Lalu apa solusi yang saya tawarkan? Bukankah menghentikan media digital berlangganan justru mematikan pengembangan media digital itu sendiri?
Menurut Wikipedia, Portable Document Format atau PDF merupakan sebuah format berkas yang dibuat oleh Adobe System pada tahun 1993 untuk keperluan pertukaran digital. Format PDF digunakan untuk merepresentasikan dokumen dua dimensi yang meliputi teks, huruf, citra dan grafik vektor dua dimensi.
Sudah, cukup satu alinea saja mengutip Wikipedia, sebab tulisan ini bukan tentang teknologi informasi digital, tetapi tentang pemanfaatan dokumen berformat digital ini. Selalu, hukum yang berlaku dalam hal ini adalah "dua mata pedang" itu.
Di satu sisi PDF menjadi alternatif pengiriman dokumen yang menyerupai aslinya, meski tidak bisa ditulisi (read only), tetapi di sisi lain teknologi informasi ini menghancurkan harapan koran digital untuk meraih pelanggan (subscribers) di Internet.
Kok bisa? Tentu saja bisa. Buktinya, saya memperoleh belasan koran/majalah berformat PDF dari teman-teman Grup WA, padahal saya sama sekali tidak berlangganan!
Beberapa koran/majalah berformat PDF yang saya baca secara gratis itu antara lain Harian Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Media Indonesia, Tempo, Gatra dan bahkan Majalah Bobo!
Apakah para penerbit dan pembuat konten itu yang memberikan format PDF gratisan? Tentu saja tidak, bunuh diri namanya. Tetapi coba pikirkan, berapa format PDF yang terkirim setiap hari dan diterima orang-orang seperti saya, kemudian dengan mudah saya melanjutkan (forward) mengirim kepada orang lain kalau saya mau?
(Secara etis saya tidak pernah meneruskannya lagi kepada siapapun, cukup berhenti di saya saja)
Sebagai orang yang menerima PDF gratisan secara berlimpah -dan itu sangat saya butuhkan untuk menambah pengetahuan- saya tentu senang, wong tanpa mengeluarkan uang berlangganan saya tetap bisa membaca koran/majalah terkini pas bangun dari tidur.
Tetapi tetap saja saya sedih, sebab bagaimanapun saya pernah menjadi bagian dari bisnis koran (cetak) bernama Harian Kompas sebelum pensiun dini dan saya tahu Kompas digital berusaha meraup pelanggan sebanyak-banyaknya dari format digital.
Tentu saja PDF gratisan ini menjadi penghalang utama. Prinsip pengguna Internet di manapun, khususnya di Indonesia, "Kalau ada yang gratis, ngapain harus berbayar"? Bagi penerima PDF gratisan seperti saya, tidak perlu berpikir mengenai format digital yang lebih baik (semisal e-paper) kalau dari PDF gratisan itu saja apa yang termuat di koran/majalah sama persis, hanya beda media saja; satu kertas satunya lagi digital.
Saya ingin berdiskusi dengan Pemred Kompas Sutta Dharmasaputra atau pemangku Harian Kompas lainnya seperti Tri Agung Kristanto atau Wisnu Nugroho tentang fenomena PDF yang pasti mengganggu (atau menjadi penghalang) pesebaran koran berformat digital, sebab susah payah membuat konten, menjaga jurnalisme beretika yang ketat, membayar wartawan dan awak media, tetapi hasil semua jerih-payah itu dengan mudah disebarkan secara gratis!
Apakah yang menyebarkan koran/majalah berformat PDF itu salah? Tentu tidak. Dari sisi literasi, orang-orang ini sangat bermanfaat dan dalam pandangan saya semacam "Social Warrior Justice" juga. Jujur, saya diuntungkan dengan keberadaan mereka dan tidak terhitung orang yang seperti saya di dunia Internet.
Apa yang harus dilakukan para pemangku media seperti Kompas atau Tempo yang menjual konten dalam format digital untuk melawan PDF ini?
Terpaksa dengan pahit harus saya katakan; sebelum ditemukan software penangkal atau anti PDF, berpikir ulanglah untuk menjual media digital secara berlangganan!
Percayalah, jika pelanggan (print) setia sudah mengetahui ada PDF gratisan, mereka akan berpikir ulang untuk berlangganan media berformat konvensional (cetak). Alhasil, tekad mereka ini akan semakin menggerus pelanggan fanatik dan pelanggan potensial.
Saya menakut-nakuti? Tidak, justru saya sangat sayang kepada Kompas, tempat di mana saya pernah bekerja. Akan tetapi, "momok" PDF ini harus benar-benar menjadi pertimbangan dan berpikir ulang tentang bisnis digital media secara berlangganan.
Lalu apa solusi yang saya tawarkan? Bukankah menghentikan media digital berlangganan justru mematikan pengembangan media digital itu sendiri?
Solusi saya adalah; bikinlah media online yang paling banyak dibaca orang seperti saudara muda Tribunnewscom, bahkan kiat ini berlaku untuk Kompascom. Mungkin ada sanggahan, "Ah, Tribunnewscom itu beritanya 'ecek-ecek', bahkan tergolong berita 'sampah'."
Pahit tapi harus saya katakan, meski itu berita ecek-ecek atau berita sampah, tetapi hasil yang didapat adalah "emas berlian", padahal hanya mengandalkan iklan dari Google!
Ya, Google, sebagaimana Youtuber yang meraup uang sampai miliaran rupiah. Apa kunci Youtuber sukses? Selain pembuatnya orang terkenal, konten berlimpah, isi kontennya pun menarik perhatian, meski juga tergolong "ecek-ecek" dan "sampah". Google tidak peduli.
Mungkin ada pertanyaan, bukankah Kompas tetap mengejar kualitas sehingga konten yang dihasilkan pun harus berkualitas. Betul, saya setuju seribu persen. Tetapi, itukah yang dibutuhkan pembaca Internet? Padahal rumus bisnis di manapun adalah membuat barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari pelanggan!
Saya kira ini Pekerjaan Rumah (PR) yang berat bagi para pemangku media yang berkhidmat menjual koran/majalah berformat digital, sebab dipastikan tingkat penjualan media digital tidak akan pernah meningkat signifikan (spike), apalagi dengan "momok" PDF yang sudah makin populer dipertukarkan di WAG.
Saya pribadi sesungguhnya ingin selalu berkomunikasi dengan para petinggi Kompas dan para pemangku di dalamnya mengenai alternatif apa yang harus ditempuh jika model subscribers yang sudah dijalankan sekian tahun boleh dikatakan jalan di tempat.
Ah, semoga perkiraan saya meleset.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews