Apa pun nama restorannya sausnya pasti ini: Sriracha. Di kota mana pun. Di Amerika ini. Saya memang suka pilih Vietnam food. Terutama untuk makan siang. Terutama lagi di tengah perjalanan. Jalan darat. Jarak jauh.
Menu pilihan pun hampir tidak berubah: pho dan lumpia basah. Sesekali tambah chicken wing. Khas Vietnam.
Dari Alaska di utara. Sampai Alabama di selatan. Pho lagi. Pho lagi. Segar kuahnya. Enak mie berasnya. Lembut daging tipisnya. Hangat di tenggorokan. Hilang penat di pantat. Setelah begitu jeri mengemudi.
Lelah terobati. Lapar teratasi.
Praktis tidak perlu pesan minum. Kuahnya sudah semangkok besar. Besar sekali. Porsi Amerika masa kini.
Dulu orang bercerita. Untuk rasa Asia Tenggara. Masakan Thailandlah yang terpopuler di negeri manca.
Saya oposisi. Sampai mati: Masakan Vietnamlah juaranya.
Semua itu berkat perang. Berkat penderitaan. Berkat pengungsian. Besar-besaran.
Begitu banyak orang Vietnam di Amerika. Setelah perang Vietnam. Setelah Amerika gagal mempertahankan wilayah selatan. Dari serangan Vietnam utara. Yang komunis. Tahun 1975.
Begitu banyak yang ngeri komunis. Pilih mengungsi. Ada yang diangkut pesawat Amerika. Lebih banyak lagi yang mengungsi sendiri.
Naik apa saja. Terutama kapal. Perahu. Biduk. Tergopoh-gopoh. Mengabaikan keselamatan.
[caption id="attachment_22350" align="alignleft" width="552"] Saya di restoran (Foto: Disway.id)[/caption]
Asal tidak lagi di Vietnam.
Asal tidak di bawah komunis.
Tiba di Amerika mereka sudah kenyang menderita. Di perjalanan. Di lautan. Di barak pengungsian.
Mereka umumnya pernah hidup enak. Sebelum perang. Para pekerja keras. Para pedagang. Para Tionghoa. Di antaranya.
Mereka membayangkan ngeri. Tidak bisa hidup enak lagi. Di bawah pemerintahan baru. Yang komunis itu.
Tiba di Amerika mereka berstatus miskin lagi. Tercerai berai. Tergantung lokasi. Di mana saja. Yang mau menampung pengungsi.
Saya pernah ke Garden City. Di pedalamannya pedalaman Amerika. Di pelosok Kansas. Penduduknya hanya 10.000.
Dulu banyak pengungsi ditampung di sini. Kini tinggal dua keluarga lagi. Yang satu buka restoran Vietnam. Yang satu kerja di restoran itu. Saya makan siang di situ. Minta pho dan lumpia basah. Enak sekali.
Juragan resto itu anak muda. Generasi kedua. Yang sudah lahir di Amerika. Ia bangga akan bapaknya. Pejuang anti komunis di kampungnya. Bersama tentara Amerika. Foto sang bapak dipasang gagah di dekat jendela. Ternyata juga tentara.
Buka kuliner umumnya cara pertama. Di negeri baru. Yang masyarakatnya sudah mengenal Vietnam. Terutama dari berita perang. Dari drama kekalahan Amerika.
Begitulah. Restoran Vietnam tumbuh di mana-mana. Di seluruh Amerika.
Mereka tidak mau ngumpul lagi. Di satu lokasi. Tidak mungkin semua jualan pho. Atau lumpia basah.
Mereka menyebar. Terutama ke kota besar. California tempat mereka menyasar. Kampung Vietnam pun jadi besar. Besar sekali. Di sini.
Salah satu pengungsi itu bernama David Tran. Dari kota Soc Trang. Utara kota Saigon. Yang setelah kalah perang jadi kota Ho Chi Minh.
David keturunan Tionghoa. Perahunya nyasar ke Indonesia. Terdampar di kepulauan Riau. Ditampung di satu pulau. Yang dikhususkan sebagai pulau pengungsi.
Dua tahun David Tran tinggal di barak itu. Seadanya.
Kini David jadi konglomerat di Amerika. Dengan produk sambalnya: Sambal Oelek dan Sriracha. (Bersambung)
***
Dahlan Iskan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews