.

Meski investor kakap yang akan masuk tidak harus bertemu langsung dengan para pemegang saham minoritas, tetapi "founder" atau pemegang saham mayoritas harus bisa meyakinkan bahwa di dalam perusahaan berjalan baik-baik saja tanpa ada masalah berarti.

Lain cerita kalau investor raksasa ngopi bareng bersama para "angel investor" pemilik saham minoritas sebagai upaya cek dan ricek, kami akan bilang kepadanya, "Sebaiknya minta selesaikan terlebih dahulu masalah di internal perusahaan sebelum Anda masuk, Sir!"

Bukankah ini "bargaining position" juga?

***