Beberapa hari yang lalu di Galeri Nasional Jakarta, ada sebuah pameran yang diinisiai oleh sebuah kelompok seni rupa perempuan bertema "Titik Temu". Saya lupa nama artis-nya, tapi salah satu karya instalasi-nya cukup menarik perhatian saya.
Temanya sederhana sekali, karena hanya mempamerkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari masa ke masa, dari edisi pertama hingga terakhir. Dan sangat fokus pada kata "perempuan", bagaimana pemaknaan dari hari ke hari semakin luas dan bahkan kompleks.
Saya rasa inilah hebatnya bahasa Indonesia, dimana serapan idiom-idiom dalam kultur daerah atau etnis, bisa diserap menjadi istilah yang diakui sebagai bahasa Indonesia. Dan hanya satu yang bernilai tetap, dimana perempuan disebut sebagai orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui.
Saya terhentak dengan penggunaan istilah "puki", bukan yang lain. Misalnya yang lagi trend hari ini dengan istilah "keperempuanan"-nya (kepanjangan juga kali). Di bawahnya berturut disebut dengan konteks perempuan: -- geladak, -- jahat, -- jalan, -- jalang, -- jangak, -- lacur, -- lecah, -- nakal; -- simpanan. Nyaris tak ada satu pun yang berkonotasi positif.
Saya semakin saya kaget dengan peribahasa yang berulang dicontohkan: bunyi perempuan di air, yang artinya ramai (gaduh sekali). Namun kemudian saya nyengir, oh mungkin ini gampang untuk menjelaskan fenomena seorang bernama Neno Warisman. Berisik, lebay (berlebihan-red), dan over-acting sekali.
Terakhir teman penulis saya, Budi Setiawan menyebutnya sebagai "simbol bunda muslim, single parent yang terzhalimi". Segitunya... Tapi begitulah ia digambarkan sebagai seorang perempuan simpatisan PKS, yang mau menjadi motor Gerakan #2019GantiPresiden. Sebuah gerakan yang bagi sebagian orang sudah bisa dianggap sebagai gerakan makar, pilihan kata yang sebenarnya sangat absurd juga.
Bukan saja mengingat kekuatan yang ada di belakangnya yang sedemikian keropos, sebuah partai yang sekalipun punya anggota militan tapi semua orang tahu sedang megap-megap gak punya dana.
Inilah watak "partai bayaran", yang sempat dalam 2 periode pemerintahan SBY "keceh duit, bergelimang uang". Bukan saja karena menguasai kementrian-kementrian basah, tetapi juga reputasi-nya yang terkenal dalam jual beli proyek dan dagang peraturan pemerintah.
Dan, tentu dengan dengan sangat tega dan jahat, ia menggunakan seorang Neno Warisman, yang maaf selain sebagai janda, yang gagal dalam kehidupan rumah tangganya. Juga seorang publick figur yang gagal mengulang (atau minimal menjaga) reputasinya sebagai artis multi-talent.
Jangan lupa, ia pernah mendapat Piala Vidia dalam perannya sebagai Sayekti dalam sinetron legendaris karya Dedi Setiadi: Sayekti dan Hanafi. Pernah terorbit sebagai penyanyi dengan suara emas oleh Fariz RM (yang kok ndilalah di masa tuanya berulang kali tertangkap menggunakan narkoba). Sebuah ironi yang saya kira, bukan hal yang menggembirakan untuk dicatat.
Dan bagian yang paling menyesakkan, Neno pernah dianggap menipu dalam usaha dagangnya memberangkatkan orang untuk umroh. Sungguh suatu nasib seorang perempuan yang tak cemerlang dan bukan panutan di masa senjanya.....
Dalam konteks inilah, pertanyaan publik akhirnya menyeruak: mosok perempuan yang "serba gagal" dalam hidupnya teriak-teriak ini itu. Mungkin ia akan terdengar nyaring, syadu dan memikat, seandainya Indonesia ini sedang menuju proses negara gagal. Gagal menyelenggarakan Asian Games misalnya!
Tapi nyatanya, kita justru membanggakan dalam minimal opening ceremony dan perolehan medali emas. Nyatanya ia ditolak dimana-mana, dianggap sebagai provokator, dianggap merusak ketentraman hidup masyarakat setempat. Horotoyoh... Dan para pembela-nya dengan paduan suara, tiba-tiba bicara tentang persamaan hak, kesetaraan, kebebasan berekspresi, pelecehan perempuan, bla bla bla...
Seolah-olah mereka ini kaum suci, para santa yang gagal menjalankan misi sakralnya. Padahal mereka ini apa yang disebut sahabat saya Teguh Iman Perdana sebagai "para petualang politik yang rela menjual murah harga diri negaranya". Mereka inilah para perempuan bayaran, yang berlindung di balik mitos demokrasi dan hak asasi manusia. Padahal publik juga tahu, mereka adalah bibit-bibit yang disemai untuk "men-Suriah"-kan Indonesia.
Untuk membawa Khilafah ke Indonesia? Buat saya itu bulshit! Khilafah dalam konteks internasionalisme adalah perpanjangan tangan kaum kapitalis global untuk menguasai sumberdaya alam di banyak negara. Politik dengan balutan agama adalah strategi termurah untuk memecah belah suatu negara, untuk kemudian dikapling-kapling menjadi bagian-bagian kecil yang disedot habis kekayaannya. Ini yang terjadi di Irak, Suriah, Aljazair, dst dst-nya.
Suatu situasi yang sangat bisa dimengerti, bila dikaitkan satu persatu kepemilikan tambang terpenting di Indonesia justru berasil kembali dikuasai negara!
Neno Warisman karenanya adalah figur yang amat cocok sebagai pemeran akting semua kepentingan itu. Untuk PKS yang megap-megap semakin ditinggalkan pendukung; Para bandar kekusaan yang terus menerus menggoyang pemerintah sah demi mengembalikan sahwat mencurinya; Dan yang menyedihkan adalah para emak-emak yang kehilangan magis keperempuanannya: mudah mengeluh, gampang menuduh, kehilangan kelembutannya.
Mereka tetap perempuan yang sama dengan berkah ke-"puki"-annya, tapi kehilangan semangat keibuannya. Harkat dan kehormatan wanita entah sedang plesir kemana. Tempat laki-laki bersandar di bahunya, tempat anak-anak menemukan hangat pelukannya, tempat rakyat tetap tegak berdiri membela tanah kelahirannya. Ia masih punya panggung, tapi tak lebih pertunjukan tonil yang menyesatkan. Ia perempuan yang sungguh pantas dikasihani....
Mereka hanya suka dipanggil bunda, tapi sesungguhnya telah kehilangan rumah tempat ia ber-kandung. Dengan segala berkah ke-rahim-annya, situs tempat laki-laki menunjukkan keperkasaan-ya, tempat anak-anak mereka dilahirkan. Ia tampak terus bergerak, sekalipun sebenarnya tidak sedang kemana-mana, makin terbenam dalam lumpur hisap yang mengerikan....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews