Membaca Pertanda dari Jokowi, Prabowo dan SBY

Selasa, 25 September 2018 | 07:53 WIB
0
836
Membaca Pertanda dari Jokowi, Prabowo dan SBY

Saya suka pilihan pakaian keduanya ketika kampanye damai yang mengawali kehadiran resmi mereka di ruang publik. Tentu saja saya harus sebut Prabowo dulu, walau dia dapat pilihan nomor 2 di Pilpres kali ini, bertukar posisi dengan Jokowi dibanding Pilpres 2014 lalu.

Walau apalah arti angka, bila itu hanya binary. Hanya 1 dan 2, apa bedanya dengan 0 dan 1, yang menjadi dasar pembuatan komputer yang super canggih sekalipun. Membuat Pilpres kali ini sungguh tak menarik "at all thing". Pada keseluruhan aspeknya.

Bagaimana seorang teman membaca angka 1 dan dan dua menjadi Jokowi 1 kali lagi sedang Prabowo kalah untuk ke 2 kalinya. Yang jika pun dibalik bagi pendukung Jokowi, bisa jadi Jokowi 2 Periode, dan Prabowo 1 kali lagi kalah. Suatu cara baca "waton menang, asal menang dan senang".

Tapi bukankah hal-hal seperti ini memang lebih menyenangkan daripada menyebarluaskan kebencian. Kebencian yang tidak akan mengubah apa-apa hasil akhir Pilpres, yang sebenarnya sangat mudah dibaca hasinya sejak bukan saja lima tahun terakhir, tetapi setidaknya 10 tahun sejak 2009.

Hanya Pilpres 2004, yang tampak "sulit teraba", yang kunci sebenarnya ada saat Gus Dur disingkirkan secara "aturan" karena dianggap memiliki cacat permanen, yang menggagalkannya ikut pertarungan secara konstitusional.

Jika saja Gus Dur mau ngotot, sebagaimana dia seharusnya bersikeras sebelum dijatuhkan oleh mafia politik (yang sialnya mereka masih bertahan dan semakin risak di hari ini), tentu sejarah Indonesia akan dicatat secara lain. Tak ada Hambalang, tak ada Century, tak ada KPK yang babak belur, tak ada DPR yang sekelas anak TK. Tak ada!

[caption id="attachment_22522" align="alignleft" width="478"] Prabowo dan SBY (Foto: Online24Jam.com)[/caption]

Dalam kampanye damai kemarin, Prabowo menggunakan pakaian orang Jawa model Mataraman Jogja, dengan blangkon dengan mondolan besar. Sayangnya ia tetap memilih warna sama yang biasanya dipakaikan dengan safari cream andalannya itu.

Alasannya tentu saja sangat sederhana, ia ingin menarik simpati orang Jawa yang jumlahnya sangat mayoritas dalam komposisi penduduk Indonesia. Nah disinilah masalahnya!

Entah tahu atau tidak pakaian yang digunakannya itu malah mirip pakaian jongos atau klerk restoran pada zaman Hindia Belanda dibanding pakaian seorang pembesar Jawa.

Pembesar Jawa itu cenderung menggunakan warna gelap untuk acara harian atau sekalian putih untuk acara kebesaran. Dan ini dikuatkan oleh pakaian Sandiaga Uno yang justru lebih gak jelas lagi, menggunakan peci, namun dengan pilhan baju yang sama. Keduanya di mata saya malah mirip kusir kereta kuda dengan kernetnya.

Sekali lagi, inilah potret para calon pemimpin bangsa, yang menggunakan pakaian itu bukan sebagai ageman. Ageman itu luhur sekali dalam budaya Jawa, ia sangat dihitung dan dipercaya memberikan tuah yang kalau hari ini disebut imaging (atau pencitraan).

Sekali lagi, saya gak ngerti konsultan Public Relations mana yang mereka sewa. Ini diperparah dengan para pengawal yang menggunakan "baju lurik" coklat hitam yang disebut ketan ireng. Jenis pakaian yang umumnya digunakan untuk acara dagelan dalam pertunjukan seni tradisi Jawa. Dan biasanya digunakan dengan tanpa dikancingkan, untuk menunjukkan suasana segar dan penuh humor.

Apa lancung, mereka gak mau nyewa saya sebagai konsultan jika berkenaan hal-hal kejawaan. Halah! Harusnya ia memilih Jawa, dalam konteks Jawa Barat saja yang masih mungkin mereka kangkangi.

Sebaliknya, saya suka pilihan Jokowi menggunakan pakaian Bali. Bukan saja, ia menunjukkan keberpihakan kepada kaum minoritas. Bali minoritas, bukan saja dari jumlah penduduk, agama yang mereka anut, dan gaya hidup asyik dan murni yang masih mereka lingkungi. Bali bagaimanapun adalah representasi Jawa di masa lalu yang menyingkir dan menepi (kalau saya salah gak perlu marah. Jitak saja!).

Mereka yang berbaur antara kaum Bali Aga yang asli dengan para pelarian Majapahit yang tersingkir (oleh siapa ya? jawab sendiri). Mereka yang masih gemulai dan gagah menari di sisa waktunya yang makin memadat, mereka yang masih bersedia memanggul sajen buah menjulang tinggi di atas kepalanya, mereka yang masih suka adu jago yang sialnya dipahami sebagai kriminalitas bukan lagi adu gengsi, mereka yang masih mempertahankan subak sebagai sumber air penghidupan mereka.

Walau mereka tampak tak tahan juga untuk jadi makin konsumeris, tapi tetap ada ruang riil untuk Tuhan, para dewata dan leluhur mereka. Jokowi memakai pakaian yang tepat saya pikir, ia menggunakan pakaian seorang dengan kasta ksatria yang menunjukkan untuk siapa dia bekerja. Sedangkan Maruf Amin menggunakan pakaian yang menunjukkan keulamaannya.

Tafsirnya menjadi sangat luas, saya gak tahu itu pakaian Melayu, Padang, Betawi, atau apa. Ia bisa apa saja, hanya dengan penonjolan ke-Islami-annya. Saya gak bayangkan kalau beliau tiba-tiba beliau pakai pakaian Suku Dani di Papua. Pasti akan heboh!

Tapi saya pikir kedua mereka gak suka bikin heboh-hebohan. Sudah bagus mereka memainkan peran minoritas dan mayoritas.

Tentang SBY yang "walk-out" dari acara itu. Apa sih pentingnya bekas presiden satu ini. Sikapnya itu cukup menjelaskan siapa dirinya. Saya suka dia menyingkirkan diri dari pergaulan politik, tanpa kita harus susah payah mengenyahkannya.

Oh ya Bung Beye, orang bisa melihat dirimu sedemikian hebat menyingkirkan Asia Sentinel untuk berhenti membuka aibmu. Sesuatu yang mudah diduga! Uang dan kroco-mu bergerak cepat menutup mulut mereka. Tapi tak semua jeri dan takut terhadap sepak terjang lebaymu yang sebenarnya sudah di ujung titik kritismu itu.

Ketika semua orang yang kamu anggap ada di genggamammu, tiba-tiba menyeberang mencari selamat. Dirimu akan tinggal bersisa berempat dengan istri dan kedua anakmu!

***