"Pli" dan Kebanggaan Aceh

Senin, 27 Agustus 2018 | 08:06 WIB
0
662
"Pli" dan Kebanggaan Aceh

Aceh adalah kehormatan. Begitulah saya mengenal negeri paling barat Indonesia itu melalui bacaan sejarah. Kehormatan semakin menebal ketika di tahun 1998 saya menjadi editor buku “Aceh dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar sebagai Pejuang”.

Satu hari sebelum Hari Raya Idul Adha, Selasa 21 Agustus 2018, saya mengunjungi Bireuen. Bertemu ibu-ibu pengusaha mikro yang memperoleh kredit dari sebuah lembaga pembiayaan milik BUMN. Bekerja, berusaha, membantu suami menegakkan ekonomi keluarga, adalah sebuah kebanggaan, kehormatan. Rasa itu kembali menggetarkan hati.

Persis seperti kebanggaan dan kehormatan orang-orang Aceh ketika menceritakan sejarah penyebutan Aceh sebagai daerah modal. Dan pada masanya, Aceh menyandang Daerah Istimewa. Kebanggaan dan kehormatan orang Aceh bukan terletak pada tingkat keberhasilan ekonomi. Uereung Aceh Rayeuk Mat. Orang Aceh gengsinya tinggi.

Sejenak saya teringat pada kawan-kawan yang sebentar lagi berlaga di pemilihan anggota legislatif di semua tingkatan, termasuk pemilihan presiden. Jangan pernah mencoba-coba bagi-bagi sembako, atau apa pun yang sifatnya iming-iming untuk memilih salah satu calon.

Itu saya pelajari dari para ibu penerima kredit Mekaar. Kebanggan dan rasa hormat itu begitu terasa ketika mereka bisa melanjutkan usaha, lepas dari jerat kesulitan ekonomi, dengan mengandalkan kemampuannya, dan bukan belas kasihan. Apalagi pemberian-pemberian dengan tujuan tertentu.

Satu kelompok penerima kredit di Bireun yang saya jumpai, dengan bangga ingin mempopulerkan “Pli”, jenis bumbu yang diolah dari kelapa. Kelapa dibusukkan, dijemur, diperas hingga keluar minyak kelapa. Ampas minyak kelapa itulah yang kemudian diolah menjadi bumbu masakan khas Aceh. Cobalah menikmati citarasanya di berbagai rumah makan khas Aceh yang sudah banyak menyebar di berbagai kota di Indonesia.

Kalau tidak digunakan untuk bumbu dasar “Pli’u”, nama jenis masakan itu, “Pli” bisa juga diolah menjadi sambal. Kelezatannya bisa diadu dengan jenis masakan khas nusantara lainnya.

“Kami ingin ‘Pli’ bisa dikenal di seluruh Indonesia, kalau perlu sampai ke luar negeri,” ujar seorang ibu dengan penuh semangat. Produk buatannya terkenal bersih dan selalu dicari orang. Keinginan itu tak berlebihan. Apalagi bila melihat trend kegemaran makan makanan khas Aceh yang sudah menyebar di berbagai daerah.

Sejak digulirkan tahun 2015 pada pemerintahan Presiden Jokowi, kredit Mekaar sudah menyerap nasabah di seluruh provinsi di Indonesia. Di Aceh, nasabah Mekaar bukan hanya pengrajin “Pli” tetapi juga pedagang kecil, termasuk berbagai produk kerajinan.

Oh ya... satu hal lagi. Aceh bukan hanya kopi, masyarakat punya kekayaan kriya luar biasa. Sayang saya tidak sempat berkeliling, hanya sempat ke sentra pembuatan tikar pandan. Motifnya cantik-cantik. Saya membelinya untuk oleh-oleh. Jangan dibalik yaaaa... bukan saya bagi-bagi tikar?

***