Pada tanggal 23 Juli 1999, ulama yang sangat dihormati di Aceh, Teungku Bantaqiah, dibunuh dengan brutal oleh tentara di pelataran Pesantren Babul Mukarramah yang diasuhnya di Desa Blang Meurandeh, Aceh Barat.
Ia tewas bersama 57 santrinya -34 tewas bersama sang ulama dan 23 dibunuh di perjalanan menuju Takengon- dalam pembantaian yang melibatkan ratusan aparat militer.
Teungku Bantaqiah, sang ulama, dituduh menyimpan ratusan pucuk senjata api -tapi tak terbukti. Dan kekuasaan pun berbicara.
Pada tanggal 10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota Babinsa memasuki Masjid As Saadah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, tanpa melepas sepatu dan menghapus tulisan anti-pemerintah di majalah dinding masjid dengan air comberan.
Peristiwa ini memicu aksi protes umat Islam dan berakhir rusuh dua hari kemudian. Ada 24 korban tewas, termasuk pengurus masjid Amir Biki, dan 54 terluka (termasuk militer). Itu menurut catatan resmi, kendati warga Tanjung Priok memperkirakan ada ratusan orang terbunuh atau hilang dalam konflik dengan aparat negara saat itu.
Belum lagi 169 warga sipil ditangkap dan dipenjarakan. Belakangan terungkap, umat yang berada dalam tahanan itu diperlakukan tidak manusiawi, disiksa seperti binatang.
Pada tahun 2003, Imam Besar FPI Habib Rizieq dihukum penjara selama tujuh bulan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat. Oleh pengadilan, ia dianggap melakukan penghasutan, mengganggu ketertiban dengan merusak fasilitas umum, dan merendahkan pemerintah saat itu.
Lima tahun kemudian, Kamis 30 Oktober 2008, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Habib Rizieq kembali divonis bersalah dengan hukuman pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp 5 ribu rupiah. Kasus ini bermula dari aksi menolak kenaikan harga BBM dan menyerukan pembubaran Ahmadiyah yang berakhir dengan bentrok.
Ditulis oleh tirto.id, Habib Rizieq dianggap bersalah menganjurkan dan membiarkan anak buahnya melakukan kekerasan dan perusakan secara bersama-sama di muka umum. Selain itu Rizieq menebarkan kebencian dengan seruan yang dia selipkan pada dakwahnya agar jamaah pengajian memerangi Ahmadiyah.
Dan sebagainya. Ada banyak kisah tentang konflik, benturan, dan irisan yang terjadi antara ulama, umat Islam dan negara, sepanjang sejarah Indonesia. Yang saya ceritakan baru tiga di antaranya.
Kesamaan kisah-kisah ini ada dua:
Satu, terjadi di era sebelum pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dua, rezim yang berkuasa pada saat peristiwa itu -pembantaian ulama Teungku Bantaqiah, peristiwa Tanjung Priok, dan pemenjaraan Habib Rizieq- sama sekali tak menuai predikat sebagai musuh Islam.
Saya hanya ingin berbicara fakta, Presiden Jokowi jauh lebih menyediakan ruang, mengarahkan anggaran negara yang banyak, dan memberi perhatian yang berlebih kepada umat Islam negeri ini ketimbang pendahulunya. Bukan di saat menjelang pemilihan presiden, tapi sejak dulu, sejak awal berkuasa.
Tanyakanlah kepada pondok-pondok pesantren di seantero negeri yang rutin dikunjungi Presiden Jokowi sejak empat tahun lalu, yang menerima bantuan gedung dan rumah susun santri sekian tingkat dengan ribuan unit, bank wakaf yang kini hadir di banyak kompleks pesantren, pemberdayaan umat dalam aneka bentuknya.
Puncaknya, Jokowi menghentikan langsung narasi besar yang dibangun lawan politiknya bahwa "Jokowi anti ulama" dengan menggamit lengan Kiai Ma'ruf Amin -Ketua Majelis Ulama Indonesia, cucu Imam Masjidil Haram, dan pengasuh Pesantren An-Nawawi di Tanara- sebagai calon wakil presiden.
Jokowi menempatkan ulama langsung di pusat kekuasaan, berkantor di sayap kiri istana negara, dan -bila ia sedang berhalangan- menjadi orang paling berkuasa di republik ini!
Ia tak menjadikan ulama sekadar pengumpul suara, yang Ijtimak-nya diperbarui demi membenarkan pilihannya.
Jokowi tak menjadikan ulama dan umat sekadar buih-buih yang membusa dihempas ombak. Ia menempatkan ulama sebagai gelombang ombak itu sendiri -yang langsung mengurus nasib umat, yang menentukan bulat dan lonjongnya bangsa ini. Jokowi memberi ruang besar bagi ulama.
Masih mau menyebut Jokowi anti Islam, anti ulama?
***
Jakarta, 17 September 2018
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews