Pelukan Bersejarah Itu

Rabu, 5 September 2018 | 06:39 WIB
0
531
Pelukan Bersejarah Itu

Sinar Pak Prabowo berbeda hari itu. Dia sumringah. Penuh kebahagiaan dengan teluk belanganya. Berpeci hitam, berteluk belanga hitam, bersepatu kulit klasik hitam, memakai seragam pendekar tanah melayu berwarna kaum kesatria.

Dalam balutan songket emas, sinarnya mempesona. Auranya terkesan kuat. Prabowo tidak tampak tua dalam balutan tersebut. Ia tampak anggun. Kokoh. Dan muda. Saya merasakan itu dengan sangat kuat. Ia sempurna dalam balutan itu karena Ia memang seorang pendekar. Pesilat yang zahirnya mencari teman, batinnya mencari Tuhan.

Ia menyambut Pak Jokowi yang datang dengan jaket ala pembalap, berwarna merah. Tadinya saya fikir itu adalah jaket resmi Atlet Indonesia dalam arena Asian Games ini. Saya duga pada mulanya emblem di dada jaket itu bordiran merah putih, ternyata tidak. Di dada kanannya tertulis speed meter, syndicate di dada kiri. Di lengannya ada tertulis Bulls AutoSpeed Syndicate.

Apa maknanya, saya tidak mengerti. Yang saya tangkap hanya kesan. Kesan bahwa Pak Jokowi sedang berusaha tampil sporty, anak muda gaul mengikuti zaman. Meskipun sudah lewat setengah abad jaket dan sneakernya membuat Ia tampak muda. Sinarnya juga berbeda sekali hari itu. Sumringah. Meskipun Pak Jokowi lebih millenials gayanya, namun dia datang sebagai kepala negara.

Ada pula Ibu Mega, dan ada pula Pak JK. Presiden dan Wapres mengunjungi padepokan pencak silat, seni bela diri yang sebentar lagi akan ditabalkan menjadi non material world heritage oleh UNESCO. Pencak silat sejatinya berasal dari Indonesia, berserta pantun dengan asal dari dua negara, Indonesia dan Malaysia.

Kehadiran Pak Jokowi, Ibu Mega dan Pak JK ke markas Padepokan silat Pak Prabowo memberi emosi positif di jagat media sosial. Khusus di linimasa saya, energinya positif. Bahkan penuh persahabatan. Hastag yang pekan lalu memisahkan Indonesia, seolah terkubur begitu saja oleh Pencak Silat yang menyatukan kita.

Hanifan Yunadi namanya. Ia peraih medali dalam laga seni tarung antar bangsa-bangsa se Asia Raya. Ia berlari dengan sikap bahagia sempurna seorang ksatria. Berbalut merah putih hampir seluruh tubuh, dia datang memeluk orang yang Ia tuakan di tribun sana.

Ia tidak peduli. Dalam kelaziman tuan puan pembesar turun menghampiri pelaga-pelaga peraih medali. Ini tidak, dia berlari ke atas tribun kehormatan itu. Ia datang bukan meminta medali, ia berlari untuk memberi pelukan. Seorang pesilat memberi pelukan? Ya pelukan! Pelukan yang meredakan emosi marah. Pelukan yang mendamaikan. Pelukan perlambang cinta yang paling tua.

Satu demi satu dia peluk petinggi negara. Ia peluk kepala negara, Tuan rumah istana. Ia peluk ayah pembinanya di perguruannya. Penghuni istana itu Joko Widodo namanya, pengayom perguruan itu Prabowo Subianto namanya.

Pesilat memberi pelukan? Ya pelukan! Ia tidak memberi tendangan, kuncian, ataupun jurus jurus mematikan. Sebagai orang yang paling sah mempertontonkan kebolehan beradu laga, seketika memberi contoh kepada kita untuk berdamai. Saling memeluklah. Menjadi sportiflah. Berdamailah. Begitulah pesanya.

Jagad sosmed seketika menjadi damai dan teduh. Status pesan cinta bisa kita rasakan di mana-mana. Tuhan memang sayang pada kita. Dia tahu ambang batas diri kita dalam menahan sesuatu. Jika kita tak sanggup lagi menahan sesuatu, ia lepaskan beban kita dengan cara yang tidak kita duga.

Sudah lelah saya, anda, teman, kita semua. Saling sindir, saling merendahkan, terjebak dalam "kebenaran kelompok", kenyinyiran akut, dan bahkan kerap terjebak, dalam kehinaan. Bergelut dengan pembenaran-pembenaran di sosial media yang semakin jauh dari kebenaran itu sendiri.

Lalu Tuhan kirimkan Hanifan Yunadi. Selesai ia memeluk Panglima Negara dan Panglima para pendekar. Dituntun pendekar Edhy Prabowo, dengan ksatria Ia peluk kedua orang itu bersama-sama. Seluruh negeri haru biru. Kita merasakan damai secara bersama seketika. Kita baru kemudian ingat, Pak Jokowi dan Pak Prabowo bukan lah musuh. Mereka adalah dua putra terbaik negeri ini saat ini di jagat politik Indonesia.

Bahkan, awal karier politik yang melesat dari Pak Jokowi dimulai dari kebaikan hati Pak Prabowo yang membawa beliau dari Solo ke Jakarta. Memberikan dukungan dari partai yang ia bangun dengan susah payah pada seorang walikota kota kecil yang pada mulanya tak diunggulkan. Dan sebagai orang Jawa, jauh di sanubari Pak Jokowi pastilah dia sadar akan budi itu. Budi baik yang dibawa mati.

Hanifan Yunadi menjawab enteng dalam suatu wawancara televisi yang saya tonton via gawai dari pedalaman hutan sumatera. "Dia ingin kita damai". Dia ingin Indonesia sejuk.

Hanifan adalah representasi kita semua. Dia pendekar muda nusantara. Ia ingin berkata pada kita semua, "berhentilah berseteru".

***